Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kontak Maulidya Rina

Rahasia Buku Harian Rina ( Bagian 2 )



Bahkan lalu Pak Mathias menjilati leherku ketika aku masih lemas karena baru habis orgasme. Namun gairahku bangkit kembali beberapa detik kemudian.

Gairah yang membuatku mulai berani untuk menciumi bibir Pak Mathias yang berkumis tipis itu. Bergairah untuk balas menjilati lehernya, dengan celucupan - celucupan mesra. Semesra mungkin. Karena aku akan menggantungkan masa depanku padanya.

Lalu… ketika penis Pak Mathias dibenamkan dan diikuti dengan pancaran spermanya yang bertubi - tubi, aku memejamkan mataku erat - erat. Dalam nikmat tiada taranya.

Lalu kubiarkan ia terkapar lemas di atas perutku.

Dan ketika ia mencabut penisnya dari liang sanggamaku, masih sempat aku bertanya lirih, “Bagaimana kalau hamil nanti Pak?”

“Hamil ya hamil aja. Dua minggu lagi juga kita kawin,” sahut Pak Mathias disusul dengan kecupan hangatnya di bibirku.

“Lho… bukannya Bapak mau ke luar negeri?” tanyaku.

“Diundurkan beberapa hari,” sahut Pak Mathias, “Karena aku ingin kawin dulu denganmu. Jadi, sepulangnya dari villa ini, nanti aku harus menjumpai ibumu. karena ayahmu sudah tiada kan?”

“Iya Pak. Tapi jangan diketawain nanti ya Pak. Rumah kami cuma rumah kecil dan sudah tua.”

“Siapa yang akan ngetawain? Kan aku sudah bilang, aku tidak butuh hartamju serupiah pun. Aku hanya ingin dirimu seutuhnya sebagai calon permaisuriku… “lagi - lagi Pak Mathias mencium bibirku dengan hangatnya, “Ohya… mulai sekarang panggil aku papie aja ya. Aku pun akan memanggilmu Mamie, meski Rina jauh lebih muda dariku.

Ucapan itu sangat membesarkan hatiku. Berarti dia tidak memasalahkan keadaanku yang tidak perawan lagi ini. Maka aku pun bertekad untuk tidak membahas masalah yang satu itu. Kecuali kalau dia menanyakannya.

Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk di samping kiri Pak Mathias lagi, di seat belakang mobil mewahnya. Menuju rumahku. Dan aku sudah mengirim berita lewat handphoneku kepada Mama, bahwa Pak Mathias akan datang bersamaku. Entah untuk apa. Yang jelas aku minta agar Mama membersihkan dan menata rumah secepatnya, agar jangan terlihat berantakan.

Rumah Mama terletak di dalam gang yang tidak jauh dari mulut gang. Hanya sebuah rumah kecil yang sederhana.

Mama tampak senang sekali melihat kedatanganku bersama lelaki yang usianya lebih tua dari Mama. Seingatku usia Mama baru 45 tahun, sementara Pak mathias sudah 52 tahun menurut pengakuannya.

Tapi Pak Mathias mencium tangan Mama ketika baru dipersilakan masuk ke dalam ruang tamu yang sempit ini. Kemudian Pak Mathias mengatakan bahwa beliau berniat menikahiku paling lambat dua minggu lagi.

Untungnya Mama tidak kelihatan gugup. Dengan tenang Mama berkata, bahwa keputusannya terletak pada diriku sendiri, sedangkan Mama hanya bisa merestui saja apa pun keputusanku ini.

Pada saat Mama masuk ke dalam, untuk menyiapkan minum buat tamunya, Pak Mathias berbisik ke telingaku, “Nanti ajak mamamu ke rumah yang sudah kusediakan.”

“Rumah?” tanyaku heran.

“Ya. Rumah untuk Rina dan Mama. Jadi nanti akad nikahnya di situ aja. Aku takkan mengundang banyak orang, cukup dihadiri oleh tiga orang anakku yang ada di sini. Sedangkan anak - anak yang sedang kuliah di luar negeri, cukup dengan diberitahu saja.”

“Anak - anak Papie bakal setuju?” tanyaku.

“Mereka tak pernah membantah pada apa pun yang sudah kuputuskan.”

Sejam kemudian, aku dan Mama sudah berada di dalam mobil Pak Mathias yang mulai sekarang harus kubiasakan memanggilnya Papie, di jok belakang. Sementara Papie duduk di depan, di samping sopirnya.

Mobil Papie dihentikan di depan sebuah rumah yang cukup megah, meski tidak semegah rumah Papie yang laksana istana di jaman Romawi itu.

Di dalam rumah yang perabotannya sudah lengkap dan serba baru itu Papie berkata kepada Mama, “Kalau bisa, mulai besok Ibu dan Rina mulai pindah ke rumah ini. Rumah yang akan menjadi milik Rina ini. Jadi akad nikahnya pun kita laksanakan di sini saja. Setelah akad nikah, Rina akan dibawa ke rumah saya.

“Ada, “Mama mengangguk, “walinya paman Rina, adik kandung ayahnya.”

“Baguslah kalau ada walinya. Nanti kita tak usah bikin pesta ya Bu. Yang penting sah aja dulu. Soalnya dua hari kemudian saya harus terbang ke luar negeri. Mungkin Rina juga akan dibawa.”

“Keluarga Papi yang akan menghadiri akad nikah itu berapa orang kira - kira?”

“Mmm… sekitar tujuh orang saja. Mungkin keluarga Rina juga akan ada yang hadir kan?”

“Ada,” sahut Mama, “tapi takkan banyak. Sekitar sepuluh orang saja.”

“Nah… masalah catering pada hari akad nikah itu, biar saya yang atur semuanya. Ibu tak usah repot - repot.”

Kemudian Papie menyerahkan dua lembar cek, sambil berkata, “Itu untuk membeli baju pengantin dan sebagainya. Dan yang selembar lagi ini untuk membeli mobil besok. Supaya Rina jangan kelihatan kecil di mata keluargaku pada waktu mereka datang ke sini nanti.”

Lalu Papie berbisik di dekat telingaku, “Kalau ada lebihnya, kasihkan ke Mama aja.”

Aku mengangguk dengan tangan gemetaran. Karena kaget setelah melihat nominal yang tertulis di kedua lembar cek itu. Tak kusangka Papie sudah sebegitu seriusnya ingin memperistrikanku…!

Yang mengejutkan adalah laporan Mama keesokan harinya. Pada saat aku sedang berdandan untuk nyari mobil baru seperti yang disuruh oleh Papie kemaren, Mama menghampiriku. Dan berkata, “Kemaren siang, sebelum kamu pulang, Ricky datang.”

“Haa?! Mau ngapain dia?” tanyaku kaget.

“Dia mengadu sama mama.”

“Mengadu soal apa?”

“Mengadu karena hubungannya denganmu diputuskan olehmu. Dia sampai bercucuran air mata waktu mengadu kepada mama itu. Karena dia masih mencintaimu.”

“Terus Mama bilang apa?”

“Mama cuma berusaha menghiburnya. Mama bilang jodoh itu tidak bisa dipaksakan. Semoga saja dia takkan dendam padamu.”

“Ya… jangan sampai dia mengganggu rumah tanggaku setelah menjadi istri Pak Mathias nanti. Lagian seperti Mama bilang, hubunganku dengan Ricky tak jelas masa depannya. Untuk membayar cicilan motornya saja dia sering minjam uangku. Untuk beli rokok pun dia suka minjam duit padaku. Minjam - minjam yang tak pernah dibayar.

“Iya sih. Kalau hubunganmu dengan Ricky dipertahankan, paling juga dia bakal jadi benalu nantinya.”

Masalah Ricky pun langsung kulupakan. Karena aku sedang konsentrasi menghadapi pernikahanku dengan Papie nanti. Membeli mobil baru yang sangat kudambakan sejak lama, sebuah sedan matic berwarna merah metalik. Memesan gaun pengantin. Membelikan pakaian untuk Mama dan sebagainya. Untungnya aku sudah trampil dalam mengemudikan mobil, karena waktu masih kuliah sering diajari oleh Destini, teman kuliahku yang sudah menjadi sahabat terdekatku di kampus.

Dengan dua lembar cek dari Papie yang sudah kucairkan, semua masalah keuangan tidak ada lagi. Bahkan setelah membeli segala perlengkapan untuk pribadiku dan untuk Mama, masih banyak sisa duitnya di dalam tabunganku.

Pada hari itu pula Mama kuajak pindah ke rumah megah hadiah dari Papie itu. Barang - barang di rumah Mama tidak perlu dipindahkan ke rumah megah ini. Rumah Mama pun cukup dengan dkikunci saja, kemudian Mama kubawa pindah ke rumah megah yang furniture segala peralatan elektroniknya sudah lengkap semua.

Hari demi hari pun berputar terus…

Dua hari menjelang pelaksanaan akan nikah, Papie mengajakku ke rumahnya yang laksana istana itu.

Ternyata kedua anak perempuan Papie beserta suaminya masing - masing sudah menungguku di sana. Papie pun lalu mengenalkan mereka kepadaku seorang demi seorang.

“Ini anak sulungku, Cinthia namanya. Dan itu suaminya bernama Walter,” kata Papie. Kemudian Papie menengok ke arah anak dan menantunya, “Mulai saat ini kalian harus memanggil Mamie padanya, yang dua hari lagi akan diresmikan sebagai istri papie.”

Kemudian Cinthia (yang usianya mungkin lebih tua dariku) berjabatan tangan denganku, lalu mencium pipi kanan dan pipi kiriku diikuti dengan bisikan, “Titip Papie ya Mam.”

Aku cuma menjawabnya dengan anggukan kepala sambil tersenyum.

Papi pun mengenalkan anak keduanya bersama suaminya, “Ini anak keduaku. Namanya Monica dan itu suaminya bernama Laurent. “Kemudian Papie menoleh ke arah anak kedua dan menantunya sambil berkata, “Kalian juga harus memanggilnya Mamie kepada calon istri papie ini.”

Monica dan suaminya pun menjabat tanganku disusul dengan cipika - cipiki. Pada saat cipika - cipiki denganku, Monica pun berbisik di dekat telingaku, “Semoga Mamie bisa membahagiakan Papie ya.”

Aku mengangguk lagi sambil tersenyum.

Kemudian Papi berseru - seru, “Boooy! Boyke !!!”

Terdengar suara cowok menyahut, “Yaaa… !”

Lalu muncul cowok yang kutaksir berusia 18 tahunan. “Ada apa Pap?” tanyanya.

“Ini kenalan dulu sama calon istri papie,” kata Papie sambil memegang pergelangan tangan cowok itu. Lalu menoleh padaku, “Kini anak bungsuku, Boyke namanya,” kata Papie. Sementara cowok bernama Boyke itu tampak cuek sekali. Memandang ke arahku pun tidak.

“Ayo jabatan tangan dulu dengan calon mamiemu itu,” kata Papie kepada anak bungsunya.

Cowok bernama Boyke itu menjabat tanganku sambil menunduk, kemudian pergi lagi meninggalkan kami yang masih berada di ruang keluarga ini.

Papie bergegas mengejar anak bungsunya, sementara anak sulung Papie yang bernama Cinthia itu menghampiriku sambil berkata perlahan, “Boyke memang begitu. Sejak ibu kami meninggal, Boyke jadi berubah. Jadi bandel sekali. Kuliah nggak mau, disuruh kerja di perusahaan Papie juga gak mau. Jadi kerjanya cuma makan, ngeluyur dan tidur.

Aku tidak berani menanggapi ucapan anak sulung Papie itu. Cuma mengangguk - angguk saja sambil tersenyum.

Kehidupanku laksana satelit yang diletakkan di hulu roket, lalu melesat ke angkasa biru sampai meninggalkan atmosphere bumiku. Segalanya langsung berubah drastis. Karena aku sudah menjadi Nyonya Mathias, yang memiliki segalanya.

Setelah menjadi istri Papie, aku terbiasa dipanggil Mamie oleh anak - anak tiri yang usianya lebih tua dariku. Begitu juga dengan suami mereka, yang lebih tua daripada istrinya masing - masing, aku senantiasa dipanggil Mamie. Seminggu setelah aku diresmikan sebagai istri Papie, kedua anak tiriku yang kuliah di Amerika dan Kanada pun datang.

Mereka mengucapkan selamat pada Papie dan juga padaku. Meski mereka hanya seminggu berada di Indonesia, mereka kelihatan sangat mendukung perkawinanku dengan ayah mereka. Aku pun jadi bisa membedakan mana anak tiriku yang ketiga dan keempat. Anak tiri yang ketiga bernama Bobby, kuliah di Kanada. Sementara anak keempat bernama Kent, kuliah di Amerika Serikat.

Kesimpulannya, keempat anak tiriku, baik yang tinggal di Indonesia, mau pun yang pada kuliah di Kanada dan Amerika, sama - sama merasa senang, karena ayah mereka telah memiliki pendamping, meski usiaku jauh lebih muda daripada ayah mereka.

Satu - satunya anak tiri yang sulit diajak berkomunikasi, adalah anak tiriku yang bungsu dan bernama Boyke itu. Bahkan kata “Mamie” pun tak pernah kudengar dari mulutnya.

Tapi aku berusaha untuk beradaptasi dengan anak tiriku yang bungsu itu. Karena Papie sering berkata, bahwa sikapnya memang berubah sejak ibunya meninggal dunia. Maklum tadinya Boyke sangat dimanjakan oleh ibu kandungnya almarhumah. Lalu setelah ibunya meninggal, Boyke seolah kehilangan pegangan yang paling disayang dan diandalkannya.

Setiap pagi Boyke meninggalkan rumah di atas motor gedenya. Lalu pulang setelah larut malam.

Pernah pada suatu pagi, ketika Boyke sedang menyantap sarapan pagi di ruang makan, aku mencoba mendekatinya. Ikut sarapan pagi di ruang makan.

Boyke melirik pun padaku tidak. Asyik saja makan roti bakar dan minum kopi susunya.

“Kamu tiap hari ke mana aja Boy?” tanyaku dengan nada lembut.

Boyke menyahut dengan ketus, “Bukan urusan Anda.”

“Nggak tertarik untuk kuliah seperti teman - teman sebayamu?” tanyaku, tanpa mempedulikan keketusannya.

Boyke menggeleng.

“Padahal sayang lho waktumu dibuang - buang begitu. Ilmu itu kan penting untuk masa depanmu…”

Belum lagi habis kata - kataku, Boyke berdiri sambil berkata, “Anda bukan ibuku. Jadi nggak usah ngasih ceramah padaku.”

Lalu ia meninggalkan ruang makan. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin motornya, yang lalu menjauh sampai hilang dari pendengaranku.

Aku cuma bisa menghela nafas panjang. Sepertinya sulit sekali berkomunikasi dengan anak tiriku yang satu itu. Sementara Papie sering berada di luar kota. Sehingga Papie mungkin tidak tahu kalau aku sering berusaha mendekati anak bungsunya, tapi selalu mentok dan membuatku nyaris putus asa.

Ketika aku mengadu kepada Papie tentang sikap dan perilaku anak bungsunya itu, Papie berkata, “Nggak usah dipikirin Boyke sih. Jangankan sama Mamie, sama aku aja sangat jarang berkomunikasi. Dia seperti hidup di alamnya sendiri. Tapi yang jelas, dia tidak nakal, apalagi jahat. Dia tidak pernah menghabiskan duitku untuk berfoya - foya dengan temannya.

Dia juga tidak banyak teman. Beberapa kali kusuruh satpam untuk menguntitnya, agar aku tau ke mana saja dia pergi. Ternyata dia hanya duduk sendiri di puncak bukit, tanpa seorang teman pun. Mungkin di puncak bukit itu hatinya terasa tenang, mungkin juga dia sedang mengenang ibunya yang sudah tiada. Yang jelas, dia tidak pernah cari gara - gara, baik di rumah mau pun di luar.

“Apakah dia suka memakai narkoba?” tanyaku.

“Tidak pernah, “Papi menggeleng, “jangankan narkoba, minuman keras pun tak pernah disentuhnya. Bahkan pernah kutawari minum bir waktu sedang malam tahun baru, dia menolaknya.”

“Jadi, “lanjut Papie, “pada dasarnya Boyke itu anak baik. Hanya saja dia sulit beradaptasi dengan kenyataan bahwa ibunya sudah tiada. Makanya sebagai sarjana psikologi, cobalah dekati dia terus. Bujuk dia agar mau kuliah, jangan cuma pergi hanya untuk menyendiri begitu.”

“Papie pernah membuijuknya agar mau melanjutkan pendidikannya?”

“Sering. Tapi dia selalu menolaknya. Buat apa kuliah bikin pusing aja… selalu begitu jawabannya. Makanya aku memilihmu karena selain cantik Mamie kan sarjana psikologi. Cobalah lakukan segala cara agar dia mau kuliah. Tapi harus ulet dan sabar. Lama - lama juga pasti luluh hatinya. Tentu saja dengan asesmen yang biasa diterapkan oleh para psikolog.

“Aku belum jadi psikolog Pap. Baru sarjana psikologi. Harus kuliah es-dua dulu baru jadi psikolog.”

“Tapi dasar - dasar psikologi kan sudah punya. Tentu Mamie punya trik untuk membujuk anak muda seperti Boyke agar tertarik untuk kuliah. Pokoknya lakukanlah segala cara, agar dia mau kuliah. Mamie pasti bisa.”

“Mmmm… hobby Boyke apa Pap?” tanyaku.

“Setauku hobbynya cuma main catur, dengarin musik dan mendaki bukit. Bukan mendaki gunung tinggi. Kalau sudah menemukan bukit yang indah pemandangan di sekitarnya, dia bisa seharian duduk di situ. Ohya… dahulu waktu masih di SMA, dia suka sekali memelihara ikan di aquarium. Senengnya cuma ikan kecil - kecil.

“Dia perokok ya Pap.”

“Ya. Tapi dia hanya merokok di luar rumah. Karena dia juga tau, merokok di ruangan berAC itu sangat tidak baik. Dan aku tak pernah melarangnya merokok. Karena aku sendiri sudah jadi perokok sejak masih di SMP dahulu.”

“Kebiasaan Papie itu jadi menurun kepada anaknya ya?”

“Iya. Biar sajalah kalau sekadar merokok gak apa - apa. Kalau dilihat dari umur, dia itu kan sudah dewasa. Tapi kelakuannya masih kayak abege.”

Ucapan - ucapan suamiku itu seolah indoktrinasi, bahwa aku harus ikut berjuang agar Boyke mau kuliah seperti teman - teman sebayanya. Dan yang terngiang - ngiang terus di telinga batinku adalah ucapan suamiku ini…

Pokoknya lakukanlah segala cara, agar dia mau kuliah. Mamie pasti bisa …

Aku sendiri merasa sudah menjadi bagian dari keluarga Mathias ini. Sehingga aku pun punya kewajiban untuk mendekati dan membujuk Boyke agar mau kuliah seperti cowok - cowok sebayanya.

Pada suatu hari, ketika suamiku sedang berada di luar negeri (dia memang sering sekali ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya), aku semakin tersemangati anjuran suamiku, untuk membujuk Boyke dengan segala cara, agar ia punya semangat untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi.

Mengingat salah satu hobbynya adalah main catur, aku sengaja membeli papan catur dan bidaknya yang terbaik dan termahal. Kemudian kuletakkan papan itu di meja kecil meja kecil yang dikelilingi sofa dalam kamarku. Dan kuletakkan bidaknya pada tempat yang semestinya sebelum permainan dimulai.

Kebetulan aku bisa juga main catur, meski tidak seberapa ahli.

Malamnya ketika terdengar derum motor Boyke memasuki pekarangan, aku pun bersiap - siap untuk menyambutnya dengan ajakan main catur di kamarku.

Di lorong menuju ke pintu kamar Boyke, aku menyambutnya, “Baru pulang Boy?”

Boy cuma menatapku sekilas, lalu mengangguk dan membuka pintu kamarnya. Pada saat itulah aku bertanya seolah - olah belum tahu bahwa main catur adalah salah satu hobbynya, “Bisa main catur Boy?”

Boy menoleh padaku, lalu mengangguk dengan suara nyaris tak terdengar, “Bisa…”

“Temenin mamie main catur yuk,” ajakku sambil memegang bahunya.

Boyke tidak menyahut. Cuma berdiri sambil memandang ke dalam kamarnya, yang pintunya sudah dibuka.

Tapi aku mendesaknya, “Boy Sayang, Papie kan lagi di luar negeri. Mamie jadi sulit tidur. Mendingan kita main catur sampai sama - sama ngantuk yuk.”

Boyke memandangku sekilas, lalu menunduk lagi sambil menyahut perlahan, “Mau mandi dulu.”

“Iya… iya… mandi dulu deh. Mamie juga mau mandi dulu. Mamie tunggu di kamar mamie ya.”

Boyke cuma mengangguk, lalu masuk ke dalam kamarnya.

Aku pun kembali ke dalam kamarku sambil memutar otakku.

Lalu aku benar - benar mandi, karena memang belum mandi sore.

Setelah mandi, kukenakan kimono sutera hitamku.

Pada saat itulah terdengar pintu diketuk dari luar. “Masuk aja, gak dikunci… !” seruku.

Lalu Boyke masuk ke dalam kamarku, dalam baju kaus dan celana pendek serba putih.

Aku pun duduk di sofa yang berhadapan dengan Boyke, sambil bertanya, “Mau putih atau hitam?”

“Mana aja,” sahutnya sambil memegang pion hitam di depannya. Diperhatikannya pion itu sambil bergumam, “Bagus sekali bidak caturnya.”

“Iya, sengaja mamie pilih yang paling bagus. Supaya kalau dibawa ke luar gak malu - maluin.”

“Dibawa ke luar? Ke dalam pertandingan antar grup maksudnya?”

“Bukan,” sahutku sambil melangkahkan pion putihku duluan, “Mamie sih maunya maen catur itu di luar. Di puncak bukit misalnya. Jadi kita bisa maen catur sambil menikmati segarnya udara bebas polusi. Apalagi kalau ada angin sepoi - sepoi meniup kita… pasti lebih nyaman lagi.”

“Mamie suka maen ke puncak bukit?” tanya Boyke. Inilah pertama kalinya Boyke memanggilku Mamie.

“Suka banget.”

Boyke melangkahkan pion hitamnya sebagai counter atas langkah pionku. “Sayang sekarang sudah malam,” ucapnya, “Kalau pagi - pagi bisa maen catur di puncak bukit. Tapi… Mamie gak keberatan kalau kubonceng di motorku?”

“Mauuu…” sahutku, “asal jangan dibawa ngebut aja. Ngeri soalnya, kalau jatuh dari motor pasti ada bekasnya di badan.”

“Aku jarang ngebut, kecuali kalau lagi ngejar waktu. Besok pagi aja kita ke puncak bukit ya Mam. Pakai motorku, bukan pakai mobil Mamie. Kalau pakai sedan, bisa rusak nanti sedannya, karena jalannya masih bergerinjal - gerinjal di antara bebatuan.”

“Iya. Mamie juga pengen ngerasain dibonceng sama Boy. Pasti menyenangkan dibonceng saama amnak kesayangan mamie,” sahutku sambil memijit hidung Boyke.

Lalu… untuk pertama kalinya aku melihat Boyke tersenyum.

Mudah - mudahan aja skenarioku akan berjalan sebagaimana mestinya.

Permainan catur di kamarku itu hanya berlangsung satu set. Boyke yang menang. Sengaja aku mengalah agar hatinya senang. Padahal kurasa masih bisa mengalahkannya kalau aku mau.

Lalu Boyke keluar dari kamarku setelah janjian akan membawaku ke puncak bukit sambil membawa papan catur dan bidaknya ke sana.

Esok paginya, kukenakan celana pendek corduroy berwarna biru tua, dengan baju kaus berwarna biru peacock. Sepatu yang kukenakan pun sepatju sport berwarna biru, agar matching dengan baju kaus dan celana pendekku. Aku pun membawa selimut tebal yang kumasukkan ke dalam ranselku. Sekalian membekal mantel panjang yang tidak tembus air, untuk jaga - jaga kalau turun hujan nanti.

Kuketuk pintu kamar Boyke sambil berseru, “Sudah siap Boy?”

“Sudah… !” sahut Boyke dari dalam, “Masuk aja… pintunya gak dikunci Mam… !”

Kulihat Boyke sudah mengenakan celana jeans dan baju kaus putih yang ditutupi dengan jaket jeans pula.

Aku pun melangkah ke belakang Boyke. Lalu memeluk Boyke dari belakangnya sambil berkata, “Sebenarnya mamie sayang sekali sama kamu Boy.”

Boyke seperti kaget pada awalnya. Tapi lalu menyahut perlahan, “Aku juga tak p;ernah membenci Mamie…”

Ucapan Boyke itu sangat berarti bagiku. Semoga skenarioku berjalan lancar, meski harus step by step.

Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk di belakang Boyke, di atas motor gedenya. Aku baru mau mengenakan helm, masih sempat mengingatkan Boyke, “Jangan ngebut ya Boy. Santai aja.”

“Iya Mam,” sahut Boyke sambil mengenakan helmnya.

Kemudian Boyke meluncurkan motor gedenya ke jalan aspal. Aku pun memeluk pinggangfnya erat -erat, sehingga terasa sepasang toketku menghimpit punggungnya.

Tapi aku tidak mempedulikannya. Karena aku menganggap sedang bersama anakku sendiri, meski usia Boyke hanya tujuh tahun lebih muda dariku.

Dua jam kemudian kami sudah tiba di puncak bukit yang dituju. Puncak bukit yang sangat indah pemandangan di sekitarnya.

“Wooow… pemandangannya indah sekali Boy. Apakah pemilik bukit ini takkan menegur karena kita masuk ke sini tanpa izin?” tanyaku sambil melingkarkan lengan kananku di pinggang Boyke.

“Bukit ini kan punya Papie,” sahut Boyke.

“Ohya?! Mmm… kita mau ngapain aja di sini takkan ada yang berani negor dong,” ucapku sambil mempererat lingakaran lengan kananku di pinggang Boyke, karena udara di puncak bukit ini terasa dingin sekali.

“Emangnya Mamie mau ngapain?”

“Maen catur kan. “ Boyke terperanjat, “Mam! Kotak caturnya lupa! Gak dibawa !” serunya.

“Haaa?! Tapi biarin deh. Kita duduk - duduk atau rebahan aja di sini sampai siang…” kataku sambil mengeluarkan selimut tebal dari ranselku. Lalu menggelarnya di atas rumput yang rata, tidak ada lekuk - lekuknya.

Boyke tampak girang, “Wow! Mamie bawa selimut tebal itu…?!” serunya sambil duduk menyelonjorkan kakinya di atas selimut yang sudah kuhamparkan di atas rumput.

Aku pun duduk merapat ke sisi kiri Boyke sambil berkata, “Kalau sudah berada di puncak bukit begini, hati mamie terasa damai sekali Boy.”

“Kok Mamie sama dengan aku seleranya ya?” Boy menatapku dengan sorot “jinak”. Tidak cuek lagi. Ini pun sudah membesarkan harapanku, agar dia bisa mengikuti apa yang Papie inginkan.

“Iya… hobby mamie mungkin banyak yang sama denganmu. Memelihara ikan di dalam aquarium juga mamie suka.”

“Ohya?! Ooooh Mamie… ternyata hobby Mamie sama dengan hobbyku. Aku sayang sama Mamie, “cetus Boyke diikuti dengan kecupan hangatnya di kedua belah pipiku.

Lalu entah kenapa… aku menanggapi kecupan - kecupan di pipiku dengan kecupan hangat di bibirnya… sambil melingkarkan lenganku di lehernya, lalu merebahkan diri, sehingga wajah Boyke berada di atas wajahku, dengan bibir yang masih melekat di bibirku. Bahkan entah disengaja entah tidak, perutnya menghimpit perutku, dadanya pun menghimpit sepasang toketku yang kebetulan sedang tidak mengenakan beha.

Aku pun berusaha untuk mengikuti “irama” yang Boy inginkan. Ketika bibirnya terasa lekat menyedot bibirku, aku pun mulai melumat bibirnya dengan penuh kehangatan.

Lalu… entah apa yang timbul di dalam benak Boy, ketika ia balas melumat bibirku, sementara tangannya menyelundup ke balik baju kaus biru peacock-ku. Lalu memegang payudara kananku dengan mata terpejam - pejam.

Kubiarkan semuanya itui sebentar. Lalu kukeluarkan tangan Boy dari balik baju kausku, sambil berkata dengan lembut, “Jangan lewat batas Sayaaang…!”

“Ooo… oooooh… Mamie… maafin aku Mam… barusan aku merasa seperti dengan mendiang ibuku. Maaaf… jangan marah ya Mam…” ucap Boy sambil menundukkan kepalanya.

Aku pun membelai rambutnya dengan lembut, “Memangnya bagaimana perasaanmu terhadap mamie sekarang?”

Boyke tidak menyahut. Cuma menundukkan kepala sambil membiarkan rambutnya kubelai terus dengan lembut.

“Ngomong aja terus terang. Mamie takkan marah, asalkan kamu jujur menjawabnya. Bagaimana perasaanmu terhadap mamie sekarang ini?” tanyaku sambil mengepit kedua belah pipinya dengan kedua telapak tanganku.

“Mungkin barusan ada setan lewat Mam. Tiba - tiba aja aku merasakan hal yang aneh ini. Aku… aku jadi punya perasaan ingin memiliki Mamie…” sahut Boy dengan sikap seperti merasa bersalah.

“Sebenarnya hal itu wajar Boy. Karena kamu sudah mulai dewasa. Yang gak wajar adalah… mamie ini kan punya Papie.”

“Iya Mam. Aku mohon Mamie memaafkanku…”

“Dengar Boy… kalau kamu mau mendaftarkan diri ke perguruan tinggi pilihanmu, mamie akan mengikuti apa pun yang kamu inginkan. Asalkan kamu bisa merahasiakannya.”

“Haaa?! “Boyke menatapku dengan sorot bersemangat, “Serius Mam?”

“Serius. Mamie akan menganggapmu sebagai anak tercinta sekaligus kekasih tercinta. Asalkan kamu melanjutkan pendidikan ke universitas dan fakultas pilihanmu sendiri.”

“Mau Mam… mau…! Besok juga aku akan mendaftar ke sebuah universitas swasta. Aku mau daftar ke fakultas ekonomi aja ya Mam.”

“Terserah. Yang penting kamu sudah siap belajar, siap mengikuti pendidikanmu dengan serius. Kalau sudah seperti itu, setiap Papie nggak ada, mamie akan kasih ini nih,” sahutku sambil menurunkan celana pendek biru tuaku yang pinggangnya elastis, sehingga kemaluanku terbuka di depan mata Boyke.

“Mamie… ooooh… Mamie… !” Boyke berlutut di depanku, dengan mata nyaris tak berkedip, memandang kemaluanku seperti kafilah dahaga menemukan oase di tengah gurun pasir…!

“Mamie takkan ngasih memek mamie sekarang. Mamie hanya akan ngasih kalau kamu sudah kuliah, dengan nilai bagus pula. Kalau IPKnya di bawah tiga, jangan harap bisa terus - terusan bisa menikmati memek mamie.”

Boy malah menekan - nekan bagian di bawah perutnyha sambil menyeringai.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ini punyaku… jadi pegel dan sakit Mam… sakit sekali…” sahutnya.

“Coba buka celananya… sembulkan tititnya… biar mamie bantu supaya gak pegel lagi,” sahutku bernada perintah.

Aku pernah mendengar bahwa kalau cowok sedang sangat bernafsu, lalu nafsunya itu ditahan - tahan, maka penisnya akan pegal - pegal. Testisnya pun ikutan pegal dan sakit.

Dan Boyke menurut saja. Celana jeans sekaligus celana dalamnya dipelorotkan, maka tersembullah penisnya yang tampak ngaceng sekali itu. Penis yang… waaaw… penis Boyke itu ternyata lebih panjang dan lebih gede daripada penis papienya…!

Terus terang, aku horny juga melihat batang kemaluan segede dan sepanjang itu. Penis yang ngaceng dengan perfect pula. Hanya saja aku harus menahan diri, agar tujuan utamaku tercapai. Bahwa Boyke harus kuliah dulu, barulah aku akan memberikan kewanitaanku padanya. Itu pun kalau diijinkan oleh suamiku.

Dan kini penis ngaceng itu sudah berada di dalam genggamanku, setelah menyuruh Boy celentang di atas hamparan selimutku.

Kalau baswa lotion, mungkin aku bisa mengocok penis Boy sampai ejakulasi. Tapi karena aku tidak membawa lotion, maka sebagai gantinya kualirkan air liurku ke moncong ke leher dan ke badan penis Boy.

Kemudian kukocok - kocok penis panjang gede itu dengan telaten. Namun diam - diam aku menyelinapkan tangan kiriku ke balik celana pendekku sendiri, lalu… ketika aku semakin gencar mengocok penis Boyke dengan tangan kananku, jemari tangan kiriku pun gencar mewngelus - elus kelentitku sendiri.

“Dududuuuuh Maaaam… dduududuuuuh Maaam… bo… boleh sambil megang toiket Mamie gak?” rengek Boy sambil menunjuk ke arah toketku yang tertutup oleh baju kaus biru peacock ini.

Aku pun membungkuk agar tangan Boy bisa mencapai toketku lewat bagian leher baju kaus elastisku. “Peganglah…” ucapku sambil menggencarkan kocokan di penis Boy dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku pun semakin gencar mengelus - elus kelentitku sendiri.

Lama kelamaan aku menganggap mulutku harus ikjut campur, agar penis Boy cepat ngecrot. Maka dengan binal kujilati moncong dan leher penis Boy, sementara tangan kananku tetap gencar mengocok badan penisnya.

Tangan Boy pun mulai giat meremas - remas toketku. Sehingga aku jadi merasa lengkap dengan “sesuatu” yang tengah kurasakan ini. Bahwa kelentitku sedang dielus - elus oleh jemariku sendiri, sementara toketku sedang diremas - remas oleh tangan Boy.

Akhirnya moncong penis Boy memuncratkan air mani berulang - ulang, sampai membuat wajahku berlepotan air mani anak tiriku.

Aku sendiri sudah berhasil mencapai orgasme beberapa detik sebelum penis Boy berejakulasi.

Kukeluarkan kertas tissue basah dari dalam ranselku, untuk menyeka wajahku yang berlepotan air mani Boy.

“Bagaimana? Masih pegel kontolnya?” tanyaku sambil mencolek colek ujung hidung Boy yang mancung seperti mancungnya cowok Arab.

“Nggak Mam. Langsung hilang setelah ngecrot barusan. Terima kasih ya Mam.”

“Iya. Tapi ingat… apa pun yang terjadi di antara kita berdua, harus dirahasiakan. Jangan ada seorang pun tau, termasuk saudara - saudaramu, apalagi Papie… jangan sampai tau ya.”

“Iya Mam. Percayalah, aku ini orang yang teguh janji. Takkan menjilat air ludahku sendiri.”

“Termasuk janjimu untuk mendaftarkan diri ke fakultas pilihanmu itu kan?”

“Iya Mam. Bukan sekadar daftar, tapi juga akan kuliah serajin mungkin, agar cepat jadi sarjana.”

“Bagus. Semua itu demi masa depanmu sendiri kan?”

“Iya Mam,” sahut Boy sambil memegang tanganku. Lalu meremasnya sambil melanjutkan, “Aku… aku sayang Mamie… sangat sayang sama Mamie.”

Sebagai jawaban kucium bibir Boy lalu berbisik di telinganya, “Perasaan mamie juga sayaaaaaaang sama kamu Boy. Makanya mulai saat ini kamu harus mengubah sikap dan perilakumu. Minimal kamu harus mau berkomunikasi sama mamie ya.”

“Iya Mam. Sejak Mama meninggal, aku tidak punya tempat untuk curhat lagi. Sedangkan Papie kan selalu sibuk mengurus bisnisnya di sana - sini. Tapi mulai saat ini, kalau ada sesuatu untuk dikemukakan, aku mau curhat sama Mamie aja ya.”

“Iya. Mamie siap mendengarkan curhatanmu. Kalau ada masalah mamie mau ikut mencari solusinya,” sahutku sambil mengelus - elus rambut Boy.

Keesokan harinya, Boy menepati janjinya. Ia pergi pagi - pagi sekali dan pulang di tengah hari, sambil memperlihatkan sehelai formulir yang harus diisinya. Formulir pendaftaran ke fakultas ekonomi di universitas swasta paling bergengsi di kotaku.

Formulir yang belum diisinya itu diperlihatkan padaku. Kubaca isi formjulir itu. Lalu berkata, “Mendaftar ke universitas itu tentu harus membayar uang sumbangan pembangunan kan.”

“Iya Mam.”

“Kalau ada kekurangan dananya, ngomong aja sama mamie. Nanti mamie bayarin.”

“Nggak Mam. Uang jajan pemberian Papie, masih banyak di rekening tabunganku. Kalau aku mau, beli mobil baru pun bisa.”

“Nah… itu kan lebih bagus. Naik motor itu besar resikonya Boy. Makanya mamie lebih senang kalau kamu pakai mobil. Jangan pakai motor terus. Sayangi badan dan nyawamu sendiri Boy.”

“Iya Mam. Nanti aku pikirkan lagi soal itu sih.”

“By the way, kamu gak punya cewek Boy?”

“Nggak, “Boy menggeleng, “aku sudah muak sama cewek - cewek yang mendekatiku, tapi tujuannya hanya ingin menguras dompetku doang. Soalnya mereka tau kalau aku ini anak orang kaya. Makanya sekarang sih aku mau fokus sama Mamie aja. Kalau aku ingin mencintai seseorang, aku akan mencintai Mamie aja seorang.

Sebagai jawaban, kurengkuh leher Boy ke dalam pelukanku, “Kalau kamu selalu menuruti saran mamie, sampai kapan pun mamie akan tetap menyangimu Boy…” ucapku yang disusul dengan ciuman hangat di bibir Boy.

Boy tampak sangat terhanyut oleh perlakuanku padanya. Lalu berkata perlahan, “Mam… entah kenapa… sekarang ini Mamie sudah ada di dalam hatiku. Ke mana pun aku pergi, bayang - bayang wajah Mamie selalu mengikutiku.”

“Memangnya apa kelebihan mamie sehingga kamu sampai segitunya memikirkan mamie?” tanyaku sambil mengajaknya duduk berdampingan di atas sofa kamarku.

“Mamie sangat cantik di mataku. Dan… Mamie sangat… sangat menggiurkan…”

“Kamu juga ganteng Boy. Nanti… kalau kamu sudah kuliah dan IPK-mu di atas tiga terus, kamu boleh tidur sama mamie pada saat Papie sedang gak ada.”

“Mmmm… sudah kebayang nyaman dan indahnya bobo sama Mamie… bisa melukin Mamie.. bisa melakukan apa pun bersma Mamie…! Aku akan membuktikan kepada Mamie dan Papie, bahwa aku ini bukan cowok bodoh. Lihat aja nanti ya Mam.”

Ketika pulang dari luar negeri, suamiku terheran - heran setelah mendengar laporanku, bahwa Boyke sudah mulai kuliah di fakultas ekonomi.

Lalu suamiku berkata, “Sudah kuduga dari semula, sebagai sarjana psikologi, Mamie pasti mampu memperbaiki sikap dan perilaku Boyke. Hahahaaaa… aku senang mendengarnya, Sayang.”

“Tapi Pap… dia meminta sesuatu sebagai kompensasinya kalau IPKnya di atas tiga terus kelak.”

“Apa yang dimintanya? Sedan sport?” tanya Papie.

“Bukan Pap,” sahutku yang lalu kulanjutkan dengan bisikan di dekat telinga suamiku, “Kalau IPKnya di atas tiga terus, dia ingin menyetubuhiku Pap…”

“Haaah?! Serius?!” Papie tersentak kaget. Aku pun menyiapkan mental untuk menghadapi kemarahan suamiku.

“Iya. Tapi itu nanti kalau sudah dua semester baru akan keluar IPKnya.”

Papie menunduk sambil memijat - mijat keningnya sendiri. Lalu memandangku sambil berkata, “Aku harus berbesar jiwa menghadapi masalah ini. Karena biar bagaimana pun Boy itu anakku, darah dagingku sendiri. Jadi… kalau memang keinginannya seperti itu, kabulkan aja Mam.”

“Kabulkan?!” ucapku dengan sikap seolah - olah tidak setuju pada keputusan suamiku itu. Padahal… ooo… batinku melonjak girang. Karena belakangan ini aku pun sudah mulai terobsesi oleh kegantengan dan kemudaan Boy.

“Iya. Memang kalau dipikir oleh otak picik sih, aku takkan mengijinkan. Tapi setelah dipikir secara luas, dia kan anakku sendiri. Lalu apa salahnya kalau aku berbagi rasa dengannya, agar dia semakin bersemangat kuliahnya? Di sisi lain, dalam beberapa bulan ke depan ini aku akan semakin sibuk mewngurus bisnisku.

“Lalu… nanti cinta Papie padaku akan pudar, karena aku dianggap istri yang serong kan?”

“Tidak, “Papie menggeleng, “Bahkan di dunia Barat, banyak suami yang sengaja men - sharing istrinya, justru karena ingin membahagiakan istrinya itu. Sedangkan aku men - sharing dengan anak sendiri, demi masa depan anak bungsuku itu. Kalau hal itu sudah terjadi, pasti akju akan semakin mencintaimu, sebagai istri yang bijaksana dalam menentukan langkah yang sangat krusial itu.

“Jadi… “lanjut Papie, “Kasih aja apa yang dia inginkan itu. Tapi semangatnya harus dipacu terus. Dan… jangan bilang - bilang kalau aku sudah ngasih ijin begini. Supaya dia tidak sewenang - wenang padamu nanti.”

Aku tertunduk, seperti bingung. Padahal hatiku sedang bersorak kegirangan. Karena aku sudah membayangkan semua itu. membayangkan segarnya daun muda seperti Boy. Kalau memakai istilah umum, aku akan menikmati segarnya brondong ganteng, dengan seijin suamiku sendiri.

“Terus… apa dia sudah dikasih?” tanya suamiku.

“Belum lah,” sahutku, “Kan dia janjinya juga kalau IPKnya di atas tiga terus, baru akan minta bonus istimewa itu.”

“Kalau nunggu setahun lagi, kasihan dia dong. Kasih aja nanti setelah aku terbang ke Eropa. Tapi dia harus berjanji akan mencapai nilai tinggi terus di kampusnya.”

“Memangnya kapan Papie mau terbang ke Eropa?”

“Sekarang kan hari Selasa. Hari Senin mendatang aku akan terbang ke Eropa bersama beberapa stafku. Untuk menandatangani beberapa perjanjian di sana.”

Tiba - tiba terdengar derum motor gede Boy di pekarangan, lalu mendekat ke arah garasi.

“Nah itu Boy datang Pap, “katgaku.

“Iya, “Papie mengangguk, “aku akan menyambut dia dengan pelukan seorang ayah yang bangga melihat anaknya bersedia melanjutkan pendidikannya. soal yang tadi itu, aku akan pura - pura tidak tahu aja.”

Kemudian Papie melangkah ke ruang keluarga.

Karena sebelum masuk ke dalam kamarnya, Boy pasti harus melewati ruang keluarga dulu.

Pada waktu baru masuk ke ruang keluarga, Boy tampak kaget melihat papienya sudah berdiri tegak di depan matanya.

“Papie udah pulang?” tanya Boy.

“Iya. Dari mana kamu Boy?”

“Pulang kuliah Pap.”

“Hahahahaaaaa… akhirnya anak kesayangan papie sadar juga pada masa depannya ya?” ucap Papie sambil memeluk Boy dengan sikap hangat sekali. “Papie bahagia sekali mendengar kamu mau kuliah seperti yang sering papie anjurkan. Syukurlah Boy. Papie gak punya ganjalan lagi sama kamu. Semoga kamu sukses kuliah dan menata masa depanmu ya.

“Iya Pap,” sahut Boy sambil melirik ke arahku, yang membuatnya seperti salah tingkah. Karena itu aku meninggalkan ruang keluarga, menuju ke belakang. Ke arah kolam renang yang bisa diset menjadi hangat airnya. Tapi aku masih mendengar suara Papie berkata, “Dengar Boy… untuk membuktikan kebahagiaan papie, mulai saat ini uang jajanmu dinaikkan duaratus persen.

“Iya Pap. Terima kasih.”

Aku yang sedang berjalan menuju kolam renang, cuma tersenyum mendengar suara Papie dan Boy itu.

Tadinya aku berniat untuk melepaskan housecoatku, lalu melompat ke kolam renang. Tapi tiba - tiba Papie menghampiriku sambil berkata setengah berbisik ke dekat telingaku, “Uang belanja Mamie juga akan kunaikkan empatratus persen. Jadi mulai saat ini transferku ke buku rekening Mamie akan menjadi lima kali lipat.

“Iya, terima kasih Papie Sayaaang…” sahutku. Dan terpaksa kubatalkan niat berenangku, karena takut Papie merasa dinomorduakan olehku. Lalu aku melangkah mengikuti Papie yang berkata sambil berjalan, “Ada oleh - oleh dari Jepang tuh Sayang.”

Pada hari Senin yang sudah ditetapkan, pagi - pagi sekali Papie sudah siap - siap mau berangkat ke bandara. Papie menerangkan bahwa rombongannya harus transit di Singapore dulu, kemudian dari Singapore terbang langsung menuju Bandara Internasional Schiphol (di selatan Amsterdam - Nederland) sebagai tujuan utamanya.

Menjelang keberangkatan Papie dan rombongannya, aku mencium bibir suamiku yang bijaksana itu, disusul dengan ucapan, “Semoga penerbangannya lancar, bisnisnya sukses dan pulang kembali dalam keadaan lancar juga, ya Papieku Sayang.”

Papie mengangguk sambil menepuk - nepuk bahuku dan berkata, “Take care ya Sweetheart. Semoga keadaan di rumah tetap damai dan nyaman selama ditinggalkan olehku.”

Sejam kemudian Boy mengetuk pintu kamarku. Setelah kusuruh dibuka pintunya, Boy pun membuka pintu dan masuk menghampiriku yang sedang duduk di pinggiran bed, “Aku mau kuliah Mamie,” ucapnya yang disusul dengan ciumannya di tanganku.

“Iya… nanti pulangnya jangan ngeluyur dulu ya Sayang. Mamie mau mengajak ke suatu tempat nanti sore.”

“Iya Mam,” sahut Boy sambil mengecup pipi kanan dan pipi kiriku.

Kemudian Boy berlalu.

Meninggalkanku dalam sedikit keresahan. Karena aku sudah sangat tergiur oleh kemudaan dan kegantengan Boy. Meski sudah menjanjikan baru akan “dikasih” setelah terbukti IPKnya di atas tiga, kini justru aku yang tak sabar lagi menunggunya sampai setahun lagi, setelah ada hasil ujian dari dua semesternya.

Itulah sebabnya, aku jadi gelisah dibuatnya. Dan menunggu Boy pulang rasanya lama sekali.

Untungnya jam 12.15 siang terdengar derum motor gede Boy sudah memasuki garasi. Buru - buru kubukakan pintu kamarku, untuk menyambut kedatangan sang pangeran yang sudah membuatku resah gelisah ini.

Di balik kimono sutera putih aku berdiri di ambang pintu, menunggu munculnya sang pangeran. Dan ketika ia muncul, aku langsung bertanya, “Kok tumben siang - siang begini sudah pulang?”

“Kebetulan dosennya gak bisa datang, karena ada acara kawinan di rumahnya. Mau ngajak ke mana Mam?”

Kutarik pergelangan tangan Boy ke dalam kamarku sambil berkata, “Mau ngajak ke sini,” kataku.

“Heheheee… Mamie… ada - ada aja. Kirain mau ngajak ke mana.”

“Sini… mamie mau nanya,” kataku sambil mengajak Boy duduk berdampingan denganku di sofa bedroomku.

“Mau nanya apa Mam? Aku ini sangat setia lho sama Mamie… jangan mikir yang bukan - bukan.”

“Nggak Sayang. Mamie sangat percaya pada kesetiaanmu. Cuma mau bilang bahwa Papie di Eropanya akan makan waktu tiga bulan.”

“Asyik dong Mam. Sedikitnya aku bisa ngemut toket Mamie tiap hari selama tiga bulan.”

“Sekarang mamie mau nanya, masalah apa yang membuatmu masih penasaran? Jawab sejujur mungkin. Apa pun jawabanmu takkan membuat mami marah.”

“Mamie nanya masalah yang membuatku masih penasaran? Tapi maaf ya Mam… Mamie jangan marah… mmm… yang membuatku masih penasaran ya punya Mamie itu,” sahut Boy sambil menunjuk ke arah kemaluanku yang masih tertutup oleh kimono sutera putihku.

Aku lalu berbisik ke dekat telinganya, “Maksudmu… memek mamie?”

“Iya Mam. Tapi Mamie kan bilang, aku baru boleh menikmati yang satu itu kalau IPK-ku tiga ke atas. Berarti aku harus menunggu setahun lagi, baru aku bisa nagih janji Mamie.”

“Kalau mamie nyuruh kamu jilatin memek mamie, mau nggak?”

“Waaaah… mau banget Mam. Aku sering nonton filmnya… film yang jilatin memek, tapi aku belum pernah jilatin memek. Sedangkan memek Mamie… megang aja belum pernah. Baru dilihatin sekilas di puncak bukit tempo hari.”

Saat itu aku tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Sehingga kalau kimono ini kulepaskan aku akan langsung telanjang bulat di depan mata Boy.

Lalu kulepaskan ikatan talki kimono di pinggangku. Dan kurentangkan kedua sisi kimonoku sambil berkata, “Kalau begitu, jilatin deh memek mamie sekarang…”

“Mamie…! Oooooh…! “seru Boy tertahan, sambil melompat ke depanku. Lalu duduk bersila di lantai, di antara kedua kakiku yang sudah kurenggangkan.

Lalu tangannya seperti mau menyentuh kemaluanku yang senantiasa dicukur bersih ini. “Mam… boleh aku megang memek Mamie ini?” tanyanya dengan suara parau, dengan tangan gemetaran pula.

“Boleh. Dijilatin juga boleh…”

“Mamie… berarti aku… akju akan mendapatkan keringanan hari ini?”

“Iya. Narapidana juga suka dikasih remisi kan? Karena itu kamu pun boleh jilatin memek mamie sepuasnya. Bahkan boleh juga ngentot mamie sekarang. Asalkan kamu berjanji akan benar - benar membuktikan IPK-mu yang harus di atas tiga. Oke?”

“Siap Mam!” sahut Boy sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya.

Kemudian Boy mulai menjilati kemaluanku secara serampangan, pertanda dia memang sangat pemula. Belum pernah menyentuh kemaluan wanita seperti pengakuannya yang berkali - kali diiringi sumpah segala macam.

Maka kuberi petunjuk bagian mana saja yang harus dijilatinya.

Lalu kenapa aku seperti ngebet banget ingin agar memekku dijilati oleh Boy? Masalahnya aku sudah tahu betapa gedenya batang kemaluan Boy itu. Lebih gede daripada penis papienya dan bahkan lebih gede daripada penis Ricky, mantan pacarku yang sudah kuputuskan itu.

Untungnya Boy cukup cerfdas. Dia cepat mengerti petunjukku. Maka mulailah ia menjilati mulut memekku dengan lahapnya. Bahkan terkadang ia bergumam sendiri. “Hmmm… memek Mamie harum sekali…”

Tentu saja harum. Karena sesaat sebelum dia turun dari motor gedenya, aku sudah menyemprot selangkanganku dengan parfum made in France. Sehingga harumnya tersiar sampai ke kemaluanku.

Tak cuma itu. Dia juga sudah mengerti yang mana bagian kecil mungil dan bernama kelentit alias itil itu. Bagian yang paling peka di atas mulut vaginaku itu. Dan ketika dengan lahapnya dia menjilati kelentitku, yang terkadang disedot - sedotnya… aku pun mulai merintih keenakan. “Iyaaaa… aaaaaaaah…

Setelah Boy menjilati kelentitku dengan lahapnya, terasa liang memekku mulai basah. Makin lama makin basah. Sehingga akhirnya aku minta Boy menghentikan jilatannya. Lalu aku bangkit dari sofa dan mengajak Boy pindah ke bed, dengan nafsu birahi yang sudah memuncak.

Di atas bed aku yang sudah telanjang bulat ini menyuruh Boy telanjang juga.

Lalu aku cdelentang sambil merentangkan sepasang pahaku lebar - lebar. Sementara Boy merayap ke atas perutku sambil memegangi batang kemaluannya yang sudah ngaceng berat itu.

Karena takut salah sasaran, kupegangi leher penis Boy dan kuledtakkan pada tempat yang tepat. Kemudian aku berkata, “Ayo… doronglah…”

Boy menuruti perintahku. Ia mendorong penisnya kuat - kuat dan… blesssssssss… penis panjang gede itu pun membenam ke dalam liang kenikmatanku. Yang kusambut dengan pelukan di leher Boy, sambvil memberikan instruksi, “Ayo… entotin kontolmu Boy… tapi jangan sampai lepas ya… nanti susah lagi masukinnya…

O, Boy yang ganteng dan cerdas…! Kini ia mulai mengayun penisnya, bermaju mundur di dalam liang memekku. Awalnya pelan - pelan… kemudian ia mempercepat entotannya sesuai dengan instruksi dariku.

“Mamie… oooooo… oooooh Maaaam… memek Mamie enak sekali Maaaaaam… impianku sudah menjadi kenyataan… impian untuk menyetubuhi Mamie seperti ini… dan aku jadi semakin mencintaimu Maaaam… “desis Boy pada waktu mulai lancar mengentotku, sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Iya Sayang… mamie juga makin sayang sama kamu Booooy… mungkin lebih sayang daripada seorang ibu kepada anak kandungnya… ayo ent terus memek mamie Boooy… entooot teruisssss… entoooooootttt… Booooy… entooot terusssss… jangan mandeg - mandeg Boooy… entooooottttttttt…

Rintihku berlontaran begitu saja dari mulutku, tanpa dapat kukendalikan lagi. karena sesungguhnyalah gesekan demi gesekan penis Boy yang panjang gede itu menimbulkan rasa nikmat yang luar biasa. Nikmat yang sulit dilukiskan dengan kata - kata belaka.

Saking enaknya, entotan Boy menimbulkan nikmat yang seolah mengalir dari ujung kaki sampai ke ubun - ubunku. Terkadang membuatku merinding. Merinding dalam syur, bukan merinding karena takut.

Semua nikmat yang kurasakan ini, akan membuatku semakin menyayangi Boy. Mungkin lebih dari sayangnya seorang ibu kepada anak kandungnya. Karena Boy seolah telah melengkapi kebahagiaanku setelah menjadi Nyonya Mathias ini.

Nikmat ini pun membuatku lupa daratan. Lupa sdegalanya. Sehingga rintihan - rintihan di luar kesadaranku berlontaran terus dari mulutku, seolah tak bisa dikendalikan lagi.

“Iya Booooy… entot terussss Boooy… entoooot teruuuussssssss… entooootttt… entooooottttttt… entoooootttt… kontolmu enak sekali Boooooy… !”

Sementara Boy pun tampak seperti tenggelam dalam arus birahinya sendiri. Arus yang membuatnya berdengus - dengus terus, laksana dengus kerbau yang tengah disembelih…!

Boy pun mengikuti petunjukku. Bahwa ketika ia sedang gencar mengentotku, mulutnya terkadang nyungsep di pentil toketku yang masih kencang ini. Tanpa ragu lagi ia mengemut pentil toketku, membuatku semakin merinding - rinding dalam nikmat yang tiada bandingannya.

Keringat Boy pun mulai berjatuhan di atas dadaku, wajahku dan leherku. Bercampur aduk dengan keringatku sendiri.

Cukup lama Boy menyetubuhiku. Sampai pada suatu saat ia seperti panik. Ia mengayun penisnya dengan tergesa - gesa sambil merintih - rintih, “Oooooh Maaaam… Maaaaaam… aaku… mau lepas Maaaam…”

Aku pun menanggapinya dengan menggoyangkan pinggulku sedemikian rupa, sehingga terasa kelentitku bergesekan dengan kepala penis Boy terus - menerus.

“Ayo letuskan di dalam memek mamie Boy… lepasin semuanyaaaa… mamie juga mau lepasssss… ayooooo lepasiiiiin semuanyaaaaa…”

Sesaat kemudian, aku sudah tiba di puncak nikmatku yang membuat batinkju serasa melesat ke langit tinggi… langit ketujuh, seperti yang sering dibilang oleh orang - orang tua dahulu. Inilah orgasmeku yang paling nikmat di antara orgasme - orgasme yang pernah kualami.

Boy pun berkelojotan sambil menancapkan penisnya di dalam liang sanggamaku.

Crooootttt… crettttt… crooooootttt… crettt… croooooottttttt… cret… croooooottttt…!

Wow… terasa banyak sekali air mani yang dimuntahkan oleh moncong zakar anak tiriku ini. Membuat liang memekku seperti dilanda banjir lendir… namun sangat mengesankan bagiku.

Boy terkulai lemas di atas perutku. Dan aku merasa berterimakasih padanya, karena sudah diberikan kesempatan menikmati kejantanannya yang sangat memuaskan batinku ini.

Maka kucium bibir Boy, disusul dengan bisikan di dekat tewlinganya, “Memek mamie enak nggak Sayang?”

“Ughhh… luar biasa enaknya… terima kasih Mam… semua ini akan membuat semangat belajarku semakin kuat. Mamie memang luar biasa baiknya padaku. Sungguh aku tak menyangka kalau hari ini bisa merasakan nikmatnya menyhetubuhi Mamie… sebagai pengalaman pertamaku merasakan menyetubuhi wanita. Sangat mengesankan Mamie…


Ketika hari mulai senja, Boy sudah duduk di sebelah kiri dalam sedanku yang tengah kukemudikan sendiri.

Menyadari bahwa sedanku matic, Boy terus - terusan menggenggam tangan kiriku dengan sikap mesranya, memperlakukanku laksana kekasihnya.

Jujur, aku suka sekali diperlakukan semesra ini. Bahkan kalau kubanding - bandingkan dengan Papie atau Ricky, perlakuan Boy padaku ini terasa paling mesra.

Bahkan pada suatu saat Boy berkata, “Seandainya Mamie bukan istri Papie, aku mau kawin dengan Mamie.”

“Tadi kita kan sudah kawin Boy,” sahutku sambil menepukkan tangan kiriku ke lutut Boy.

“Heheheee… iyaaa… tapi maksudku menikah Mam.”

“Gak usah mikirin nikah segala. Kamu kan sudah mamie ijinkan, kapan pun kamu mau, memek mamie boleh kamu sodok.”

“Memang iya. Tapi kalau Papie sudah pulang dari Eropa, aku harus jauh - jauh lagi dari Mamie kan?”

“Tetap bisa Boy.”

“Tetap bisa gimana?”

“Kita kan bisa cek in ke hotel. Setelah sama - sama puas, cek out.”

“Oh, iya ya.”

“By the way, kenapa kamu gak pernah pacaran?”

“Kan aku sudah bilang. Cewek - cewek yang mendekati aku pada matre semua. Mereka mendekatiku karena ada maunya. Minta dibeliin inilah, itulah… karena mereka tau kalau aku ini anak orang kaya. Makanya aku sudah enek sama cewek yang cuma money oriented.”

“Terus… kenapa sama Mamie kamu mau?”

“Karena Mamie memiliki kedudukan ganda bagiku. Sebagai kekasih sekaligus sebagai pengganti ibuku yang sudah tiada. Itulah sebabnya pada saat ini tiada satu pun cewek yang bisa menggantikan Mamie.”

“Tapi cewek cantik yang nggak matre juga banyak kan?”

“Mamie cewek tercantik di dunia. Di mana pun aku berada, nama Mamie selalu tersimpan di dalam hatiku.”

Aku cuma tersenyum dengan perasaan bangga mendengar ucapannya itu.

Dan ketika sedanku mentok di depan lampu merah, Boy menggerayangi paha kiriku yang tersembul di belahan gaun malamku. Kubiarkan saja Boy melakukan hal ini. Aku bahkan ingin agar Boy bisa menjadi cowok yang agresif, tanpa terlalu mengikuti etika.

Dan lampu merah menyala cukup lama, sehingga tangan kanan Boyh sudah tiba di pangkal pahaku. Bahkan sudah menyelusup ke balik celana dalamku, untuk mengotak -atik kemaluanku.

Ketika lampu hijau sudah menyala, tangan Boy masih berada di balik celana dalamku. Padahal aku sudah menjalankan sedanku kembali, menembus kepadatan lalu lintas di hari yang sudah mulai gelap ini.

Tak lama kemudian aku sudah membelokkan sedanku ke area parkir yang terletak di basement. Area sebuah hotel five star.

“Mau cek in di hotel ini Mam?” tanya Boy.

“Tadinya mau makan dulu. Hotel ini menyediakan makanan all you can eat, dengan system buffet. Tapi mendingan cek in dulu. Setelah ML, baru kita makan. Kamu judah kepengen ngentot memek mamie lagi kan?”

“Heheheee… iya Mam. Mendingan ML dulu, baru makan. Punyaku udah ngaceng berat nih.”

Lalu kami turun dari mobil dan melangkah ke arah pintu lift untuk cek in di front office dulu. Beberapa saat berikutnya kami sudah berada di dalam lift lagi, yang membawa kami ke lantai lima. Lantai di mana letaknya kamar yang sudah kami booking.

Pada waktu di dalam lift yang sedang membawa kami ke lantai lima itulah Boy mendekap pinggangku sambil mencium bibirku dengan mesranya. Memang Boy bebas menciumku, karena hanya ada kami berdua di dalam lift ini.

Setelah lift berhenti, barulah Boy melepaskan ciumannya.

Lalu kami keluar dari lift, menuju kamar yang sudah dibooking.

Setelah berada di dalam kamar hotel, Boy seperti ingin melanjutkan perilakunya di dalam lift tadi.

Boy memeluk leherku sambil berkata, “Di mataku, Mamie ini penuh pesona yang takkan pernah membosankan.”

“Semoga kata - katamu itu muncul dari hatimu yang sebenarnya,” sahutku sambil tersenyum. Lalu kurapatkan bibirku ke bibirnya. Dan kemudian kami jadi saling lumat sambil saling remas. Aku meremas - remas rambut Boy, sementara Boy meremas - remas bokongku.

Setelah saling lumat ini terurai, Boy berkata sambil duduk di atas sofa yang menghadap ke sebuah televisi kecil, “Besok kan sabtu Mam.”

“Terus kenapa kalau Sabtu?” tanyaku sambil duduk di samping Boy.

“Sabtu - Minggu aku kan gak kuliah.”

“Terus kamu maunya nginep di hotel ini sampai Minggu?”

“Maunya sih gitu. Tapi kita gak bawa pakaian ganti ya? Ini aja aku cuma pakai celana pendek dan bersandal pula. Gak pakai sepatu.”

“Sudahlah. Kita nginap sampai besok siang aja. kalau belum kenyang kan bisa dilanjutkan di rumah.”

“Siap Mamie… !” sahut Boyke sambil membusungkan dadanya.

Aku tersenyum sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana pendek hitam yang Boy kenakan. Celana pendek yang elastis di bagian lingkaran perutnya. Dan kupegang penisnya yang memang sudah ngaceng berat. Maklum anak muda masih belasan tahun. Produksi sperma dan gairahnya masih melimpah.

“Kontolmu udah ngaceng full gini… udah gak sabar pengen ngentot memek mamie lagi ya?” tanyaku sambil meremas penisnya dengan lembut.

“Iya Mam… please…” sahut Boy sambil melepaskan celana pendek hitam dan celana dalamnya.

Dan… penis panjang gede itu tampak mengacung ke atas. Membuatku tersenyum. Lalu berdiri sambil melepaskan gaun malamku. Kemudian kugantungkan gaunku di kapstok. Begitu juga beha dan celana dalam kutanggalkan dan kugantung di kapstok. dan menghampiri Boy kembali, yang juga sudah menanggalkan baju kaus hitamnya, sehingga jadi telanjang bulat, seperti aku.

Kutarik pergelangan tangan Boy sambil berkata, “Di bed aja yuk. Biar leluasa pergerakannya.”

Boy manut saja. Mengikuti langkahku menuju bed. Lalu ia duluan melompat ke atas bed, diikuti olehku yang terus - terusan mengamati penis Boy secara diam - diam.

Entah nurun dari siapa penis Boy bisa sepanjang dan segede itu. Soalnya penis Papie tidak sepanjang dan segede penis Boy gitu.

Aku pun mulai bergumjul hangat dengan Boy. Terkadang aku berada di atasnya, sambil sengaja menggesek - gesekkan kemaluanku ke penis Boy. Terkadang Boy yang berada di atas, menciumi bibirku sambil meremas - remas toketku dengan lembut.

Dan akhirnya… Boy seperti sadar bahwa ukuran penisnya terlalu gede untuk liang memekku yang kecil ini. Lalu Boy menelungkup di antara kedua pahaku yang sudah kurentangkan. Dengan wajah berada di atas kemaluanku.

Lalu… Boy mulai menjilati memekku dengan lahapnya, sambil mengelus - eluskan ujung jarinya ke kelentitku. Entah belajar dari mana Boy itu… atau sengaja mengembangkan dirinya, sehingga trik yang satu ini terasa jauh lebih nikmat. Bahwa lidah dan bibirnya menggeluti celah memekku, sementara ujung jarinya menggesek - gesek kelentitku.

Karuan saja aku pun mulai merintih - rintih histeris, “Enak sekali Boy… oooooh… itilnya gesek terus Booooy… itilnyaaaa… iiitiiiiiil… iiiiitiiiiiil… hihihihiiiii… geli - geli enak Boooy… gesek terus itilnya… iiitiiiiilnyaaa… iiiiiiiiitttttttttiiiillll…

Saking enaknya permainan Boy ini, dalam tempo singkat saja liang memekku terasa sudah basah oleh air liur Boy bercampur dengan lendir libidoku sendiri.

Sehingga akhirnya aku meratap seperti memohon, “Udah Boy Sayaaang… masukin aja kontolmu Booooy… sudah bisa kan masukin sendiri kontolnya?”

“Mudah - mudahan bisa Mam, “Boy merangkak ke atas perutku sambil mencolek - colekkan moncong penisnya ke mulut vaginaku.

Tak urung aku pun ikut memegangi leher penis Boy, agar jangan meleset ke arah lain.

Setelah moncong penis Boy terasa berada di posisi yang tepat, aku pun memberi instruksi, “Ayo dorong Boy…”

Boy mengikuti instruksiku. Ia mendorong penis ngacengnya sambil menahan nafas… lalu… blesssss… penis panjang gede itu melesak masuk ke dalam liang memekku.

Aku pun menyambutnya dengan merengkuh lehernya ke dalam pelukanku. Lalu kupagut bibir machonya, yang kulanjutkan dengan lumatan lahap dan penuh gairah.

Boy pun mulai mengayun penisnya, bermaju - mundur di dalam liang kewanitaanku. Menimbulkan gesekan demi gesekan yang membuatku terpejam - pejam saking nikmatnya.

Terlebih ketika Boy mulai menjilati leherku disertai dengan gigitan - gigitan kecil, aku semakin terpejam - pejam dibuatnya. Bahkan aku spontan membisikinya, “Cupangin leher mamie Boy…”

“Cupangin? Nanti kalau kelihatan beklas cupangan di leher Mamie gimana?”

“Nggak lah. Nanti belitkan aja selendang di leher mamie, biar gak kelihatan bekas cupangannya.”

Maka Boy pun mengikuti keinginanku. Ia mulai menyedot - nyedot leherku dengan kuatnya. Membuat mataku terpejam - pejam lagi. Memang terasa sakit cupangan Boy ini. Namun aku bisa merasakan sensasi dari persetubuhan ini dengan sedotan - sedotan Boy di leherku, membuatku menggeliat - geliat dalam sakit bercampur nikmat.

Namun tak lama kemudian, bibir dan lidah Boy berpindah sasaran… ke ketiakku…!

Ya… dengan lahapnya Boy menjilati ketiak kanan dan ketiak kiriku yang selalu terharumkan oleh parfum dan deodorant-ku.

Jilatan di ketiak yang begini gencarnya, membuatku geli… geli sekali. Tapi gelinya memang geli enak…!

Maka rintihan - rintihan histerisku pun berhamburan lagi dari mulutku, tak terkendalikan lagi.

“Booooy… oooooh… ini enak sekali Boooooyyyy… entot terus Boooooy… entot terus Booooy… entoooootttt… entooootttttttt… !”

Entotan penis Boy makin lama makin nikmat saja rasanya.

Aku pun sadar bahwa persetubuhan di kamar hotel bintang lima ini merupakan persetubuhan yang kedua, karena yang pertama berlangsung di kamarku tadi.

Dengan sendirinya ketahanan Boy pun jauh lebih tangguh daripada persetubuhan yang pertama tadi. Batang kemaluannya sudah sangat lama mondar - mandir di dalam liang memekku. Keringatnya pun sudah bercucuran dan berjatuhan di muka, leher dan dadaku. Namun belum kelihatan juga gejala - gejala mau ejakulasi.

Padahal aku sudah dua kali orgasme, sementara Boy jadi sedemikian tangguhnya menyetubuhiku.

Aku pun sudah menggoyang pinggulku dengan geolan - geolan yang makin lama makin menggila. Sehingga liang memekku begini gencarnya membesot - besot dan memilin - milin batang kemaluan anak tiriku.

Namun Boy tetap mantap mengantotku, sementara bibir dan lidahnya sudah berpindah - pindah sasaran. Terkadang menjilati leherku, terkadang mengemut dan menjilati pentil - pentil sepasang toketku. Di saat lain ia pun begitu asyik menjilati ketiakku yang selalu bersih dari bulu ketek ini.

Namun aku tak menyerah. Aku bahkan ingin merasakan multi orgasme seperti yang pernah kubaca di sebuah media asing, media khusus membahas masalah seksual.

Ya… aku mulai merasakannya lagi. Merasakan seolah sedang melesat ke langit tinggi, lalu melayang - layang di angkasa… membuatku takut jatuh dan… aaaaah… aku sudah mencapai orgasme lagi untuk yang ketiga kalinya.

Apakah aku akan mencapai orgasme yang keempat nanti?

Ternyata tidak. Sesaat kemudian Boy berkelojotan di atas perutku. Kemudian membenamkan penisnya sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang sanggamaku. Lalu kurasakan lagi sesuatu yang indah ini. Penis Boy memancarkan air maninya yang hangat di dalam liang kewanitaanku.

Crooootttt… crot… croooootttttttt… crotttt… crooooottt… crooootttt…!

Lalu Boy terkulai lemas di atas perutku. Dengan tubuh bermandikan keringat.

Karena merasa berat, kudorong dada Boy. Maka ia pun mencabut batang kemaluannya dari liang kewanitaanku. Cepat aku bangkit untuk mengambil kertas tissue basah dari tas kecilku. Untuk menyeka kemaluanku yang berlepotan air mani anak tiriku.

Kulihat Boy masih menelentang dengan tubuh penuh keringat. “Di kamar mandi pasti ada handuk. Lap dulu keringatmu gih. Kita kan mau makan di lantai satu,” kataku.

“Iya Mam, “Boy bangkit, lalu turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi.

Aku pun ikut masuk ke kamar mandi. Untuk menyemprot kemaluanku dengan air hangat shower. Sementara Boy sedang menghanduki badannya. Aku pun mengambil handuk yang satunya lagi, untuk mengeringkan kemaluanku.

Lalu iseng kugednggam penis Boy yang sudah terkulai lemas. “Masih kuat berapa kali lagi ngentot mamie heh?” cetusku.

“Nggak tau Mam. Sekarang sih masih letih,” sahutnya lirih.

“Emang juga jangan terlalu sering. Nanti energimu habis di memek mamie. Lalu kekurangan energi di kampus.”

“Iya Mam. Tapi besok dan lusa aku kan gak kuliah,” sahutnya.

“Iya… kalau hari - hari weekend sih ada pengecualian. Ayo kita makan dulu.”

“Iya Mam.”

Beberapa saat kemudian kami sudah berada di resto, yang selalu menyediakan makanan “all you can eat” dengan system buffet.

Aku hanya makan sedikit, karena terbiasa makan sedikit waktu malam. Takut badanku jadi gendut. Tapi Boy makan habis - habisan, mungkin karena mengikuti cara all you can eat. Rugi kalau makan sedikit.

Kebetulan di lantai satu ada boutique. Maka setelah selesai makan aku membeli kimono sehelai. Boy pun mengambil kimono yang cocok untuk pria.

Dan malam itu aku tidur sambil memeluk Boy. Inilah pertama kalinya aku tidur bersama anak tiriku yang muda, ganteng dan perkasa itu.

Tapi menjelang subuh aku terbangun karena pengen pipis. Lalu aku turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi.

Setelah pipis, aku kembali lagi ke bed, di mana Boy masih tertidur nyenyak. Tanpa menyadari bahwa kimononya terbuka. Sedangkan penisnya yang “sedang tidur” itu terbuka, karena ia tak mengenakan celana dalam.

Melihat penis lemas seperti itu aku pun jadi penasaran. Karena aku ingin menikmati hubungan sex menjelang subuh ini. Karena menurut pengalamanku, bersetubuh menjelang pagi begini nikmat sekali rasanya.

Maka tanpa ragu lagi aku duduk di dekat pangkal paha Boy. Lalu perlahan - lahan kupegang penis lemasnya.

Kujilati moncong penis Boy, lalu kuselomoti dengan sepenuh gairah mudaku.

Boy terjaga. Membuka kelopak matanya sambil menatapku yang sedang asyik menyelomoti penisnya. Tapi dia diam saja. Membiarkanku mengoral tongkat kejantanannya yang mulai menegang… dan akhirnya ngaceng full…!

Begitu mudahnya membangunkan penis Boy. Maklum usianya baru 18 tahun.

Lalu kutanggalkan kimonoku dan berlutut dengan kedua lutut berada di kanan - kiri pangkal paha Boy, dengan kemaluan berada di atas penis Boy yang sudah ngaceng itu. Penis yang sedang kupegang dan kuarahkan ke mulut vaginaku.

Kuturunkan pinggulku dengan hati - hati, sehingga kepala penis Boy mulai melesak ke dalam liang memekku.

Cukup seret masuknya, karena penis Boy gede sekali. Butuh “perjuangan” untuk memasukkannya ke dalam liang kemaluanku.

Namun akhirnya liang memekku berhasil juga “menelan” penis Boy. Bahkan kemudian aku mulai mengayun pinggulku, membuat penis Boy mulai bergesekan dengan dinding liang memekku.

Tampaknya Boy sangat senang dengan aksiku di subuh yang masih gelap ini.

Cukup lama aku beraksi dalam posisi WOT ini. Tapi seperti biasa, posisi ini membuatku cepat orgasme. Karena dasar liang kemaluanku terasa disodok - sodok terus, menciptakan rasa yang terlalu nikmat dan memaksaku cepat orgasme.

Maka aku pun ambruk di atas perut Boy. Lalu menggulingkan badan jadi terlentang di samping Boy. “Ayo masukin lagi Boy, “pintaku sambil mengusap - usap memekku yang sudah orgasme dan masih basah ini.

Boy pun merayap ke atas perutku sambil memegang penis ngacengnya.

Tampaknya Boy sudah mulai “pandai”. Penisnya membenam ke dalam liang memekku, tanpa harus dibantu lagi.

Lalu mulailah Boy mengayun penisnya di dalam liang memekku yang basah licin ini.

“Enak kan ngentot di waktu subuh - subuh gini?” ucapku sambil menepuk - nepuk pantat Boy.

“Iiii… iyaaa Mam… enak sekali… !” sahut Boy terengah.

“Para pakar bilang, bersetubuh menjelang pagi begini sangat bagus. Karena sperma dalam keadaan fresh setelah tidur semalaman. Ayo entot sepuasmu Boy… mamie barusan udah lepas, tapi sekarang udah bergairah lagi…”

“Iiii… iiiyaaaa Maaaam… dudududuuuuh… enak banget Mamie Sayaaaang…”

Dengan nafas berdengus - dengus Boy menggencarkan entotannya, karena liang memekku sudah sangat licin, sehingga dia bisa mempercepat gerakan penisnya… maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang kenikmatanku.

Aku pun jadi bergairah untuk menggoyang pinggulku sebinal mungkin. Sehingga nafas Boy semakin berdengus - dengus, sementara penisnya terbesot - besot oleh dinding liang kemaluanku.

Tiba - tiba Boy membenamkan penisnya, sehingga moncongnya mentok di dasar liang memekku. Disusul dengan bermuncratannya air mani Boy di dalam liang memekku.

Crot… crooottttt… croooooottttttttt… crooootttt… crotcrottt… crooootttttttt…!

“Ugh… cepat sekali ngecrotnya ya Mam, “keluh Boy sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Saking enaknya jadi cepat ngecrot kan?”

“Iiii… kiya Mam. Barusan terlalu enak…”

Aku tidak menyahut. Kubiarkan saja Boy tetap menghimpitku dalam keadaan yang sudah lunglai itu.

Tapi diam - diam aku jadi teringat kembali kejadian beberapa hari yang lalu…

Bahwa aku tertegun ketika melihat satpam baru itu. Karena wajahnya masih sangat kuingat.

Satpam itu kupanggil. Dia bergegas menghampiriku di teras depan.

“Kamu Ivan kan?”

“Betul Bu Boss.”

“Masih ingat aku?”

Satpam itu takut - takut menatapku. Lalu mengangguk, “Masih ingat Bu Boss.”

“Coba sebutkan siapa namaku?”

“Iiii… ibu Rina.”

“Di mana kamu mengenalku?”

“Waktu… waktu sama - sama di SMA.”

Aku ketawa kecil sambil menepuk bahu satpam yang di dadanya tertulis nama Hartawan.

“Nama panjangmu Hartawan?”

“Betul Bu Boss. Tapi nasib saya sebaliknya, tidak sesuai dengan nama yang diberikan orang tua saya. Sebenarnya saya malu memakai nama ini. Tapi dalam akte kelahiran memang begini nama saya. Hartawan yang melarat.”

“Jangan mengutuk dirimu sendiri. Siapa tau di masa tuamu beneran jadi seorang hartawan.”

“Amiiin…”

“Sudah berapa lama jadi satpam di sini?”

“Baru dua hari dengan hari ini.”

“Jadi baru kemaren tugas di sini?”

“Betul Bu Boss. Tadinya saya jadi satpam di perusahaan. Lalu kemaren dimutasikan ke sini.”

“Bisa nyetir?”

“Bisa Bu Boss. Di perusahaan juga tugas saya jadi valet boy.”

“Tukang parkir mobil VIP kan?”

“Betul Bu Boss.”

“Sebenarnya bangsa kita salah sebut. Kata valet berarti pelayan laki - laki. Tidak ada hubungannya dengan mobil.”

“Betul Bu Boss.”

“Terus… kamu punya SIM?”

“SIM A punya Bu Boss.”

“Kamu jadi driver pribadiku aja ya. Nanti manager HRD akan kutelepon. Agar menugaskan seorang satpam lain, untuk menggantikanmu di sini.”

“Siap Bu Boss.”

“Sebentar lagi aku mau keluar. Sekalian ngetes kamu yang bawa ya Van.”

“Siap Bu Boss.”

Lalu aku masuk ke dalam rumah yang berkali - kali kunilai mirip istana kekaisaran Romawi dahulu.

Di dalam rumah kugunakan telepon rumah untuk menelepon kantor perusahaan suamiku dan minta berbicara dengan manager HRD.

Lalu terdengar suara lelaki di ujung sana. “Hallo… ada yang bisa kami bantu?”

“Ini dengan manager HRD kan?”

“Betul. Ini dengan siapa ya?”

“Dengan Nyonya Mathias.”

“Ooooh… Ibu Boss? Maaf Bu, saya pikir siapa yang nelepon ini. Ada yang bisa saya bantu Bu?”

“Manager HRD ini siapa namanya?”

“Nama saya Benny Bu Boss.”

“Oke deh. Begini Pak Benny, satpam yang baru ditugaskan di rumah kami, sangat dibutuhkan untuk menjadi sopir pribadi saya. Jadi, bisakah Pak Benny mengirim satpam lain untuk menggantikan satpam yang bernama Hartawan itu?”

“Oh, bisa… bisa Bu Boss. Silakan aja kalau terpakai untuk jadi sopir pribadi Bu Boss sih. Soal satpam untuk menggantikannya di rumah Bu Boss, hari ini juga saya akan mengirim seorang anggota satpam ke rumah Bu Boss. Ada lagi yang bisa saya bantu, Bu Boss?”

“Cukup, itu saja. Terima kasih Pak.”

“Sama - sama Bu Boss. Selamat siang.”

“Siang.”

Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam sedan merah metalic-ku, yang dikemudikan oleh Ivan Hartawan. Mantan teman seSMA denganku dahulu.

Sebenarnya aku ingin duduk di depan, tapi aku sudah dibiasakan duduk di belakang oleh suamiku. Karena itu aku duduk di belakang sebelah kanan, tepat di belakang Ivan.

“Anakmu sudah berapa Van?” tanyaku ketika sedanku baru menginjak jalan aspal.

“Saya belum punya istri Bu Boss,” sahutnya.

“Kamu kok jadi kaku gitu Van? Kalau sedang bewrduaamn gini gak usah manggil boss - bossan. Lagian dulu kita kan selalu memakai istilah gue dan elu. Kenapa sekarang pakai saya - sayaan?”

“Saya tau diri aja… karena kedudukan saya sekarang rendah sekali. Sementara Bu Boss kan sudah menjadi istri sang Big Boss. Masa saya harus nyebut nama.”

“Nggak ah. Kalau sedang berdua gini, panggil aku Pam atau Pampam aja seperti waktu masih sama - sama di SMA dahulu.”

“Iya Bu eh Pam… hehehe.”

“Dulu waktu masih sama - sama di SMA, kamu cuek banget sama aku. Bahkan cenderung sombong kan?”

“Bukan sombong. Saya… eh… aku hanya tau diri, gak berani deketin cewek mana pun, karena aku cuma anak seorang janda tua yang hidupnya pun serba pas - pasan.”

“Kalau soal itu, aku juga sama - sama tidak punya ayah lagi sejak aku baru kelas satu SMP dahulu.”

“Iya Bu eh… Pa… Pam.”

“Santai aja Van,” ucapku sambil menepuk bahunya dari belakang, “Aku gak bakalan gigit kok. Biar aku udah jadi bini boss, aku tetap teman lamamu kok.”

Ivan hanya tertawa kecil di belakang setir mobilku. Aku pun mulai merasakan bahwa Ivan cukup trampil dan halus nyetirnya.

“Kalau jadi sopir pribadi, mungkin pakaiannya harus hitam - hitam seperti seragam security ya Pam,” ucapnya.

“Gak usah. Pakaian casual juga gak apa - apa,” sahutku, “Kamu kan sopir pribadi istri Boss. Bukan sopir Boss. Ada bedanya kan?”

“Iya Pam.”

“Ohya, tadi aku udah nelepon manager HRD. Dia sudah tau kalau kamu udah jadi sopir pribadiku. Jadi nanti aku yang akan bayar gajimu. Bukan dari perusahaan lagi.”

“Iya, terima kasih. Ohya… sekarang mau ke mana?”

“Ke rumah ibuku,” sahutku. Lalu kujelaskan alamat rumah yang harus dituju. Rumah pemberian Papie yang kini jadi tempat tinggal Mama.

Ivan pun melarikan mobilku ke arah wilayah di mana rumah megah itu berdiri.

Sebelum turun dari mobil, kuberikan sepuluh lembar uang seratusribuan kepada Ivan. “Ini uang untuk beli baju casual, jangan pakai baju satpam begitu, risih melihatnya. Cari di mall terdekat aja dari sini. Tapi jangan terlalu lama ya. Soalnya aku juga takkan lama - lama di rumah ibuku.”

“Siap Pam… !” sahut Ivan sambil memasukkan uang pemberian dariku ke dalam dompetnya.

Aku pun turun dari mobil. Dan melangkah ke pintu gerbang yang tidak dikunci. Lalu masuk dan melangkah menuju teras. Pintu depan terkunci. Maka kupijat bel di samping pintu depan.

Tak lama kemudian Mama membuka pintu dan tampak girang melihat kedatanganku. “Mela?! “seru Mama yang lalu merangkul dan menciumi pipiku. Teman - teman memangilku Pam atau Pampam, tapi Mama selalu memnanggilku Mela.

“Mama sehat - sehat aja kan?” ucapku sambil melangkah ke ruang tamu, lalu masuk ke ruang keluarga.

Di ruang keluar pandanganku tertumbuk ke asbak di atas meja kecil yang dikelilingi sofa - sofa. Sepintas pun tampak, banyak puntung rokok di dalam asbak itu.

Setahuku, Mama sama sekali tak pernah merokok. Lalu siapa yang merokok di ruang keluarga itu? Apakah ada famili yang datang ke rumah ini?

“Sudah dapat pembantu Mam?” tanyaku..

“Belum. Zaman sekarang sih susah nyari pembantu.”

“Terus… ini puntung rokok siapa? Mama gak pernah merokok kan?” tanyaku sambil menunjuk ke asbak itu.

“Oh itu… ta… tadi ada Pak RT datang ke sini…” sahut Mama tampak gugup

“Mau ngapain RT ke sini? Kan sjurat pindah dan sebagainya sudah dikasihkan padanya.”

“Cu… cuma silaturahmi aja…” sahut Mama, masih gugup kelihatannya.

“Pak RT diterima di ruang keluarfga? Kenapa gak di ruang tamu?” tanyaku bernada mendesak.

Mama cuma bengong dan kelihatannya tidak tahu harus menjawab apa lagi. Aku pun mengeluarkan kunci kamarku dari dalam tas kecilku, kemudian membuka pintu kamarku dan masuk ke dalamnya setelah menguncikan pintu dari dalam kamarku.

Aku melompat ke atas bedku yang sudah lama tidak kutiduri.

Namun… tiba - tiba aku ingat sesuatu. Ya… aku teringat monitor CCTV yang selalu aktif di dalam lemari khusus. Mama tidak tahu bahwa aku punya CCTV yang bisa memantau ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah ini.

CCTV itu sengaja dipasang oleh suamiku, untuk berjaga - jaga, agar kalau ada maling masuk ke dalam rumah, bisa dipantau dan direkam oleh CCTV itu. Dan setahuku CCTV itu dilengkapi oleh external hardisk yang besar sekali memorinya (4 Tb). Sehingga kejadian sebulan yang lalu pun bisa direkam oleh CCTV itu.

Lalu iseng - iseng aku membuka pintu lemari yang berisi monitor CCTV itu.

Hari itu adalah hari Kamis. Kuputar kejadian yang terpantau sejak hari Senin. Tanggal, bulan dan tahunnya selalu muncul di layar monitor bagian bawah sebelah kanan.

Aku langsung mengarahkan monitor ke kamar Mama.

Haaa… ternyata pada hari Senin ada seorang lelaki muda yang masuk ke kamar Mama. Dan ternyata Mama yang membawa lelaki muda itu masuk.

Lalu… setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata lelaki muda itu… Ricky!

O my God! Ternyata mantan pacarku yang dibawa masuk oleh Mama itu…!

Dan adegan selanjutnya membuatku merinding -rinding tak menentu. Karena kulihat Mama melepaskan daster, beha dan celana dalamnya. Lalu dalam keadaan telanjang bulat Mama menelentang di atas bed. Sementara Ricky pun sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhnya. Lalu ia naik ke atas bed dan disambut oleh Mama dengan pelukan dan ciuman binalnya.

Aku serasa mau pingsan ketika melihatg adegan - adegan berikutnya. Bahwa Ricky memasjukkan penisnya ke dalam kemaluan Mama.

Lalu… Ricky mengentot Mama dengan garangnya. Disambut dengan goyangan pinggul Mama yang benar - benar binal di mataku…!

Mama sama sekali tidak tahu kalau setiap peristiwa yang terjadi di dalam kamarnya, terpantau oleh kamera - kamera kecil di setiap sudut yang tersamarkan.

Aku tidak tahan lagi menyaksikan semuanya itu. Tapi aku ingin menontonnya di rumah secara tenang nanti. Lalu kucari - cari external hardisk yang masih kosong. Karena seingatku ada tiga external hardisk cadangan di laci lemari ini.

Setelah kutemukan, kucabut external hardisk yang terpasang, lalu kuganti dengan external hardisk yang belum pernah dipakai.

External hardisk yang sudah ada isinya itu kumasukkan ke dalam tas kecilku, lalu aku keluar dari kamarku.

Kulihat Mama sedang duduk di ruang keluarga. Sementara asbak yang tadi penuh dengan puntung rokok itu sudah bersih. Pasti Mama sudah membuangnya ke tempat sampah, lalu mencuci asbak itu dan meletakkan kembali di tempat semula.

“Jadi puntung - puntung rokok tadi puntung rokoknya Ricky ya Mam?!” cetusku dengan nada mendakwa.

Mama tersentak kaget. Tapi bderusaha membohongiku, “Ricky mana?” ia balik bertanya.

“Ricky keparat yang bekas pacarku itu,” sahutku, Memangnya ada Ricky lain?”

“Ah nggak. Itu puntung rokok RT.”

“Iya RT singkatan dari Ricky Terkutuk! Tidak mendapatkan anaknya lalu ngentot ibunya! Mama gak usah membohongiku. Dia sering datang ke sini untuk menyetubuhi Mama kan?!”

“Si… siapa yang laporan begitu sama kamu?”

“Nggak ada yang laporan. Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Mama masih mau menghindar juga? Mama membawanya masuk ke kamar Mama. Lalu Mama lepaskan daster dan beha dan celana dalam Mama… lalu Ricky memasukkan kontolnya ke dalam memek Mama. Dan Mama menyambutnya dengan goyang Karawang yang gila - gilaan…

Mama tertunduk sambil menangis terisak - isak.

“Aku akan maafkan Mama, asalkan Mama mau berterus terang. Sejak kapan Mama biarkan Ricky menyetubuhi Mama?” tanyaku to the point.

Mama tewrdiam sambil terisak - isak. Lalu terdengar juga suaranya lirih, “Sejak masih di rumah lama, Mela. Kan mama udah laporin sama kamu, bahwa setelah kamu putuskan hubunganmu dengannya… dia datang sambil mencucurkan air matanya di depan mama. Pada saat itu mama hanya ingin melindungi kamu dari gangguannya.

“Lalu Mama kasih memek Mama padanya, agar dia tidak membuktikan ancamannya?”

“Iiii… iya…” sahut Mama sambil bercucuran air mata. “Karena dia yang memaksa mama. Dia mau tutup mulut asalkan mama dijadikan pengganti Mela.”

“Sudah berapa kali Mama disetubuhi oleh lelaki terkutuk itu?”

Mama terdiam.

“Aku ingin Mama bicara sejujurnya. Sudah sering kan dia ngentot Mama?” tanyaku dengan nada dan kata - kata vulgar. Saking jengkelnya.

“Seminggu dua kali… sudah gak terhitung lagi.”

“Terus kalau Mama hamil bagaimana?”

“Kalau hamil sih gak mungkin. Mama selalu minum pil kontrasepsi.”

“Berarti Mama sudah menikmatinya juga kan? Setiap kali terjadi, selalu suka sama suka kan?”

Mama terdiam lagi.

“Mama… kalau sekadar ingin kontol anak muda, nanti aku kasih. Tapi jangan dengan si Ricky…! Apakah mama gak sadar kalau dia akan menjadi ancaman bagi rumah tanggaku, akan menjadi ancaman bagi Mama juga kelak?”

Mama tetap membisu. Hanya isakan - isakannya yang terdengar.

Dan aku jadi pusing. Maka ketika terdengar bunyi mesin mobilku berhenti di depan, aku langsung bangkit dari sofa ruang keluarga. Kukunci lagi pintu kamarku. Lalu aku melangkah ke depan tanpa pamitan lagi kepada Mama.

Mama mengejarku sampai di pintu gerbang besi, “Mela… maafin Mama ya Mel…” ucapnya sendu.

“Akan kumaafkan kalau Mama tidak mengulanginya lagi dengan si Ricky jahanam itu,” sahutku yang lalu bergegas menghampiri sedanku. Membuka pintu depan sebelah kiri dan masuk ke dalamnya.

Dalam keadaan galau, aku jadi lupa bahwa seharusnya aku djuduk di belakang. Tapi saat itu aku sudah telanjur duduk di samping Ivan. Maka kataku, “Ayo jalan Van… !”

Ivan memindahkan tongkat persneling matic ke D. Lalu sedan merahku meluncur perlahan di jalan aspal.

“Yang barusan ibunya?” tanya Ivan di belakang setirnya.

“Iya,” sahutku singkat.

“Masih muda ya ibunya. Cantik pula,” ucap Ivan sambil tersenyum -senyum.

Aku cuma menghela nafas panjang. Karena masih teringat pada semua yang terjadi tadi.

Dan aku mencoba untuk berpikir secara objektif. Bahwa menurut pengakuannya, Mama ingin melindungiku, agar jangan sampai diganggu oleh Ricky yang telah melontarkan ancamannya. Seandainya Mama mengatakan yang sebenar - benarnya, mungkin aku tak boleh terlalu marah padanya. Karena biar bagaimana pun Mama itu ibu yang mengandung dan melahirkanku ke dunia ini.

Aku bisa memaafkan Mama. Tapi aku tidak bisa memaafkan kalau Mama tetap berhubungan dengan si Ricky keparat itu. Kalau Ricky mau membuktikan ancamannya, silakan. Malah akan kuadukan lewatg pengacaraku, bahwa dia sudah mengganggu ketentraman rumah tanggaku dengan Papie.

Bahkan kalau jengkel - jengkel amat, aku bisa minta bantuan pada bodyguard Papie yang banyak dan rata - rata bertubuh tinggi tegap kekar itu.

Tapi aku yakin, Ricky takkan berani membuktikan ancamannya. Lagipula kalau hubunganku ddengannya dilanjutkan, mau ke arah mana dia membawaku kelak? Untuk membiayai dirinya sendiri pun masih payah sekali, apalagi membiayai istri dan anak - anak…!

Tapi seandainya Mama sudah ketagihan oleh permainan Ricky, bagaimana mengatasinya?

Tiba - tiba aku mendapat ilham yang bagus. Diam - diam aku memperhatikan Ivan dengan sudut mataku. Ivan yang sudah mengenakan pakaian casual, bukan seragam satpam lagi.

Hmmm… kalau dibandingkan dengan Ricky, Ivan ini jauh lebih ganteng. Kulit Ivan pun putih cemerlang. Tidak seperti Ricky yang berkulit coklat kusam

(Sekarang aku baru nyadar kalau si Ricky itu jelek…! Tapi kenapa dahulu aku bisa menerima cintanya?).

“Ivan… bisa gak aku minta tolong sama kamu?” tanyaku tiba - tiba.

“Minta tolong apa Pam?”

“Aku butuh sesuatu…”

“Butuh apa?”

“Butuh ini…” sahutku sambil memegang celana panjang Ivan, tepat di bagian penisnya.

“Haaa?” Ivan menoleh padaku, “Nggak salah nih?”

“Ini serius Van. Aku butuh ini… tapi bukan buat aku.”

“Lalu buat siapa?”

“Buat ibuku itu…! Kan kamu bilang masih muda dan cantik. Makanya aku mau minta tolong sama kamu. Tolong gauli dia, supaya dia tidak terlalu jauh melenceng.”

“Sebentar… saya masih rada bingung Bu, eh Pam…”

Lalu kujelaskan semua yang telah terjadi itu. Bahwa mantan pacarku meminta Mama sebagai kompensasi atas kejadian diputuskannya hubunganku karena mau menikah dengan Tuan Mathias. Dan aku tidak suka Mama berhubungan dengan mantan pacarku itu. Untuk itu aku membutuhkan lelaki lain, agar pikiran Mama beralih ke lelaki yang kuajukan.

Dan Ivan ini sangat memenuhi syarat. Dia jauh lebih bagus daripada Ricky. Usianya pun lebih muda daripada Ricky. Karena Ricky sudah berusia 31 tahun, sementara Ivan ini seangkatan denganku di SMA dahulu. Jadi kira - kira umurnya pun sebaya denganku.

“Bagaimana Van?” tanyaku, “Kamu bersedia untuk mengikuti arahanku?”

Ivan tidak menjawab. Tetap berkonsentrasi pada setir mobilku.

Maka kataku lagi, “Kalau kamu bersedia membantuku… aku takkan melupakan jasamu. Aku akan berusaha agar kamu mendapatkan jabatan yang bagus di perusahaan nanti.”

“Tapi… saya bukan gigolo Pam.”

“Lho… siapa yang nganggap kamu gigolo? Aku tidak menjanjikan bayaran kan? Aku minta tolong padamu sebagai sesama teman lama. Bukan sebagai istri boss kepada anak buah suaminya. Bukan pula sebagai mak comblang yang akan menjodohkan kamu dengan ibuku. Bahkan aku dengan berat hati minta bantuan ini padamu.

“Tapi nanti saya harus menggaulinya secara rutin, begitu?”

“Iya,” sahutku, “anak muda zaman sekarang malah banyak yang terobsesi oleh wanita setengah baya seperti ibuku itu. Karena servis perempuan setengah baya pada umumnya sangat memuaskan. Daripada kontolmu dikocok sama tangan kan mendingan dimainkan di dalam memek. Ibuku itu sangat rajin merawat tubuhnya.

“Terus nanti Pampam mau nonton saya begituan dengannya?” tanya Ivan.

“Nggak lah. Aku hanya akan menemani ibuku pada awalnya aja. Kalau sudah siap main, aku akan keluar dari kamar ibuku dan tiduran di kamarku sendiri,” sahutku. Dengan hati tertawa, karena nantinya aku bisa nonton di kamarku lewat monitor CCTV.

Hihihiiii…!

Akhirnya Ivan sepakat untuk mengikuti arahanku. Dan aku yakin bahwa kalau Ivan sudah dihadirkan di dalam kehidupan Mama, maka Ricky akan segera ditinggalkan. Karena dalam segala hal Ivan lebih berbobot kalau dibandingkan dengan Ricky.

Aku pun menjanjikan, kalaju Ivan sukses meraih Mama, aku akan mengangkatnya sebagai aspriku (asisten pribadiku), tentu dengan gaji yang jauh lebih tinggi daripada sopir pribadi.

Keesokan paginya, Ivan tampak sudah siap berangkat. Sudah mandi dan mengenakan pakaian yang pantas di mataku. Dan secara jujur aku menilai, bahwa di balik pakaian yang “layak” itu, Ivan tampak ganteng sekali di mataku. Mudah - mudahan saja Mama akan mengikuti arahanku nanti.

Ivan juga sudah menguasai point - point yang sudah kurancang tadi malam.

Lalu sedan merah metalic-ku meluncur di jalan aspal, menuju rumahku yang ditempati Mama itu.

Jam tanganku baru menunjukkan pukul 09.30 pagi ketika mobilku sudah dimasukkan ke dalam garasi. Mama pun keluar dari rumah, menghampiriku dengan senyum ceria, “Kirain kamu masih marah sama mama,” ucapnya sambil memegang pergelangan tanganku dan menuntunku masuk ke dalam rumah.

Ivan pun mengikuti langkahku, masuk ke dalam rumah megah hadiah dari Papie menjelang perkawinanku dengannya dahulu.

“Ini siapa Mel?” tanya Mama sambil menunjuk ke arah Ivan yang ikutan masuk ke dalam rumah…

“Dia asisten pribadiku Mam,” sahutku.

Lalu Ivan pun menjabat tangan Mama dengan sikap sopan.

“Dia ini akan menjadi obat bagi Mama,” kataku sambil memegang bahu Ivan, “Obat untuk melupakan buaya darat itu.”

“Buaya darat?” Mama menatapku.

“Iya… buaya bernama Ricky sialan itu.”

Lalu kami bertiga duduk di ruang keluarga. Di situlah aku melanjutkan pembicaraan, “Coba Mama bandingkan Ricky dengan Ivan ini… bagusan mana?”

“Kok harus membanding - bandingkan dengan Ricky?”

“Iya. Harus dibandingkan sekarang juga. Bagusan siapa?”

“Yaaa… bagusan ini lah… siapa namanya tadi?” Mama menoleh ke arah Ivan.

Ivan menyahut, “Saya Ivan, Tante.”

“Berarti bagusan Ivan kan?” tanyaku kepada Mama.

Mama mengangguk dengan sikap salah tingkah. “Lalu kenapa Ivan ini disebut obat buat mama?” tanyanya.

“Begini Mam,” kataku, “Mama memang belum tua - tua banget. Karena itu aku yakin bahwa libido Mama masih berkobar. Masih jauh dari padam.”

Lalu aku berdiri sambil menarik pergelangan tangan Mama dan mengajak masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamar Mama, aku berbisik ke telinganya, “Ivan kutugaskan untuk memanjakan gejolak birahi Mama. Jangan menolak ya Mam. Kalau Mama menolak, berarti Mama masih ingin melanjutkan hubungan dengan si Ricky keparat itu.”

“Jadi Mama harus bagaimana?” tanya Mama dengan sikap bingung.

Kujawab dengan bisikan, “Ivan siap buat menggauli Mama sekarang dan di hari - hari yang akan datang. Mama jangan menolak ya. Ini tanda perasaan sayangku kepada Mama.”

Kemudian kulambaikan tanganku ke arah Ivan. Maka Ivan pun berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar Mama.

Dengan cepat kuambil kunci pintu kamar Mama. “Titip Mama, ya Van. Silakan enjoy sepuasnya. Pintu ini akan kukunci. kalau mau pipis atau bersih -bersih gampang, karena kamar ini ada kamar mandinya. Ayo terkam Mama Van… !”

Pintu kamar Mama kututup dan kukuncikan dari luar. Lalu aku bergegas menuju pintu kamarku. Membuka kuncinya, lalu masuk ke dalam kamarku yang sudah lama tidak kutiduri ini.

Cepat kubuka lemari berisi monitor dan perangkat CCTV itu.

Karena aku hanya ingin memantau keadaan di dalam kamar Mama, aku bisa mendengarkan suaranya (kalau kejadian jauh di luar rumah, hanya bisa dilihat gambarnya saja), maka kuambil headphone dan kutancapkan jack kabel kontaknya ke perangkat, lalu kupasangkan ke kepalaku.

Monitornya sudah aktif… hmmmm… Mama sedang duduk di pinggiran ranjang, sementara Ivan sudah melepaskan celana jeans dan t-shirtnya.

Mama: “Ini serius Van?”

I v a n: “Serius Tante. Saya gak berani maen - maen, takut dipecat oleh Pampam.”

Mama: “Hihihihi… rasa ngimpi, tau - tau dikasih cowok ganteng gini, “(Mama mencolek dagu Ivan… hmmm Mama sudah mulai “on”)

I v a n: “Dasternya lepasin aja ya Tante”(kedua tangan Ivan berada di punggung Mama)

Mama: “Atur - atur aja lah. Tante juga gak berani menentang niat baik Mela”

I v a n: “Tante manggil Mela ya sama dia”(daster Mama sudah dilepaskan, kedua tangan Ivan masih berada di belakang Mama. Oooo… lagi melepaskan kancing beha Mama).

Mama: “Iya. Teman - temannya sih manggil Pam atau Pampam.”

I v a n: “Duh… payudara Tante masih bagus gini. Diapain bisa kencang gini Tan?”(Ivan menggenggam kedua toket Mama. Ivan masih berdiri di belakang Mama)

Mama: “Tante kan gak pernah menyusui anak. Suka pake sufor, karena tetek tante sedikit sekali asinya”

(Mama menelentang dalam keadaan cuma mengenakan celana dalam)

I v a n: (menelungkupi perut dan toket Mama)

Mama :(meraih leher Ivan ke dalam pelukannya… mencium bibir Ivan sambil memejamkan mata)

I v a n: (menciumi pentil toket Mama, lalu mengemutnya)

Mama: “Van… tante langsung horny nih. Ivan ganteng banget sih.”

I v a n :(melorot turun… wajahnya berada di atas celana dalam Mama yang sedang dipelorotkan olehnya… hmm memek Mama memang selalu dibersihkan jembutnya… mulai dijilati oleh Ivan).

Mama: “Dudududuuuuh Ivaaaan… tante kalau dijilatin gini, gak tahan lama… bisa langsung lepas… ooo… ooooo… oooooh… apalagi kalau itilnya yang dijilatin gini… bisa langsung orgasme Vaaan… aaaaa… aaaaaah… masukin aja kontolnya Vaaan… hssss… pake kontol aja…”

I v a n: “Iya Tante, ini juga udah mau pake kontol… kalau gak dijilatin dulu takut Tante kesakitan… soalnya kontol saya segede gini… “ (Ivan sudah melepaskan celana dalamnya, memperlihatkan kontolnya kepada Mama… anjriiiittttttttt… kontol Ivan gede banget… !)

Mama: “Waaaw…! Ini kontol kuda apa kontol orang?”(mama memegangi kontol Ivan sambil melotot)

Diam - diam aku mulai horny menyaksikan perbuatan mereka. Apalagi setelah Ivan memasukkan batang kemaluannya ke dalam liang memek Mama… wooow… memang gede sekali penis teman lamaku itu… gak nyangka sedikit pun kalau Ivan punya alat vital sedahsyat itu… sehingga Mama harus merentangkan sepasang pahanya selebar mungkin…

Mama: “Ooooh… Vaaaan… kontolmu gede sekali Vaaaan… ooooh… tapi ini mantap sekali Van… ayo entotin sekarang… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaaaaa… enak sekali Vaaan… aaaah… aaaaah… gak nyangka Mela bakal ngirim kamu Van… aaaaaah… tante bakal ketagihan nih dapetin kontol segede gini siiih…

I v a n: “Stttt… jangan keras - keras Tante. Nanti kedengaran sama Pampam…”

Mama: “Biarin aja… sekarang kita beginian atas permintaan dia juga kan?”

Menyaksikan perbuatan Mama dan Ivan itu, makin lama membuatku semakin horny. Sehingga aku merasa harus melepaskan gaunku, behaku dan terutama celana dalamku…!

Dalam keadaan telanjang bulat kulanjutkan kembali menonton aksi Mama dan teman lamaku itu. Namun kini jemari tangan kananku mulai mempermainkan memekku sendiri. Sementara tangan kiriku meremas - remas toketku sendiri.

Ya… jemari tangan kananku sengaja kusodok -sodokkan ke dalam liang memekku sendiri, sambil membayangkan tengah dientot oleh penis Ivan yang dahsyat kitu. Tangan kiriku pun meremas - remas toketku sendiri, sambil membayangkan tengah diremas oleh tangan Ivan…

Tiba - tiba aku teringat sesuatu yang kusimpan di dalam tas kecilku. Sebuah vibrator yang kecil, hanya sebesar telor burung puyuh. Vibrator itu baru dua hari yang lalu kubeli dari pedagang kaki lima. Dia menawarkan vibrator itu untuk olah raga alis, katanya. Tapi setelah kudesak apa kegunaan vibrator sekecil itu?

“Cara pakainya gimana?” tanyaku.

“Semua kotak vibrator ada aturan pakainya seperti ini Non,” sahutnya sambil memperlihatkan selembar kertas berisi cara penggunaan vibrator itu.

Lalu wanita itu berbisik lagi di dekat telingaku, “Kalau Non seorang karyawati dan mendadak horny di kantor, masukin aja vibrator ini ke dalam vagina, lalu aktifkan batrenya. Enak sekali Non. Saya juga sering pakai kalau suami sedang di luar kota. Tapi yang lebih enak lagi tempelkan aja ke clitoris, dalam beberapa menit juga bisa orgasme Non.

Dan kini, ketika aku semakin terangsang oleh adegan demi adegan di layar monitor CCTV, rasanya aku semakin horny. Lalu vibrator mini yang cuma segede buah melinjo ini kukeluarkan dari tas kecilku, berikut batrenya yang sebesar kotak korek api. Batre kecil ini bisa terhubung ke vibrator secara wireless (tanpa kabel).

Aku mau mengikuti anjuran penjual vibrator ini, kutempelkan ke clitoris alias itil ini. Sambil mengaktifkan batrenya dengan jemari tangan kiriku, sementara tangan kanan tetap kugunakan untuk menempelkan vibrator mini ke clitorisku.

Dan… ttttrrrr…

Vibrator segede telur burung puyuh ini bergetar membuat mulutku ternganga sementara mataku terpejam erat - erat saking enaknya…!

Gila! Ini benar - benar enak… sehingga dalam tempo singkat saja aku menjengking seperti hewan mau melepaskan nyawanya. Dan… aku mencapai orgasme dengahn mudahnya.

Tapi adegan di monitor CCTV masih seru. Mama mulai menggoyang - goyangkan pinggulnya edan - edanan. Pinggul Mama bergeol - geol lebih edan daripada geolan penyanyi dangdut pantura… sementara Ivan pun mengayun penisnya edan - edanan pula.

Aku jadi horny lagi melihat adegan - adegan syur itu. Sehingga terpaksa kumasukkan vibrator yang ada tali pendeknya (untuk mencabut kembali dan jangan sampai “tertelan” oleh kemaluanku). Setelah “telur burung puyuh” itu berada di dalam liang kemaluanku, cepat kuaktifkan kembali batrenya dengan tangan kiriku.

Teeeeeerrrr…

“Telur burung puyuh” ini bergetar kembali. Membuatku tersentak - sentak, seperti penunggang motor sedang berada di jalan yang berbatu - batu.

Dan aku cuma bisa berdesah - desah sendiri sambil memejamkan mataku erat - erat.

“Aaaaaah… aaaaa… aaaaaaah… aaaaaa… aaaaaaah… aaaaa… aaaaaaah… !”

Namun ketika pandanganku tertuju ke layar monitor CCTV lagi, wow… Mama dan Ivan lebih gila lagi. Mereka sudah berganti posisi, jadi posisi doggy.

Rintihan Mama pun semakin riuh terdengar di headphoneku, “Ivan… duuuuh Vaaaan… tante udah orgasme dua kali… tapi sekarang udah enak lagi… entot terus Vaaan… sambil tepuk - tepuk bokong tante… Vaaan… aaaa… aaaahhhh… aaaa… aaaaah… Vaaan… aaah… Vaaaan… kontolmu…

Pada saat itu pula aku tak kuasa lagi menahan enaknya getaran vibrator mini di dalam liang memekku ini…

Maka aku pun merintih sendiri di dalam kamarku aaaahhhh…!

Aku menggelepar sambil memejamkan matanya. Lalu kubayangkan penis Ivan sedang menancap di dalam liang kenikmatanku yang sangat peka ini. Kubayangkan moncong penis Ivan sedang memuncratkan spermanya yang menghangati liang kemaluanku.

Ooooh… nikmatnya orgasmeku ini…!

Lalu kumatikan batre kecil di tanganku ini. Kucabut vibrator ini dari liang memekku. Dan aku terlena di atas bedku. Dan kepalaku tersungkur tepar di atas bantal. Dalam kenikmatan semu yang seolah nyata.

Ketika aku terjaga, kulihat Mama dan Ivan sudah selesai melakukannya. Tampak mereka sudah berpakaian lagi, bahkan seperti yang baru selesai mandi.

Ya… semuanya itu terjadi sebelum aku menyerahkan kewanitaanku kepada Boyke.

Dan pada waktu aku sudah berada di dalam mobilku yang dikemudikan oleh Ivan, lagi - lagi aku duduk di depan lagi. Aku pun bertanya kepada teman lamaku itu, “Bagaimana tadi Van? Tugas dariku enak kan?”

Sebagai jawaban, Ivan mengacungkan jempol kirinya ke depan wajahku. “Luar biasa…” sahutnya.

Aku cuma tersenyum, tak mau berkomentar. Namun tangan kananku diam - diam bergerak, untuk menurunkan ritsleting celana panjang Ivan. Karena penasaran, ingin tahu sehebat apakah penis Ivan yang tadi di layar monitor CCTV kelihatan dahsyat itu.

Hmmm… memang gede sekali. Tapi sudah lemas.

“Mmm… Pampam mau juga?” tanya Ivan sambil melambatkan laju mobilku.

“Nggak, “aku menggeleng, “cuma ingin tau aja seperti apa bentuk kontol yang sudah ngecrot di dalam memek ibuku…”

Penis Ivan pun mulai membesar dan menegang di dalam genggamanku. “Kamu sudah pengalaman dalam soal sex ya?”

“Belum Pam. Kalau ngocok sih sering. Tapi dimainkan di dalam memek baru sekali tadi,” sahut Ivan.

“Berarti kebujanganmu dilepasin di dalam memek ibuku ya?”

“Hehehe… betul Pam. Ini pengalaman yang sangat mengesankan.”

Kulepaskan kembali genggamanku, karena takut lupa diri dan tak kuat menahan nafsu.

Setibanya di rumah, hari sudah sore. Aku berkata kepada Ivan, “Sekarang pulang aja Van. Kamu harus istirahat, supaya badanmu fits kembali.”

“Siap Bu Boss,” sahut Ivan dengan sikap formal.

Aku pun masuk ke dalam rumah yang mirip istana kekaisaran Romawi ini. Langsung masuk ke dalam kamarku dan melepaskan gaun berikut pakaian dalamku.

Lalu kukenakan kimono putihku dalam perasaan tak menentu. Karena masih membayangkan apa yang telah kusaksikan di monitor CCTV tadi. Pada saat itulah aku dibuat tersentak kaget mendengar suara lelaki di belakangku, “Selamat sore Mamie…”

Ketika aku menoleh, ternyata Walter sudah berada di dalam kamarku. Walter adalah suami anak sulung Papie yang bernama Cinthia itu. Berarti statusnya adalah menantu Papie.

Aku baru nyadar bahwa pintu kamarku masih terbuka, sehingga Walter bisa nyelonong masuk tanpa mengetuk pintu dulu. Kini pintu itu sudah tgertutup, tapi Walter sudah berada di dalam.

Pada saat itu Papie sedang berada di luar negeri. Tapi Papie sedang berada di Jepang, bukan di Eropa seperti perjalanan bisnis berikutnya.

Walter mencium tanganku, lalu cipika - cipiki seperti biasa. Tapi pada saat itu ada yang tidak biasa dilakukannya. Setelah cipika - cipiki, Walter mencium bibirku sambil memelukku erat - erat. Tentu saja akju kelabakan dibuatnya. Dan berusaha meronta agar lepas dari pelukannya. Tapi pelukan lelaki indo Belanda itu bahkan semakin erat memelukku.

Lututku lemas seperti tak ada tulangnya lagi. Aku tak mau munafik, bahwa ciuman Walter membangkitkan libidoku yang belum terpuasi secara normal. Baru dipuasi oleh vibrator mini itu.

Dan… aku tidak tahu sejak kapan aku duduk merapat di sisi kiri Walter di atas sofa kamarku. Aku memang sangat terpancing dengan ciuman dan pelukan menantu tiriku tadi. “Mana Cinthia?” tanyaku berusaha memulihkan pikiranku dari keterlenaan ini.

“Cinthia sedang di rumah sakit Mam,” sahut Walter sambil menciumi tanganku.

“Haa?! Sakit apa dia?” tanyaku sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggaman lelaki kebule - bulean itu. Tapi tak berhasil, karena genggaman Walter terlalu kokoh.

“Mau melahirkan, bukan sakit,” sahutnya.

“Berarti Walter sedang menunggu kelahiran anak ketiga ya?”

“Iya Mam. Menunggu kelahiran anak ketiga sekaligus sedang puasa dan membuatku lapar sekali.”

“Sekarang sedang puasa?”

“Iya… puasa dalam soal sex. Cinthia takkan bisa diapa - apain sampai puluhan hari mendatang.”

“Pantesan kamu jadi nakal begini.”

“Maaf Mam. Soalnya Mamie terlalu cantik di mataku,” sahut Walter sambil merayapkan tangannya ke balik kimonoku.

Aku berusaha menepiskan tangan kekar itu dari balik kimonoku. Tapi jemari Walter sudah tiba di permukaan kemaluanku yang belum mengenakan celana dalam ini.

Dengan sendirinya pertahananku jadi lemah. Terlebih setelah jemarinya menyelusup ke dalam celah kewanitaanku yang cepat basah ini.

Dan… tiba - tiba Walter melorot turun. Berjongkok di lantai, di antara kedua kakiku yang sedang lemas ini.

Lalu… mulut Walter menyeruduk ke memekku…!

Dan jilatannya luar biasa trampil. Membuat lututku semakin lemas.

Oooh… adakah godaan yang lebih kuat daripada godaan lelaki indo berambut pirang ini?

Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika Walter semakin gencar menjilati setiap sudut kewanitaanku. Bahkan kelentitku pun mulai dijilati dan disedot - sedot, membuatku terkejang - kejang dalam nikmat…!

Tentu saja batinku semakin tidak karuan. Tak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang sudah terpojok begini.

Aku cuma tahu bahwa liang memekku basah lagi (setelah dibuat basah oleh vibrator mini di rumah Mama tadi).

Lalu, aku hanya bisa pasrah ketika Walter mengangkat dan membopong tubuhku ke arah bed. Kemudian ia meletakkanku dengan hati - hati di atas bed. Disusul dengan pelepasan busananya sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat.

Aku terkesiap ketika melihat penis Walter yang putih kemerahan itu. Besarnya mungkin sama dengan penis Ivan. Tapi panjangnya itu… ooooooh… penis Walter yang sudah ngaceng itu… panjang sekali…!

Walter pun naik ke atas bed. Lalu menanggalkan kimonoku. Sehingga aku jadi telanjang bulat. Karena aku belum mengenakan celana dalam maupun beha tadi.

Ketika Walter meletakkan moncong penisnya di mulut vaginaku, masih sempat aku berkata, “Pintunya kunci dulu.”

“Sudah,” sahutnya, “begitu aku masuk ke sini tadi, pintunya sudah langsung kukunci. Biar aman ya Mam.”

Aku tidak menyahut. Cuma memejamkan mata ketika terasa moncong penis bule itu mendesak mulut memekku.

Dan… oooohhhh… penis gede yang sangat panjang itu mulai menerobos liang memekku. Membuatku terbeliak… lalu terpejam erat - erat ketika terasa penis long size itu mjulai bermaju - mundur di dalam liang sanggamaku. Sementara leherku pun mulai dipeluknya dengan hangat. Disusul dengan ciuman hangatnya yang membuatku semakin terlena dalam nikmatnya entotan lelaki indo itu.

Pertahananku memang sudah runtuh oleh suami Cinthia ini. Lalu haruskah aku jadi orang munafik dan berpura - pura tidak merasakan nikmatnya entotan penis Walter yang sangat panjang dan terus - terusan menabrak dasar liang memekku ini (saking panjangnya penis Walter ini)?

Aku tahu bahwa Cinthia lebih tua dariku. Bahkan adik Cinthia yang bernama Monica itu pun lebih tua dariku. Lalu entah dari mana datangnya keinginan yang satu ini. Keinginan untuk menyadarkan Walter, bahwa aku ini lebih muda daripada istrinya. Bahwa aku ini lebih memuaskan daripada Cinthia.

Maka dengan sepenuh gairah kugoyangkan puinggulku dengan gerakan, memutar - mutar, meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Sehingga gesekan penis panjang gede itu semakin terasa olehku. Tentu saja, karena dengan goyangan yang sudah terlatih ini, penis Walter dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memekku.

Aku memang sudah lupa daratan. Lupa segalanya. Sehingga rintihan -rintihanku pun mulai berlontaran dari mulutku, tanpa kendali lagi.

“Walter… aaaaaa… aaaaaahhhh… Walteeeeer… aaa… aaaaahhhhh… aaaaaa… aaaaaaaahhhhhhh… kontolmu pan… panjang se… sekali… Walteeerrrrr… aaah…”

Walter malah menghentikan entotannya sambil berkata, “Kontol panjang rasanya lebih mantap kan Mam?!”

Kucubit pinggang Walter sambil menyahut, “Ayo entotin terus. Jangan mandeg - mandeg gini… !”

Walter mencium bibirku, lalu melumatnya dengan lahap, sambil menggenjot penisnya kembali.


Posting Komentar untuk "Rahasia Buku Harian Rina ( Bagian 2 )"