Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kontak Maulidya Rina

Fantasi Liar Di Dalam Keluarga Kami 2 - Mama Minta Keluar Bareng



Tanpa membantah, kuangsurkan moncong kontolku ke mulut memek Mama.

Mama pun membantu dengan memegangi leher kontolku. Mungkin agar arahnya tepat sasaran. “Iiiih… gedenya kontolmu ini Bon. Gak nyangka kontol anak kesayangan mama sudah sepanjang dan segede ini.”

“Umurku sekarang kan sudah duapuluhtiga tahun Mam.”

“Iya. Tapi kontol papamu aja gak segede dan sepanjang ini Sayang. Ayo dorong… !”

Tanpa mikir lagi kudesakkan kontolku sekuatnya. Dan… langsung melesak masuk ke dalam liang memek Mama.

Mama seperti menahan nafasnya. Lalu berkata, “Terasa sekali bedanya kontolmu dengan punya papamu. Kontolmu jauh lebih gede… pasti jauh lebih enak daripada punya papamu. Ayo entotin Bon.”

Tanpa membantah, aku mulai mengayum kontolku, bermaju mundur di delam liang memek Mama.

“Mam… uuuugggghhhh… Maaaam… ternyata memek Mama enak sekali Maaaaam…” ucapku tanpa memperlambat gerakan entotanku.

Mama memeluk leherku, lalu merapatkan pipinya ke pipiku sambil berkata terengah, “Kon… kontolmu juga… enak sekali Sayaaaang… gak nyangka… kita bakal beginian ya…”

“Iii… iyaaaa… yang penting Mama jangan sakit hati lagi sama Papa…”

Pergesekan kontolku dengan dinding liang memek Mama memang luar biasa nikmatnya. Membuat nafasku jadi berdengus - dengus, diiringi oleh rintihan dan rengekan manja mama yang terdengar sangat erotis di telingaku, “Booonaaaa… aaaaaaahhhh… Booon… aaaaaah… aaaaaaa… aaaaah… entot terus Booon…

Ini luar biasa enaknya Bonaaaa… aaaaa… aaaaah… entoooottt teruussss… entooottttttttt… jangan brenti - brenti… entoooooooottttttt… entoooooottttttt… entooooot Sayaaang… entoooooooootttttttt… aaaaaa… aaaaaah… sambil remes tetek mama Booon… iyaaaa… remes terussss…

Aku semakin bergairah untuk melanjutkan persetubuhan dengan Mama ini. Bahkan ketika mulut Mama ternganga - nganga, kupagut bibir yang sedang ternganga itu. Dan ternyata mama menyambut dengan lumatan binal.

Dekapan Mama di pinggangku pun berubah jadi remasan -remasan di bokongku. Maka aku pun semakin bersemangat untuk menjilati leher mama yang sudah mulai keringatan. Membuat Mama terpejam - pejam dan menahan - nahan nafas.

Tapi aku masih sempat berbisik di dekat telinga mama, “Nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Mam?”

“Di… di dalam… me… memek mama aja… Sayang. Emangnya ka… kamu udah mau ngecrot?”

“Be… belum Mam. Cuma nanya aja.”

Persetubuhan ini semakin bergairah ketika Mama mulai menggoyang pinggulnya… meliuk - liuk dan menghempas - hempas ke kasur. Sehingga kontolku serasa dibesot - besot oleh dinding liang memek Mama yang terasa hangat dan licin ini.

Namun tiba - tiba Mama tampak seperti panik, “Bona… Bona! Mama mau lepas… mau lepas… barengin Bon… biar nikmat… mau lepas Bon… mau lepassss… ayo barengin… barengin…”

Aku jadi ikutan panik. Maka kupercepat entotanku dan berusaha ngecrot bareng seperti yang mama inginkan.

Dan akhirnya kutancapkan kontolku di dalam liang memek Mama, tanpa menggerakkannya lagi. Pada saat itu pula Mama tampak mengejang sambil meremas - remas rambutku, sambil menahan nafasnya dengan mata terpejam erat - erat.

Pada saat itu pula aku sedang melotot sambil merasakan berlompatannya air mani dari moncong kontolku. Crooooootttttt… crooooottttt… crottt… crooottt… crooooooooottttttttt… crot… crooootttt!

Aku terkapar di atas perut Mama. Lalu terkulai lunglai dengan tubuh bermandikan keringat. Seperti Mama juga, yang wajah dan lehernya dibanjiri keringat.

Ketika membuka matanya, Mama tersenyum sambil mencubit pipiku, “Kamu sangat memuaskan Sayaaang… emwuaaaah… emwuaaaaah… !“Mama menciumi sepasang pipiku. Lalu mendorong dadaku, mungkin agar kontolku dicabut dari dalam memeknya.

Aku lakukan itu. Mencabut kontolku yang sudah lemas ini dari liang memek Mama.

Namun setelah mencabut kontol, aku tengkurap lagi di antara sepasang paha Mama yang masih renggang jaraknya.

Dengan serius kuperhatikan bentuk memek Mama yang baru mengalami orgasme itu. Memang benar kata para pakar seks, bahwa memek yang baru mengalami orgasme akan membuka seperti bunga yang baru mekar. Bahkan labia minoranya pun tampak seperti jengger, mengembang dan menghitam. Tapi bagian dalamnya yang berwarna pink itu justru semakin indah dipandang mata.

“Mau diapain lagi memek mama Sayang?” tanya mama sambil duduk dan membelai rambutku.

“Seneng ngeliat memek Mama yang baru orgasme. Jadi seperti bunga mekar,” sahutku.

“Masa sih?! Sebentar… mama mau ke kamar mandi dulu. Pengen kencing.”

Mama turun dari bed dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Aku pun bergegas mengikuti Mama, lalu memperhatikan Mama yang sedang duduk di kloset. “Mau ngapain lagi Sayang?”

“Pengen merhatiin seperti apa bentuk memek yang sedang kencing Mam.”

“Hihihiii… kamu ada - ada aja. Iya deh… liatin nih, seperti apa memek mama kalau sedang kencing…” ucapku sambil berjongkok di dekat kloset, dengan pandangan terpusat ke memek Mama.

Mama tersenyum dan duduk di klosetnya agak mundur, agar aku bisa menyaksikan seperti apa bentuk memek yang sedang kencing itu.

Ssssrrrr… air kencing terpancar dari liang kecil di bagian memek yang berwarna pink itu. Aku tercengang menyaksikannya. “Waktu aku lahir, keluarnya dari lubang yang berbeda dengan lubang kencing ya Mam,” kataku.

“Ya beda lah. Kamu dikeluarkan dari lubang yang dientot sama kamu tadi,” sahut Mama sambil menyemprotkan air shower untuk menceboki memeknya.

“Kapan - kapan kalau Mama kencing, aku pengen nyebokin Mama ah…” ucapku sambil berdiri kembali.

“Iya Sayang. Mmm… perutmu masih kenyang kan?”

“Iya, masih kenyang. Emangnya kenapa?”

“Mama sudah kangen sama gudeg Jogja.”

“Ya ayo kuanter. Dekat hotel ini ada warung gudeg yang murah tapi enak. Di Jogja sih jangan asal - asalan beli gudeg di tempat yang ramai sama turis. Salah - salah bisa ditekuk harganya. Mending kalau enak gudegnya. Yang jualan bukan orang Jogja kok.”

“Iya. Ntar mama mau bersih - bersih dulu. Badan mama penuh keringat nih. Lengket - lengket.”

Aku pun kencing dulu di kloset bekas Mama kencing tadi. Kemudian keluar dari kamar mandi. Mengenakan pakaian kembali. Dan duduk di satu - satunya sofa dalam kamar ini.

Sekilas bayangan masa laluku menggelayuti terawanganku. Tentang segala yang pernah terjadi ketika Papa dan Mama masih tinggal di Sleman. Karena pada saat itu Papa masih bekerja di Jogja.

Tapi setelah Papa dimutasikan ke Jabar, semuanya pindah ke Jabar. Hanya aku yang tetap tinggal di Jogja. Di rumah kos milik Bu Artini itu, karena rumah dinas Papa dihuni oleh keluarga lain setelah Papa dipindahkan ke Jabar.

Tentu saja aku takkan dapat melupakan semuanya itu. Berawal dari dalam rumah kami sendiri. Bahwa aku merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga kakakku perempuan semua. Sebut saja Mbak Weni yang tertua, Mbak Rina yang kedua, Mbak Lidya yang ketiga dan aku bernama Bona (disamarkan semua) yang keempat alias anak bungsu.

Beda usia kami hanya setahun - setahun. Lucu ya? Mbak Weni 21 tahun, Mbak Rina 20 tahun, Mbak Lidya 19 tahun dan aku 18 tahun.

Menurut penuturan Mama, sengaja Papa dan Mama “bikin anak” setahun sekali, lalu distop (masuk KB) setelah anaknya 4 orang. Jadi capeknya sekaligus pada waktu kami masih kecil - kecil. Setelah “target”nya terpenuhi (punya anak empat orang), Mama tidak perlu hamil lagi. Cukup dengan mengasuh kami berempat yang perbedaan usianya dekat - dekat ini.

Ketiga kakakku terasa sangat menyangiku sebagai satu - satunya saudara mereka yang cowok. Begitu juga Papa dan Mama selalu memanjakanku. Apa pun yang kuminta, selalu dikasih. Tapi tentu saja permintaanku bukan yang mahal - mahal. Paling juga minta dibeliin sepatu olahraga, minta dibeliin bat pingpong dan bola basket.

Aku dan kakak - kakakku pada kuliah semua, sesuai dengan indoktrinasi dari Papa, bahwa harta itu ada habisnya. Tapi ilmu takkan habis - habis sampai kapan pun.

Aku sendiri kuliah di fakultas pertanian. Karena sejak masih di SMA, aku ingin sekali jadi insinyur pertanian.

Baik Papa mau pun Mama tidak menghalang - halangi pilihanku. Karena semua fakultas itu baik, kata mereka. Begitu pula kakak - kakakku ikut mendukung saja pada pilihanku untuk kuliah di fakultas pertanian.

Di antara kakak - kakakku, Mbak Weni yang paling baik padaku. Dia sering nraktir makan baso, martabak manis, pizza dan sebagainya. Dia memang selalu banyak duit. Tapi aku tidak tahu darimana dia selalu punya duit banyak begitu. Mungkin dari pacarnya atau entah dari mana. Tapi setahuku Mbak Weni tidak punya pacar.

Tapi biarlah, itu urusan pribadinya yang tak perlu kucampuri. Yang jelas aku merasa Mbak Weni selalu mendukungku dalam hal apa pun. Misalnya pada waktu aku sedang mengikuti pertandingan olah raga, baik pertandingan bola basket mau pun tenis meja, Mbak Weni selalu berusaha membawa teman - temannya untuk menjadi suporterku.

Mbak Weni juga selalu membelaku kalau sedang berdebat dengan Mbak Rina mau pun Mbak Lidya.

Tapi sebenarnya aku tak pernah bertengkar dengan ketiga kakakku. Paling hanya berdebat sedikit, lalu ketawa - ketiwi lagi.

Hari demi hari pun berputar terus tanpa terasa.

Sampai pada suatu hari. Papa dan Mama terbang ke Palembang untuk menghadiri pesta pernikahan saudara sepupuku.

Mbak Rina pun dibawa, karena dia senang merias pengantin. Maklum Mbak Rina bercita - cita ingin memiliki salon yang besar dan punya cabang di beberapa kota.

Sementara itu

Mbak Lidya sedang study tour ke Jawa Timur, sehingga di rumah hanya ada aku, Mbak Weni dan pembantu yang tiap pagi datang, lalu pulang setelah sore.

Aku bahkan diingatkan oleh Papa, agar jangan meninggalkan rumah kalau tidak ada urusan yang penting. Supaya di rumah kami tetap ada cowoknya.

Namun pada saat inilah mulai terjadinya kisah yang takkan kulupakan di seumur hidupku. Awalnya Mbak Weni berkata padaku, “Bona… rumah ini jadi terasa sepi dan agak menakutkan. Nanti malam tidur di kamarku aja ya.”

“Iya Mbak,” sahutku yang selalu menurut kepada kakak sulungku itu. Karena dia juga selalu berbaik hati padaku.

Setelah mandi sore, aku diajak makan bersama Mbak Weni. Pada saat itu Mbak Atiek, pembantu kami, sudah pulang. Sehingga kami bebas mau ngomong apa saja.

Pada waktu makan sore itulah Mbak Weni menanyakan sesuatu yang tidak biasa ditanyakannya.

“Bona… kamu udah punya pacar belum?” tanyanya.

“Belum,” sahutku, “Mbak sendiri udah punya?”

“Dulu waktu masih di SMA sih punya. Sekarang sie gak punya. Pacaran itu buang - buang waktu doang. Teman dekat sih banyak. Tapi gak mau pacaran dulu. Nanti kalau udah sarjana, langsung nyari calon suami aja. Jangan cuma pacaran mulu.”

“Aku juga gitu Mbak. Otak mendingan dipake buat kuliah. Pacaran sih nanti aja kalau udah punya kerja. Pacaran kan butuh biaya juga. Buat traktir makan - makan lah, buat nonton bioskop lah.”

Mbak Weni mengangguk - angguk sambil tersenyum.

Ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, seperti biasa kalau sudah mau tidur, kukenakan celana training dan baju kaus oblong. Lalu masuk ke dalam kamar Mbak Weni.

Kulihat Mbak Weni sedang asyik dengan hapenya. Entah sedang WA sama siapa. Yang jelas dia sering tersenyum sendiri sambil memandang layar hapenya.

Aku pun langsung naik ke atas bednya yang selalu harum parfum mahal. Ini salah satu yang kusukai pada kakak sulungku itu. Kamarnya selalu harum, apalagi tempat tidurnya ini.

Tak lama kemudian Mbak Weni pun mematikan hapenya, lalu men-charge-nya.

Pada saat itu Mbak Weni juga sudah mengenakan dasternya yang berwarna pink polos. Setelah mematikan lampu terang dan menyalakan lampu tidur berwarna biru, dia naik juga ke atas tempat tidurnya.

“Yong… kamu udah pernah ngerasain begituan sama cewek?” tanyanya.

“Haa? Belum lah.”

“Masa sih?!”

“Sumpah, aku belum pernah begituan. Emangnya kenapa?”

“Megang memek cewek sih pernah kan?”

“Belum juga Mbak. Jangankan megang memek. Megang toket juga belum pernah.”

“Kasian… udah jadi mahasiswa belum pernah ngapa - ngapain. Padahal kamu ini ganteng lho. Tapi kamu gak pernah memanfaatkan kegantenganmu ini ya?”

Aku tidak menanggapi ucapan kakak sulungku itu.

Mbak Weni bahkan memeluk pinggangku sambil bertanya setengah berbisik, “Kamu mau nyobain ngentot nggak?”

“Haaa? Sama siapa?” tanyaku kaget.

“Sama aku lah. Emangnya sama kucing? Hihihihiii…”

“Nggak apa - apa Mbak? Kan Mbak Weni kakakku.”

“Nggak apa - apa. Asal bisa nyimpen rahasia aja. Jangan sampai Mama dan saudara - saudara kita tau.”

Sebagai cowok yang baru berumur 18 tahun, tentu saja aku langsung tertarik oleh tawaran Mbak Weni itu. Bahkan pada saat itu juga aku mulai memandang Mbak Weni dari sisi lain. Bukan dari sisi seorang adik kepada kakak kandungnya, melainkan sisi seorang cowok kepada cewek yang cantik dan berperawakan seksi.

“Mau Mbak. Tapi aku belum berpengalaman. Gimana?”

“Gampang soal begituan sie. Dalam semenit dua menit juga bakal langsung pandai,” kata Mbak Weni sambil duduk dan melepaskan daster pink itu lewat kepalanya.

Dan aku cuma bisa terbengong - bengong. Karena Mbak Weni jadi tinggal mengenakan celana dalam saja, sementara toketnya terbuka penuh karena tidak ada beha di balik daster pink itu.

Dengan ragu - ragu kupegang payudara Mbak Weni itu.

Mbak Weni malah mengangsurkan toketnya sambil berkata, “Mau netek kayak bayi? Ayolah… jangan canggung gitu.”

Seperti robot, kulakukan saja apa yang Mbak Weni tawarkan itu. Kukulum pentil toketnya lalu kusedot - sedot seperti bayi yang sedang menetek.

Tapi bukan cuma itu yang bisa kulakukan. Mbak Weni menarik tanganku dan menyelinapkannya ke balik celana dalamnya. Dan langsung menyentuh memeknya…!

Saat itu aku memang belum pernah menytubuhi perempuan. Tapi nonton film bokep sih sering. Karena itu aku tidak terlalu bingung juga. Aku tahu juga apa yang harus kulakukan ketika keadaan sudah menjadi seperti ini. Bahwa ketika aku masih asyik menyedot - nyedot dan menjilati puting payudara kakakku, tanganku yang berada di balik celana dalamnya pun mulai asyik mencolek - colek celah kemaluannya yang tidak berjembut dan mulai membasah ini.

Ketika jemariku mulai kuselinapkan ke dalam celah memek Mbak Weni, kutemukan celah itu basah, hangat dan licin. Nafasku pun semakin tak beraturan.

Tampaknya Mbak Weni menyadari apa yang sedang terjadi pada diriku. Bahwa nafasku sulit diatur lagi.

“Kamu sudah sangat bernafsu ya?” tanya Mbak Weni sambil mengelus rambutku, “Ya udah… kita mulai aja.”

Tanpa canggung Mbak Weni melepaskan celana dalamnya. Lalu celentang dan merenggangkan kedua pahanya, sambil mengelus - elus kemaluannya. “Ayo… lepasin baju dan celanamu…”

Tanpa membantah kulepaskan kaus oblong dan celana trainingku, sehingga aku jadi langsung telanjang, karena setiap mau tidur aku tak pernah memakai celana dalam.

“Anjriiiittttt…! “Mbak Weni tampak kaget. Bangun dan memegang penisku yang sudah ngaceng berat ini. “Sudah bertahun - tahun kita gak pernah mandi bareng. Tau - tau sekarang kontolmu jadi panjang gede gini Bon. Hihihiii… pasti asyik dientot sama kontol sepanjang dan segede gini sih.”

Posting Komentar untuk "Fantasi Liar Di Dalam Keluarga Kami 2 - Mama Minta Keluar Bareng"