Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kontak Maulidya Rina

Ibuku Tunanetra ( Bagian 4 )


Ketikaaku membenamkan batang kemaluanku tadi, terasa begitu mudahnya menembus liang memek kakakku ini. Sebagai pertanda liang memek Wati tidak sempit lagi. Tapi setelah lebih dari setengah jam aku mengentotnya, terasa benar betapa enaknya liang memek kakakku ini. Kenyal - kenyal legit begitu.

Dan yang menyenangkan adalah pentil toketnya itu. Gede - gede. Membuatku senang menyedot - nyedotnya seperti bayi yang sedang menetek pada emaknya.

Kakakku justru suka diperlakukan seperti itu. Dia malah mengsap - usap rambutku sambil berkata, “Iya… sedotin terus pentil toketku Wan… enak… iyaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… sedotin terus… kuat - kuat juga gak apa - apa.”

Yang paling menyenangkan, kakakku sangat kreatif dengan posisi - posisi sex. Terkadang ia main di atas, di saat lain dia menungging dan kuentot liang memeknya dari belakang. Terkadang juga ia miring dan aku diminta ngentot dari belakangnya.

Kakakku juga memujiku. Ia berkata bahwa disetubuhi olehku laksana disetubuhi oleh beberapa orang lelaki. Karena posisi demi posisi sudah dilakukan, tapi aku belum ejakulasi juga. Padahal menurut pengakuannya, dia sudah tiga kali orgasme. Sementara aku masih bertahan terus.

Padahal keringat kami sudah bercucuran. Sampai akhirnya aku membisikinya dengan terengah - engah, “Aku udah mau ngecrot. Lepasin di mana?”

“Di dalam saja. Aman kok, aku udah disuntik kabe… cukup buat lima bulan lagi. Emangnya kamu udah mau ngecrot?”

“Iiii… iyaaaaa…” sahutku sambil mempercepat entotanku.

“Ayo lepasin aja di dalam memekku… aku juga kayaknya mau lepas lagi niiiih…”

Lalu kami seperti sepoasang manusia yang sedang kerasukan. Saling cengkram… saling cium dan akhirnya meriam pusakaku melepaskan pelurunya bertubi - tubi… blam… blaaaaaaam… dhuaaaaar… dhuaaaar… crooootttt… craaaaaaaat…!

Esok paginya, aku agak buru - buru meninggalkan rumah. Karena sebelum ke kantor, aku mau membeli mobil dulu, seperti yang dianjurkan oleh Bu Laila. Sengaja aku mencari mobil di showroom mobil second tapi masih bagus - bagus. Padahal Bu Laila menyuruhku membeli mobil di dealer yangf menyediakan mobil - mobil 100% baru.

Kebetulan di showroom yang cukup terkenal itu ada mobil yang masih sangat baru, dalam kondisi di atas 95%. Harganya tentu sudah jatuh. Jauh dengan harga 100% baru.

SUV berwarna hitam itu tidak tergolong mobil mahal, tapi juga bukan mobil murahan. Dengan harga yang sangat miring, mobil itu sudah bisa langsung dibawa pulang. Tidak seperti mobil brand new, yang harus pakai nomor sementara dulu lah, STNK dan BPKBnya pun harus menunggu sekian hari lah. Sementara mobil yang sudah kupilih itu bisa langsung dipakai ke mana saja, dengan surat - surat yang sudah lengkap.

Setelah test driver sebentar, aku langsung menyatakan setuju kepada mobil SUV hitam metalik itu. Setelah melaksanakan transaksi di showroom, aku langsung membawa mobil itu ke kantor, untuk memulai bekerja sebagai aspri Bu Laila yang selalu ingin dipanggil Cinta itu (kalau sedang berduaan saja).

Ketika aku memberesi barang - barangku di ruang kerja lamaku, di lantai tiga, teman - teman pada heran. “Mau ke mana Wan?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Dipindahin ke lantai lima,” sahutku.

“Haaa?! Lantai lima kan kantor para dirut dan para manager?!”

“Iya.”

“Terus dijadiin apa kamu di sana nanti?”

“Belum tau,” sahutku pura - pura belum tahu apa jabatan baruku nanti, “Pokoknya aku ikut perintah aja. Suruh pindah, ya pindah. Oke gaes… doakan aku bisa melaksanakan tugas baruku di lantai lima.”

Lalu aku naik lift menuju lantai lima. Langsung mengetuk pintu ruang kerja Bu Laila.

Bu Laila tampak semringah sekali melihat kedatanganku. Dia mengecup pipi kanan dan pipi kiriku dengan hangatnya.

“Maaf aku terlambat, karena tadi beli mobil dulu,” kataku.

“Ohya?! Sudah beli mobil?” Bu Laila tampak senang sekali.

“Sudah. Tapi tadi beli di showroom mobil - mobil second. Kebetulan ada mobil yang baru dipakai tiga bulan. Keadaannya masih sembilanpuluhlima persen baru. Harganya lumayan murah. Sudah langsung bisa dipakai ke luar kota pula.”

“Mobil apa? “tanyanya.

Kusebutkan merek mobil itu*(maaf takkan kusebutkan mereknya, takut disangka ada sponsor gelap)*.

“Hihihihiii… pintar juga kamu pilih mobil Honey.”

“Nggak mau lihat mobilnya?”

“Jangan. Nanti karyawan malah curiga. Masa mobil aja dilihat langsung olehku. Kalau ada yang nanya nanti, bilang aja mobil itu dibeli dengan uangmu sendiri Honey. Jangan sampai ada yang tau kalau aku yang ngasih duitnya. Nanti mereka pada ngiri sama kamu,” kata Bu Laila yang disusul dengan kecupan hangatnya di bibirku.

Kemudian Bu Laila menunjukkan ruang kerjaku yang letaknya berdampingan dengan ruang kerjanya. Bahkan boleh dibilang ruang kerjaku ini satu ruangan dengan ruang kerja Bu Laila, karena hanya dibatasi oleh partisi yang terbuat dari kaca buram (blur).

“Apakah ini bukannya ruang kerja sekretaris?” tanyaku sambil meletakkan barang - barangku di atas meja kerjaku.

“Hush… tadinya ruang kerja ini tempat kerjaku. Sedangkan ruang kerjaku yang kutempati sekarang, tadinya ruang kerja ayahku. Sekarang ruang kerja ayahku diserahkan padaku. Tapi secara resminya dua bulan lagi perusahaan ini jadi milikku. Siap - siap aja untuk kuangkat sebagai dirut nanti.”

“Wow… mudah - mudahan aku mampu melaksanakan tugas yang berat itu. Terus Cinta sendiri jadi apa nanti?”

“Aku jadi komisaris utama lah. Mmm… mulai sekarang harus rajin baca buku tentang managemen, marketing dan leadership ya. Setelah kuanggap pasti mampu, aku akan segera mengangkatmu sebagai direktur utama. Keren kan?”

“Sangat - sangat keren. Tapi Cinta harus tetap membimbingku, sjupaya aku tidak salah dalam mengeluarkan kebijaksanaan.”

“Gampang itu sih. Sebenarnya yang benar - benar bekerja itu para manager dan stafnya masking - masing. Direktur utama hanya perlu menetapkan garis - garis besar beleid perusahaan saja.”

“Beleid itu kebijakan ya.”

“Iya, kata itu diambil dari bahasa Belanda yang sudah biasa digunakan di perusahaan ini.”

“Iya… berarti mulai sekarang harus banyak baca buku.”

“Ada lagi yang lebih penting,” kata Bu Leila sambil mendekatkan mulutnya ke telingaku. Lalu berbisik, “Kamu harus bisa menghamiliku Honey.”

“Iya, “aku mengangguk sambil tersenyum, “Mudah - mudahan aku bisa mewujudkan keinginan itu, Cinta.”

“Tapi sekarang aku baru saja dapet…” ucapnya tersipu.

“Dapet apa?” tanyaku penasaran.

“Dapet datang bulan,” sahutnya.

“Ogitu… hihihiii… kirain dapet apa.”

“Sabar ya Honey. Nanti setelah bersih, aku akan memasuki masa subur. Pada masa itulah kita harus melakukannya secara intensif, supaya aku bisa hamil.”

“Iya Amore… apa pun akan kulakukan untuk mewujudkan keinginan itu.”

Bu Laila mencium bibirku disusul dengan ucapan mesra, “Aku suka dipanggil Amore oleh kekasih tercintaku.”

Hari itu aku lumayan sibuk untuk beradaptasi dengan suasana baru ini. Sebagai aspri Bu Laila ini. Bukan sekadar jadi karyawan biasa di bagian administrasi itu.

Namun pada jam makan siang, Bu Laila membolehkanku pulang duluan. Untuk mengurus renovasi rumahku itu.

Maka siang itu aku langsung menjumpai Mas Bowo, ahli bangunan yang biasa dipakai oleh boss lamaku (pemilik beberapa taksi yang dahulu jadi tempatku bekerja itu). Setelah ngomong sedikit tentang rencanaku untuk membuat garasi dan tiga kamar baru yang lengkap dengan kamar mandinya masing - masing itu, Mas Bowo pun kuajak ke rumahku.

Rumahku menghadap ke utara. Bukan rumah besar, tapi tanah di sekitarnya lumayan luas. Karena itu aku berencana untuk membangun dua kamar baru di sebelah timur dan satu garasi berikut sebyuah kamar di belakang garasi itu di sebelah barat rumahku. Dengan demikian, aku bisa membangun semuanya tanpa mengganggu Ibu dan kakakku.

Setelah berunding dengan Mas Bowo, tercepai kesepakatan bahwa pembangunan itu bisa selesai dalam tempo dua bulan. Dengan catatan bahwa bagian atapnya akan dicor, supaya nanti bisa dikembangkan ke atas pada suatu saat kelak. Begitu juga dengan harga borongannya sudah kusepakati.

Jadi nanti Mas Bowo akan jadi pemborong kecil, yang akan menyediakan segala bahan dan buruhnya, sementara aku akan membayarnya sebagai pemborong full, tanpa harus memberi makan pada anak buah Mas Bowo. Karena di rumah hanya ada Ibu dan Wati yang sama - sama tunanetra. Yang tak mungkin bisa menyediakan makanan untuk buruh bangunan nanti.

Setelah Mas Bowo berlalu, aku mengajak Ibu dan kakakku duduk di ruang tamu. Memang rumah ini belum punya ruang keluarga. Terpaksa aku mengajak mereka ngobrol di ruang tamu saja. Nanti, kalau ketiga kamar dan garasi itu sudah selesai, mungkin rumah lama ini akan dirobohkan, kemudian dibangun yang baru, yang sesuai dengan kriteria rumah layak huni.

Aku duduk di kursi panjang, diapit oleh Ibu di sebelah kananku dan Wati di sebelah kiriku.

Kemudian kuceritakan semuanya. Bahwa aku sudah punya mobil. Bahwa rumah akan segera direnovasi, tapi takkan mengganggu ibnu dan kakakku karena pembangunan itu takkan mengganggu rumah lama. Kuceritakan juga bahwa yang akan dibangun adalah tiga kamar baru yang memiliki kamar mandi masing - masing. Kamar mandi yang dibuat sedemikian rupa agar lebih nyaman dipakai mandi oleh ibu dan kakakku.

Aku pun menceritakan rencanaku, bahwa setelah ketiga kamar dan garasi itu selesai, rumah lama ini akan dirobohkan dan dibangun ruang keluarga, ruang makan, kitchen yang up to date dan sebagainya. Juga kujelaskan bahwa semuanya itu akan kubiayai dari uangku sendiri, takkan meminjam uang serupiah pun pada bank.

Ibu dan Wati tampak gembira sekali mendengar penuturanku. Mereka menciumi pipiku dari sebelah kanan dan kiriku saking gembiranya.

Selanjutnya aku berkata, “Nanti kita bersetubuh rame - rame ya Bu. Aku akan menyetubuhi Ibu dan Wati di atas ranjang Ibu.“

“Haaa?!” Ibu kaget. Wati pun terperanjat.

“Gak ada yang perlu dirahasiakan lagi ya. Wati sudah tidak perawan lagi sejak berada di Kalimantan. Ibu juga sudah sering kusetubuhi. Jadi… mendingan kita bikin acara happy - happy nanti malam ya Bu, ya Wat…” kataku sambil menyelinapkan tangan kananku ke balik celana dalam Ibu dan menyelinapkan tangan kiriku ke balik celana dalam Wati.

“Ibu tak usah mempersoalkan masalah Wati. Aku sudah memutuskan, darip[ada Wati ngeluyur ke tempat jauh lagi untuk mencari kontol, biarlah kontolku saja yang akan memuasinya. Dan Wati juga tak usah mendakwa Ibu, karena Ibu masih muda dan masih membutuhkan sentuhan lelaki. Maka sebelum Ibu punya suami lagi, biarlah aku saja yang akan memuasinya.

“Iya Wan… aku setuju… setuju sekali…” kata Wati sambil merenggangkan kedua kakinya, karena tanganku sudah menggerayangi kemaluannya.

“Ibu juga sama dengan Wati… semuanya terserah Wawan saja. Silakan atur aja bagaimana baiknya… aaaaaah…” ucap Ibu yang disusul dengan desahan, karena jari tengah kananku sudah menyelinap ke dalam liang memeknya.

“Ngomong - ngomong sudah pada makan siang nih?”

“Sudah Wan. Tadi beli makanan dari warung nasi itu,” sahut Ibu.

“Kalau begitu, aku mau mandi dulu ya. Biar badannya seger. Setelah mandi kita langsung bikin acara bertiga nanti.”

“Aku juga mau ikut mandi sama kamu Wan,” kata Wati.

“Ibu juga mau mandi, biar badannya segar dan wangi,” kata Ibu.

“Ayo deh… kita mandi rame - rame kalau gitu,” ucapku sambil berdiri, sambil memegang tangan Ibu dan tangan Wati. Lalu kutuntun mereka ke dalam kamar mandi.

Di dalam kamar mandi aku membayangkan kehidupan manusia di zaman purbakala. Mungkin seperti ini pula yang terjadi. Bahwa ibu dan kakakku sedang menelanjangi dirinya di dalam kamar mandi, tanpa keraguan sedikit pun kelihatannya.

Menyenangkan sekali rasanya, mandi bersama dua orang wanita yang sudah pada telanjang ini. Meski mereka adalah ibu dan kakak kandungku …

Memang di rumah ini akulah satu - satunya orang yang bisa melihat secara normal. Karena itu baik Ibu mau pun Wati mungkin merasa bahwa mereka harus menurut pada setiap kehendakku. Tapi aku pun tak mau sewenang - wenang, karena Ibu adalah wanita yang melahirkanku ke dunia ini, sementara Wati adalah kakak kandungku.

Aku bahkan ingin berjuang untuk membahagiakan mereka. Mungkin pada satu saat kalau aku akan membawa mereka ke dokter spesialis mata. Karena aku pernah membaca bahwa tidak semua kebutaan tidak bisa disembuhkan. Siapa tahu ibu dan kakakku bisa disembuhkan kebutaannya.

Setelah selesai mandi dan mengeringkan badan dengan handuk masing - masing, kutuntun Ibu dan Wati ke dalam kamarku. Bukan ke dalam kamar Ibu. Karena di dalam kamarku bednya lebih besar daripada bed Ibu.

Di atas bed itulah Ibu dan Wati menelentang berdampingan.

Aku memilih Ibu dulu. Kujilati memeknya sampai benar - benar basah, kemudian kubenamkan penisku ke dalam liang memeknya yang sudah basah kuyup ini.

Bleeeessssss… batang kemaluanku membenam ke dalam liang memek Ibu. Membuat Ibu ternganga dan menahan nafasnya.

Lalu aku mulai mengantotnya sambil meraba - raba pangkal paha Wati, sampai menyentuh memeknya.

Asyik sekali rasanya, bisa mengentot Ibu sambil mainin memek Wati yang lama kelamaan jadi basah juga, karena jariku dicolok - colokkan ke dalam liang memeknya. Tanganku yang satu lagi kupakai untuk meremas - remas toket Ibu.

Lalu Ibu pun mulai merintih - rintih, Waaaan… oooohhh… Waaan… kontolmu enak sekali Waaan… entot teruuuuuusssss… entot terus Waaaan… jangan mandeg - mandeg Waaan… entoooottttt… iyaaaaa… entooootttt… entooooottttt…”

Tampaknya Wati sangat terangsang mendengar rintihan - rintihan Ibu seperti itu. Maka meski pun jariku sedang disodok - sodokkan ke liang memeknya, Wati pun mengelus - elus kelentitnya sendiri. Dengan mulut ternganga - nganga.

Maka setelah lebih dari seperempat jam aku mengentot Ibu, aku berbisik ke telinga ibuku, “Aku mau ngentot Wati dulu ya Bu. Kasian dia udah kepengen diewe.”

“Iya,” sahut Ibu yang mungkin sudah orgasme, karena liang memeknya sudah becek sekali.

Aku pun pindah ke atas perut Wati yang sudah menunggu entotanku. Tampaknya dia girang setelah aku menyelinapkan moncong penisku di mulut memeknya.

Dengan Wati memang tidak perlu berlama - lama foreplay. Langsung saja kubenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memeknya yang sudah basah ini (karena waktu menyetubuhi Ibu memek Wati kugerayangi terus).

”Aaaaaaah… masuuuuk… “Wati spontan mendekap pinggangku ketika batang kemaluanku sudah terbenam separohnya.

Wajahku yang sudah berada tepat di atas wajah Wati, diam - diam memperhatikan wajah kakakku itu dengan seksama. Secara objektif kunilai, wajah kakakku ini cantik. Matanya pun sepintas lalu seperti mata normal. Hmmm… seandainya kakakku ini bisa melihat seperti aku, mungkin lain lagi ceritanya.

Maka ketika aku mulai mengayun batang kemaluanku, diam - diam aku melamun. Ingin agar Wati bisa melihat seperti cewek normal. Pasti dia bahagia sekali. Sebagai adiknya, aku pun akan turut merasa bahagia. Dan bukankah di zaman sekarang teknologiknya sudah sangat maju, sehingga banyak orang buta jadi bisa melihat secara normal?

Mudah - mudahan saja rejekiku makin lama makin banyak. Supaya aku bisa menyembuhkan kebutaan ibu dan kakakku.

Pada saat batang kemaluanku mulai gencar mengentot liang memek Wati yang luar biasa legitnya ini, aku pun masih sempat meraba - raba memek Ibu yang masih celentang di samping Wati. Bukan hanya meraba - raba. Dua jari tanganku sudah masuk ke dalam liang memek Ibu yang masih basah ini. Sehingga aku mulai mendengar desahan dari dua arah.

Tangan kananku mengentot liang memek Ibu, batang kemaluanku mengentot liang memek Wati, tangan kiriku meremas - remas tgoket kanan Wati, sementara lidahku menjilati leher kakakku yang terasa hangat ini. Disertai dengan gigitan - gigitan kecil, yang membuat Wati ternganga dan mendesah - desah, “Aaaa…

Pada waktu sedang enak - enaknya mengentot kakakku, terawanganku pun tetap menggelayuti benak dan batinku. Seandainya ibu dan kakakku sama - sama bisa melihat, mungkin lebih seru lagi suasananya. Atau… mungkin juga ibu tak mau lagi dientot oleh anaknya sendiri dan Wati pun tak mau lagi dientot olehku.

Tapi soal apa reaksi mereka setelah bisa melihat nanti, aku tak peduli. Yang jelas aku sayang kepada mereka. Karena itu aku tak peduli bagaimana reaksi mereka kelak, asalkan mereka bisa melihat seperti aku. Itu saja.

Dan kini Wati tidak bisa melihat tanganku yang sedang “ngerjain” memek Ibu, sampai Ibu menggeliat - geliat begitu. Wati hanya tahu bahwa entotanku makin lama makin gencar dan berkali - kali menyundul dasar liang memek kakakku.

Keringat pun mulai membasahi leher dan ketiak Wati. Tapi aku malah semakin bergairah untuk menjilati dan menggigit - gigit leher dan ketiaknya. Yang membuat Watiu meremas - remas rambutku sambil merintih dan merintih terus, “Waaawaaannn… ooo… ooooh Waaaan… ini luar biasa enaknya Waaan… entot terussss…

Cukup lama aku menyetubuhi kakakku. Dan aku tahu bahwa ia sudah lebih dari dua kali orgasme. Tapi dia tidak mau mengatakannya. Padahal liang memek kakakku sudah sangat becek. Dan aku sendiri suidah berada di detik - detik krusial. Sudah dekat - dekat ejakulasi.

Tapi dengan cepat aku melawan diriku sendiri. Cepat kucabut batang kemaluanku dari liang memek kakakku. Lalu menarik nafas panjang tiga kali. Dan kubenamkan batanbg kemaluanku ke dalam memek… Ibu…!

Ibu tampak senang dan memelukku erat - erat, sementara aku langsung mengayun penisku di dalam liang memek Ibu yang tidak sebecek tadi lagi.

Tapi perlawananku malah melemah. Aku tak bisa bertahan terlalu lama di atas perut Ibu. Akhirnya kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sambil menembak - nembakkan lendir maniku di dalam liang memek Ibu.

Croootttt… crot… crooootttttt… crooooottttttt… croooottttt… crottt… crooootttt…!

Aku pun menggelepar di atas perut Ibu. Dengan keringat membanjiri sekujur tubuhku…

Tiga bulan kemudian…

Rumahku sudah mulai berubah. Di samping kanan sudah ada kamar untuk Ibu dan untuk Wati. Jauh beda dengan kamar lama. Karena kamar baru ini sudah ada kamar mandinya masing - masing, yang dilengkapi p;eh shower dan water heater. Jadi baik Ibu mau pun Wati, tidak perlu memakai gayung plastik lagi. Tidak akan kedinginan lagi kalau mau mandi subuh atau malam.

Kamar tidurnya pun sudah dilengkapi oleh AC dan furniture serba baru yang biasa dipakai oleh orang - orang kaya. Selain lemari - lemari pakaian, tiap kamar dilengkapi dengan satu set sofa model masa kini, pesawat televisi LED kecil (karena percuma juga dibelikan televisi layar lebar, toh mereka hanya bisa mendenarkan suaranya saja).

Di sebelah kiri rumah lama, sudah ada garasi yang berdampingan dengan kamarku. Jadi kalau mobilku sudah masuk ke dalam garasi, aku bisa langsung membuka pintu kamarku.

Sementara itu rumah lama pun sudah dirombak. Ruang tamu dan kamar - kamar lama dijadikan ruang tamu baru, ruang keluarga, kitchen dan kamar pembantu. Dinding luarnya tidak diganggu. Hanya sekat - sekat dan pintu - pintunya yang dirobah, sesuai dengan yang kuinginkan.

Kebetulan aku sudah mendapatkan seorang pembantu yang ingin bekerja di rumahku. Sudah lama aku menginginkan ada pembantu, tapi dahulu aku hidup pas - pasan. Jangankan menggaji pembantu, untuk kebutuhan sehari - hari pun sering ngutang ke warunbg yang dekat dengan rumahku.

Namun sekarang aku merasa sudah mampu menggaji pembantu. Tugasnya adalah masak, membersihkan rumah, cuci pakaian dan cuci piring. Selain daripada itu, Bi Euis (nama pembantu itu) kutugaskan untuk menjaga dan mengawasi Ibu serta Wati. Karena mereka tunanetra, jangan sampai mengalami hal - hal tidak diinginkan, seperti terjatuh, ngeluyur ke luar lalu sesat pulangnya dan sebagainya.

Untuk itu aku berani menggaji Bi Euis dalam jumlah yang lebih besar daripada pembantu pada umumnya di daerahku.

Dengan demikian, aku merasa nyaman karena telah bisa menempatkan Ibu dan kakakku di rumah yang nyaman ditinggali, ada yang melayani mereka pula kalau aku sedang tidak di rumah.

Baru beberapa bulan setelah Bu Laila mengangkatku sebagai direktur utama, perusahaan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Mujngkin karena tenaga dan pikiranku dipusatkan pada perkembangan perusahaan. Atau mungkin juga karena faktor keberuntungan berpihak padaku.

Namun aku berpegang kepada prinsip managemen modern. Bahwa mandeg itu berarti mundur.

Jadi buatku perusahaan tidak boleh hari ini tetap sama seperti kemaren. Bagiku, hari ini harus lebih baik daripada kemarin. Dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini.

Pokoknya aku benar - benar all out di perusahaan yang sudah menjadi milik Bu Laila ini.

Namun meski pun aku sibuk dengan urusan perusahaan, aku tak lupa pada tekad semulaku. Yakni untuk membawa Ibu dan Wati ke dokter spesialis mata. Sekaligus ingin tahu berapa biayanya jika mata Ibu dan Wati bisa disembuhkan.

Hal itu kuungkapkan kepada Ibu pada suatu malam, ketika aku baru pulang kerja, selesai mandi malam dan mengenakan kimono yang terbuat dari bahan handuk putih bersih.

Saat itu kulihat Wati sudah tidur, tapi Ibu masih duduk di sofa depan televisi. Aku terharu melihat ibuku yang senang sekali mendengarkan suara televisi, tanpa melihat gambarnya.

Saat itu Ibu mengenakan kimono hitam, sehingga kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih.

Sejak ditempatkan di kamar barunya, Ibu jadi kelihatan lebih cantik. Wajahnya pun seperti memancarkan sinar saking cantiknya. Mungkin karena Ibu jadi lebih rajin mandi dengan air hangat. Sehingga sekujur tubuhnya jadi bersih sekali. Wajahnya pun tampak lebih cemerlang, meski tanpa polesan make up. Semuanya natural.

Seandainya Ibu bisa melihat, mungkin akan lebih cantik lagi. Karena bisa memoles wajahnya di depan cermin rias.

Meski pun tidak bisa melihat, Ibu menyadari kehadiranku di dalam kamarnya. “Baru pulang Wan?” tanyanya.

“Iya Bu. Di kantor sibuk sekali,” sahutku disusul dengan kecupan di pipinya. Lalu duduk di sampingnya.

Begitu aku duduk di sampingnya, Ibu langsung meraba - raba kimonoku. Lalu menyelinap ke baliknya dan langsung memegang batang kemaluanku, karena aku tidak mengenakan celana dalam.

“Ibu udah kangen sama kontolmu Wan. Udah empat hari kamu gak ngentrot ibu kan?”

“Ibu mau dientot? Ayo di tempat tidur aja, biar leluasa,” ucapku sambil memegang pergelangan tangan Ibu dan menuntunnya ke tempat tidur.

Di atas tempat tidur aku dan ibuku sama - sama melepaskan kimono. Lalu sama - sama telanjang bulat.

Lalu Ibu celkentang sambil merenggangkan kedua paha poutih mulusnya. Aku pun tengkurap di antara sepasang paha Ibu, sambil menepuk - nepuk memeknya yang sudah 4 hari tidak “ditengok” olehku.

“Memek Ibu memang cantik sekali bentuknya. Seperti belum pernah melahirkan.”

“Padahal ibu sudah tiga kali melahirkan Wan.”

“Tiga kali? Bukankah Ibu hanya punya dua orang anak, Wati dan aku?”

“Sebenarnya setahun setelah melahirkan kamu, ibu melahirkan anak lagi. Tapi dia diadopsi oleh orang kaya bernama Hasyim. Ibu kasihkan saja, karena ibu ini buta, tidak bisa mengurus anak banyak - banyak.”

“Jadi aku ini punya adik?!”

“Iya Wan. Adikmu perempuan. Matanya normal seperti kamu.”

“Siapa namanya?”

“Belum dikasih nama. Gak tau Pak Hasyim ngasih nama apa sama adikmu itu.”

“Sekarang Pak Hasyim itu tinggal di mana?”

“Nggak tau. Ibu hanya dengar adikmu itu dibawa ke luar Jawa. Entah ke Sumatra atau Kalimantan atau Sulawesi… entahlah. Bahkan mungkin juga dibawa ke luar negeri, karena kabarnya Pak Hasyim itu punya perusahaan di luar negeri segala.”

“Ya biarlah, kalau dia diadopsi oleh orang tajir, kehidupannya pun tentu bergelimang harta. Tak usah kita pikirkan benar,” kataku sambil mendekatkan mulutku ke memek Ibu. Lalu mulai menjilatinya.

Ibu pun tidak bicara lagi. Karena mungkin mulai menikmati enaknya jilatanku ini.

Terlebih lagi setelah aku mencelucupi kelentitnya, Ibu mulai menggeliat - geliat dan mendesah - desah.

Sampai pada suatu saat, “Aaaaa… aaaaah… Waaaaan… aaaaaaah… aaaaa… aaaaaahh… Wawaaaaan… aaaa… aaaaaaaahhhh… Waaaaan… aaaaaa… aaaaah… sudah Waaaan… masukin aja kontolmu Waaaan…”

Aku memang sudah tau benar bahwa Ibu tak mau terlalu lama dijilatin memeknya. Karena takut liang memeknya jadi becek sebelum dientot katanya.

Tak lama kemudian batang kemaluanku sudah dibenamkan ke dalam liang memek Ibu.

“Ooooh… kontolmu memang luar biasa Wan. Nanti kalau sudah punya istri, pasti bakal ketagihan sama enaknya kontolmu ini…” ucap Ibu sambil mendekap pinggangku.

Sebagai jawaban, kuayun penisku, bermaju mundur di dalam liang memek ibuku. Padahal di dalam hati, aku berkata, “Kalau Ibu bisa melihat dan punya suami lagi, pasti suami Ibu bakal ketagihan pada legitnya memek Ibu ini.”

Lalu kugencarkan entotanku dengan gairah menggebu - gebu. Ibu pun merintih - rintih histeris sambil meremas - remas rambutku, “Aaaaah… Waaaan… kontolmu memang enak sekali Waaan… entooot teruuussss… jangan berenti - berenti… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaa… aaaaaaah… entoooootttt …

Aku pun menyahut dalam bisikan terengah di dekat telinga Ibu, “Memek Ibu juga enak sekali… uuuugh… ughhhh… legit sekali Buuuu… uuuugggghhhh… ughhhhh…”

Sementara itu entotanku semakin kugencarkan dalam kecepatan standar, sambil menjilati leher Ibu diiringi dengan gigitan - gigitan kecil.

Hal ini berlangsung lama. Lebih dari duapuluh menit aku “berpush-up” di atas perut ibuku, sementara mulutku tetap asyik menjilati dan menggigit - gigit leher Ibu. Tanganku pun ikut asyik meremas - remas toketnya yang tidak sekencang toket Wati namun masih enak untuk diremnas dan diemut pentilnya.

Ibu pun merintih - rintih terus sambil meremas - remas bahuku. Terkadang juga rintihannya disertai dengan meremas - remas rambutku.

“Waaaan… oooo… ooooh… Waaaaaan… oooo… ooooh… entot terus Waaaan… oooo… oooooohhhhh… kontolmu enak sekali Waaaan… entooooottt teruuuussss… Waaan… entooooooootttttttt… entooooooootttttt… oooo… ooooooh Waaaaan…”

Namun sesaat kemudian Ibu mulai berkelojotan sambil memekik - mekik perlahan, “Waaan… ayoooo cepetin entotannya… ibu udah mau lepas Waaaan… Waaaaan… entttooooooottttttttt… entoooot teruuuuusssss… entooootttt… !”

Sampai akhirnya ibuku terkejang - kejang sambil memejamkan matanya, sambil mencengkram sepasang bahuku erat - erat.

Kutancapkan batang kemaluanku di dalam liang memek Ibu yang sedang mengejut - ngejut erotis. Sambil menunggu gairahnya pulih kembali.

Tak lama kemudian mata ibuku terbuka kembali, dengan sorot sayu. Lalu terdengar suaranya, “Cabut kontolmu Wan… ibu udah kepayahan nih…”

“Tapi aku belkum ngecrot Bu,” sahutku bernada complain.

“Lepasin di memek Wati aja gih. Ibu sudah kekenyangan Wan…” ucap Ibu sambil mendorong dadaku, agar tidak menghimpit toketnya lagi.

Meski agak jengkel, kucabut juga penisku dari dalam liang memek Ibu. Lalu mengambil kimonoku dan melangkah ke luar. Dan membuka pintu kamar Wati.

Aku tersenyum sendiri merlihat kakakku tidurnya celentang dengan kedua kaki mengangkang begitu. Sehingga memeknya yang tidak bercelana dalam itu pun tampak ternganga. Seperti trenggiling yang sedang menunggu semut masuk ke dalam mulutnya.

Kuletakkan kimonoku di samping kanan Wati. Kemudian kusingkapkan daster katun putihnya perlahan - lahan. Dan kudekatkan mulutku ke memeknya.

Aku tahu bahwa Wati kalau sudah tidur susah sekali dibangunkannya. Karena itu aku yakin kalau sekadar dijilatin memeknya takkan membuat dia bangun, kecuali kalau kelentitnya kusedot - sedot. Tapi kali ini aku bukan ingin menjilati memeknya. Aku hanya ingin mengalirkan air liurku ke dalam celah memeknya.

Aku berhasil melakukannya, mengalirkan air liurku ke dalam celah memek Wati tanpa menyentuh memeknya. Karena memeknya memang agak menengadah ke atas.

Setelah cukup basah, dengan hati - hati kuselipkan moncong penisku ke dalam mulut memek kakakku. Kemudian kudorong sekuat tenaga. Blessssss… masuk lebih dari separohnya…!

Pada saat yang sama, Wati memekik tapi cepat kututup mulutnya dengan telapak tanganku sambil berkata, “Ini aku Wat…”

“Wawan?! Aaaah… kamu bikin aku kaget aja. Kirain ada orang jahat. Ternyata kamu… adikku tersayang,” sahut Wati sambil meraih leherku ke dalam pelukannya. Lalu tampak enjoy… menikmati entotanku yang mulai diayunkan.

Saat itu daster masih melekat di tubuh Wati. Hanya bawahnya saja disingkapkan sampai ke perut. Wati pun menyadari hal ini. Lalu dengan susah payah daster itu dilepaskan lewat kepoalanya. Kemudian berkata, “Kalau gak telanjang, terasa kurang sempurna.”

Lalu Wati mulai menggoyang pinggulnya. Membuatku semakin bersemangat menyetubuhinya.

Tapi pada suatu saat Wati menghentikan goyangannya. “Bosen posisi begini terus. Posisi doggy aja yok.”

“Boleh,” sahutku sambil menarik penisku sampai terlepas dari memek kakakku.

Kemudian Wati merangkak dan menungging di atas bed. Aku pun berlutut di dekat pantatnya. Dan kujebloskan batang kemaluanku ke dalam liang memeknya kembali. Dalam posisi doggy kami lanjutkan persetubuhan ini. Aku berlutut mengentot kakakku yang sedang menungging sambil memeluk bantalnya.

Wati juga kunilai seperti Ibu. Seandainya dika bisa melihat secara normal, aku yakin banyak cowok yang bakal naksir dia. Karena kakakku itu bukan hanya cantik, tapi juga punya kulit yang putih mulus, punya bentuk tubuh yang seksi habis.

Ya, Wati punya tubuh tinggi langsing, dengan pinggang yang ramping, tapi baik toket mau pun bokongnya gede banget. Sehingga bentuk tubuhnya mirip biola.

Wajahnya pun cantik. Bahkan sepasang matanya tampak seperti mata normal. Tidak seperti mata tunanetra pada umumnya. Maka kalau dilihat sepintas lalu, orang takkan mengira bahwa Wati itu seorang gadis tunanetra.

Dan kini tubuh seksi abis itu sedang kusetubuhi dalam posisi doggy seperti yang diinginkannya.

Sambil mengentot liang memeknya, aku mulai menepuk - nepuk pantat kakakku yang gede semok ini.

Tampaknya kakakku senang dengan tepukan itu. “Iya Wan… tabokin bokongku lebih keras lagi. Enak tuh.”

Kuikuti keinginan Wati itu dengan menabok - nabok pantat gedenya.

“Iyaaaa… iyaaaa… begitu Wan… kemplangin terus pantatku sekuatmu…”

Berbeda dengan Ibu yang senang dientot dalam irama “nyiur melambai”, kakakku ini seneng dientot dengan gaya banteng ngamuk. Bayangin aja kalau banteng ngamuk, apa pun yang ada di depannya pasti diseruduk.

Aku pun melakukannya dengan gaya banteng ngamuk itu. Tapi bukan mau menghancurkan, melainkan ingin agar entotanku “terasa” oleh kakakku.

Dengan batang kemaluan diayun scepat bdan sekeras mungkin, kutampar - tampar pantat kakakku sekuatnya seperti yang diinginkannya. Maka suara unik pun terdengar dari dua arah. Suara penisku yang sedang maju mundur di dalam liang memek Wati, dan suara tamparan - tamparanku di pantatnya. Crrek srtttt…

Bunyi tamparan - tamparanku di pantat Wati baru berhenti kalau aku sudah mrapatkan dadaku ke punggung kakakku, sambil meremas - remas toket gedenya sepuasku. Wati memang tidak protes kalau aku meremas toket gedenya kuat - kuat. Bahkan kelihatannya dia lebih suka kalau tokletnya diremas kuat - kuat. Berbeda dengan ibuku yang ingin agar payudaranya diremas pelan - pelan, secara lembut.

Kalau diibaratkan musik, mungkin Ibu lebih suka musik yang slow dan mendayu - dayu. Sementara Wati lebih suka musik metal atau deephouse…!

Dalam masalah sex, aku memang tidak mau egois. Aku selalu ingin mengikuti keinginan pasangan seksualku. Karena kalau pasanganku merasa puas, aku pun ikut puas.

Setiap kali kusetubuhi, Wati tak pernah berdiam diri seperti patung. Pantatnya selalu saja bergoyang - goyang diiringi rintihan - rintihan histerisnya.

“Aaaaaah… Waaaan… enak sekali Waaaan… entot terussss… enak Waaaan… aaaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaahhhhh… ahhhhhh… Waaaaan… Waaaan… aaaaahhhh… aaaaaa… aaaahhhh… entooooottttttt… entooooooootttttttt… aaaaaaa… aaaaaaaahhhh… aaaaaa… enaaaaaak …

Tapi pada suatu saat goyangan pantat Wati terasa ngawur. Dan akhirnya dia ambruk diiringi pekikan lirihnya, “Aaaaa… aaaaaaaaahhhhh…”

Karena Wati ambruk, dengan sendirinya penisku pun terlepas dari liang memeknya. Namun aku langsung menyadarinya, bahwa dia sudah orgasme.

Ya… Wati lalu menelentang dengan sepasang tangan direntangkan seperti lambang palang merah. Kedua kakinya pun direnggangkan.

Wati seolah mempersilakanku melanjutkan entotanku, tapi dalam posisi missionary saja. Maka tanpa buang - buang waktu aku pun merangkak ke atas perutnya sambil memegangi kontolku yang masih ngaceng berat ini.

Dan dengan sekali dorong, penisku langsung masuk seluruhnya ke dalam liang memek Wati yang sudah becek ini… blesssskkkkkkk …

Wati masih tampak tepar. Tapi aku langsung mengayun batang kemaluanku. Bermaju mundur lagi di dalam liang memek yang sudah becek ini. Sambil meremas - remas toket gedenya, aku pun mulai menjilati leher kakakku, disertai dengan gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan.

Wati pun tampak mulai bergairah kembali. Dengan menggeol - geolkan pinggulnya. Bergoyang menyerupai angka 8. Sehingga meski liang memeknya sudah becek, tapi masih mampu membesot - besot dan meremas - remas kontol ngacengku.

“Waaan… ooooh… kontolmu memang gede dan panjang sekali… ini luar biasa enaknya Wan… ooooh… ooooo… ooooooohhhhhhh… entot yang kencang aja Wan… biar lebih tyerasa kepala kontolmu menyodok - nyodok dasar liang memekku. Iyaaaa… iyaaaa… entot terus Waaaan… enak sekaliiii…

Cukup lama batang kemaluanku “memompa” liang memek kakakku. Sehingga keringat mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat kakakku.

“Memekmu juga enak sekali Wat… tadi becek sebentar, tapi sekarang udah legit lagi… geol terus pinggulmu… enak sekali…” ucapku tersendat - sendat karena sedang mewnggencarkan entotanku sambil meremas - remas toket gede dan menjilati lehernya yang sudah keringatan.

Wati tidak menyahut. Tapi pantatnya semakin gila - gilaan bergoyang memutar - mutar dan meliuk - liuk.

Sampai pada suatu saat terdfengar suaranya terengah - engah, “Aaaa… aku udah… mau… mau lepas lagi… barengin yuuuk… aaaaaa… aaaaaaaah…”

Kebetulan aku pun sudah tiba di detik - detik krusial. Tanda - tanda mau ejakulasi sudah kurasakan. Maka entotanku semakin kupercepat.

Maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya. Sementara Wati pun mulai berkelojotan sambil meremas - remas rambutku.

Kami berhasil mencapai puncak kenikmatan secara berbarengan. Bahwa ketika Wati terkejang - kejang dengan liang memek berkedut - kedut kencang, moncong kontolku pun sedang mengejut - ngejut sambil menembak - nembakkan lendir kenikmatanku.

Croooootttttt… crotttt… crooootttttt… crooottt… crottt… crooooootttttttt… crooootttt…!

Lalu kami terkulai lemas. Dalam kepuasan sedalam lautan.

Sepuluh hari kemudian, Ibu dan Wati dirawat di rumah sakit mata, atas rujukan dokter spesialis mata yang sudah memeriksanya secara teliti di tempat prakteknya. Nanti di rumah sakit itu Ibu dan Wati akan diteliti secara intensif, kemudian dicarikan solusinya agar bisa melihat secara normal.

Setelah mengantarkan Ibu dan Wati ke rumah sakit, aku pun pulang dengan badan terasa pegal - pegal. Karena dari pagi sibuk di kantor, dari siang sampai sore mengurus Ibu dan Wati.

Setibanya di rumah, aku langsung mandi. Dengan harapan pegal - pegalku hilang dengan sendirinya. Tapi ternyata pegal - pegalku belum hilang juga. Maka akhirnya kupanggil Bi Euis.

“Ada apa Den?” tanya Bi Euis di ambang pintu kamarku.

“Bisa mijit Bi? Badanku pegel - pegel sekali,” sahutku.

“Bisa sih sedikit - sedikit. Tapi sebentar ya Den. Mau nyisir dulu, baru selesai mandi.”

“Iya, jangan lama - lama ya.”

“Iya Den.”

Setelah Bi Euis berlalu, kulepaskan baju dan celana piyamaku. Lalu dalam keadaan cuma tinggal bercelana dalam, aku menelungkup di atas bedku.

Tak lama kemudian terdengar suara Bi Euis, “Mau pakai balsem atau minyak apa Den?”

Sambil tetap menelungkup kusahut, “Gak usah pakai minyak apa - apa Bi. Pakai tangan Bibi aja.”

Lalu terasa bed bergoyang. Bi Euis sudah naik ke atas bedku. Lalu mulai memegangi telapak kakiku. Dan mulai memijatnya.

“Yang lama mijitnya ya Bi. Nanti kukasih bonus.”

“Iya Den.”

Lalu terasa kedua tangan Bi Euis mulai memijat dan mengurut - urut betisku, sambil bertanya, “Ibu dan Neng Wati jadi dirawat di rumah sakit Den?”

“Iya. Cuma usaha aja Bi. Mudah - mudahan mereka bisa melihat sepertti kita.”

“Den… Ibu itu ibu kandung Den Wawan?”

“Iya. Emang kenapa?”

“Heheheh… gak kenapa - kenapa Den. Anu… mmm… anu… Den Wawan tidak tunanetra seperti Ibu dan Neng Wati ya.”

Aku heran. Pertanyaan itu berdasarkan apa?

Aaah… jangan - jangan suara rintihan Ibu waktu kusetubuhi terdengar oleh Bi Euis. Mangkanya Bi Euis seperti kurang percaya kalau Ibu itu ibu kandungku.

Jangan - jangan Bi Euis curiga pada apa yang sering terjadi di rumah ini…!

Aku harus mencegahnya. Siapa tahu dia sudah menyadari apa saja yang terjadi di antara aku dengan Ibu dan Wati. Lalu bisa saja dia menyebar gossip ke tetangga nanti.

Untuk membungkam mulut Bi Euis aku punya caraku sendiri.

Tadinya aku tak pernah punya perhatian berlebih kepada Bi Euis. Tapi setelah mencium gelagat mencurigakan, aku merasa harus melawannya dengan caraku sendiri.

Kalau mau main libas sembarangan, di kantor juga banyak cewek yang kelihatan memancxing - mancing padaku. Tapi aku tak pernah menggoda seorang karyawati pun di kantor. Terlebih kalau mengingat Bu Laila yang begitu dalam mencintaiku. Kalau ketahuan macem - macem di kantor, bisa dipecat aku nanti.

Tapi Bi Euis ini, harus mendapatkan perlakuan khusus dariku. Agar seandainya dia tahu rahasiaku dengan Ibu dan kakakku, dia akan tutup mulut.

Lalu aku menelentang sambil berkata, “Bagian depannya juga Bi.”

“Iya…” sahutnya sambil mengurut - urut tulang keringku sambil menunduk, memandang ke arah yang sedang dipijitnya. Pada saat itulah kjuperhatikan bentuk Bi Euis yang lumayan cantik. Bahkan kulitnya lebih putih daripada kulit ibu dan kakakku.

“Umur Bibi sekarang berapa tahun?” tanyaku.

“Duapuluhenam Den.”

“Wah… cuma beda dua tahun denganku. Terus… sejak kapan hidup menjanda?”

“Sudah setahun Den.”

“Punya anak berapa orang?”

“Belum punya anak seorang pun. Justru mantan suami menceraikan saya juga karena sudah lima tahun berumah tangga, tidak punya anak seorang pun.”

“Memangnya Bibi menikah pada usia berapa?”

“Duapuluh tahun Den.”

“Umur duapuluh kawin, umur duapuluhlima jadi janda ya.”

“Hehehee… iya Den. Sudah takdirnya harus begini,” ucapnya dengan suara lirih.

Pada saat itulah diam - diam kusembulkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini dari celah celana dalamku. “Gak kangen sama yang begini?” tanyaku sambil menarik tangannya sampai menempel di batang kemaluanku.

“Waaauuu Deeen…! “serunya dengan mata terbeliak dan tangan gemetaran, “Iiii… ininya ha… harus dipijit juga? Iiiih… gede dan panjang sekali… hihihiiii…”

“Iya… pijitnya pake memek aja Bi. Supaya nikmat,” kataku sambil menarik kedua tangannya, sehingga dadanya terhempas ke atas dadaku.

Dengan sigap aku pun mendekap pinggangnya erat - erat. Kurapatkan pipiku ke pipinya sambil berbisik, “Sebenarnya kalau didandani, Bi Euis ini cantik lho…”

“Siapa yang mau dandani saya…” sahutnya nyaris tak terdengar.

“Nanti aku yang dandani. Asalkan bisa nyimpen rahasia aja,” ucapku sambil meremas - remas bokong gedenya. Ya… salah satu daya tarik Bi Euis adalah bokongnya itu. Gede dan menggiurkan.

“Te… terus saya harus gimana Den?” tanyanya yang masih nemplok di atas dadaku.

“Mumpung Bi Euis belum kawin lagi, kita main aja yok. Biar aku jadi sayang sama Bibi.”

“Ma… main apa Den?”

Aku menyahutnya dengan bisikan, “Bersetubuh…”

“Mmm… siapa sih yang gak mau digauli sama cowok seganteng Den Wawan. Tapi saya takut… takut hamil Den.”

“Soal itu sih jangan takut. Aku punya pil anti hamil.”

“Kalau gitu… terserah Aden aja deh…”

“Wanita kalau sudah bilang terserah, berarti mau kan?” cetusku sambil bangkit. Bi Euis pun duduk dengan sikap canggung dan malu - malu.

Dalam keadaan cuma bercelana dalam ini, aku mendekap pinggang Bi Euis dari belakang. Saat itu Bi Euis mengenakan daster batik yang sudah agak lusuh. Tapi aku tak peduli dengan daster lusuhnya. Yang penting tubuh di balik daster lusuh itu.

Dan tanganku mulai menyelinap ke dalam dasternya. Mulai mengusap - usap perutnya yang masih terasa kencang dan ramping.

“Sebenarnya sudah lama aku menunggu kesempatan ini,” bisikku sambil menyelinapkan tangan ke balik celana dalamnya. Tentu saja ini suatu kebohonganku. Karena tadinya aku tak punya perhatian sedikit p;un kepada Bi Euis.

“Mumpung Ibu dan Neng Wati gak ada ya Den. Kalau mereka sudah pulang, gak bisa bebas lagi mungkin,” ucapnya tanpa menepiskan tanganku yang sudah berkeliaran di dalam celana dalamnya. Dan membuatku tahu bahwa memek Bi Euis tidak ada jembutnya, dicukur habis. Ternyata seorang pembokat juga sudah mengikuti zaman, dengan mencukur habis jembutnya.

“Siapa bilang? Coba aja kalau mereka sudah pulang nanti, aku akan tetap bebas ngajak Bibi tidur di kamarku ini.”

“Iya sih. Den Wawan kan yang berkuasa di sini. Aduuuduuuh… Deeen… kalau memek saya sudah dimainin gini, saya suka gak bisa nahan nafsu.”

“Lepasin dong dasternya. Aku seneng memek Bibi dicukur habis gini. Pasti enak jilatinnya.”

“Iiih… merinding saya dengernya juga…” sahut Bi Euis sambil melepaskan daster batik lusuhnya.

Dalam keadaan tinggal mengenakan beha dan celana dalam yang serba hitam, aku dibuat terlongong menyaksikan betapa iundahnya tubuh Bi Euis itu. Sehingga aku lupa bahwa aku hanya ingin menutup mulutnya agar tidak menyebar gosip dengan caraku sendirti. Dengan mengentotnya dan membuatnya ketagihan…!

Tapi setelah melihat betapa cemerlangnya kulit putih mulus yang dimilikinya itu, aku lupa pada tujuan awalku. Aku ingin menelanjangi dan menyetubuhinya, hanya untuk menyalurkan nafsu syahwatku semata.

Maka dengan sedikit gugup kubuka kancing beha hitam yang terletak di punggungnya itu. Lalu dia sendirti yang melepaskan behanya itu.

Sehingga sepasang payudara yang berukuran sedang terbuka jelas di depabn mataku. Dan setelah kupegang, terasa masih kencang dan padat. “Masih kencang gini toketnya Bi, “komentarku.

“Saya kan belum pernah menyusui Den,” sahutnya sambvil melepaskan celana dalam hitamnya. Sehingga bentuk memek gundulnya tampak jelas di mataku. Memek yang sangat tembem. Sehingga bagian dalamnya disembunyikan oleh ketembeman “sepasang pipinya”.

Maka kutepuk - tepuk memek tembem itu sambil berkata, “Ini yang sangat kusukai. Tembem dan dicukur bersih jembutnya. Pasti enak menjilatinya.”

Wanita yang hanya 2 tahun lebih tua dariku itu mendadak manja. Ia merapatkan pipinya ke pipiku, sementara tangannya menyelinap ke balik celana dalamku. Memegang batang kemaluanku sambil berkata perlahan, “Saya juga ingin ngemut titit Den Wawan…”

“Titit itu sebutan buat anak kecil. Kalau buat orang dewasa sih sebut aja kontol… !”

“Hihihiii… takut dianggap kasar,” sahut Bi Euis sambil mendekatkan wajahnya ke celana dalamku. Lalu kuturunkan celana dalamku, sehingga jadi telanjang bulat seperti Bi Euis juga.

Wanita yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu tampak senang bisa memegang batang kemaluanku. Lalu menciumi dan menjilatinya. Bahkan lalu memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya.

Lalu ia menggelutkan lidah dan bibirnya ke penisku. Samnbil mengalirkan air liurnya ke badan kontolku, untuk melicinkan tangannya yang lalu mengurut - urut badan kontolku yang tidak terkulum olehnya.

Sebenarnya aku kurang suka dioral oleh pasangan seksualku. Karena kalau kelamaan dioral, bisa - bisa cepat ngecrot pada waktu ngentot beneran nanti.

Namun kali ini ada keasyikan tersendiri bagiku. Bahwa ketika sedang menyelomoti kontolku, memek Bi Euis ada di dekat tanganku. Sehingga aku bisa mencolek - colek mulut memeknya. Bahkan kuselusupkan jari tengahku ke dalam lubang memeknya yang terasa hangat dan licin.

Hmmm… dioral oleh Bi Euis sambil menggerak - gerakkan jari tengahku di dalam liang memeknya, membuat nafsuku semakin bergejolak. Mungkin Bi Euis pun seperti aku. Mulai horny berat. Karena dalam tempo singkat saja liang memeknya jadi basah.

Bahkan pada suatu saat Bi Euis melepaskan selomotannya, lalu berkata, “Saya sudah horny sekali Den. Langsung masukin aja ya. Gak usah dijilatin dulu. Memek saya udah basah sekali nih.”

Aku mengangguk sambil merangkak ke atas perutnya. Lalu meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek tembem Bi Euis.

Bi Euis pun membantuku. Memegang leher kontolku, lalu mendesakkan moncongnya ke mulut memeknya. Setelah terasa ngepas, ia memberi isyarat dengan kedipan matanya.

Aku pun spontan mendorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan… blessss… kontolku melesak ke dalam liang memek Bi Euis.

Gila… baru didorong saja sudah terasa enaknya liang memek janda muda ini.

“Ooooooohhhhh… masuk Deeen… gak nyangka punya Den Wawan segede dan sepanjang ini…” ucap Bi Euis sambil merengkuh leherku ke dalam pelukan hangatnya. Lalu merapatkan pipinya ke pipiku, “gak nyangka saya akan merasakan semua ini Den…”

Aku pun mulai mengentotnya perlahan - lahan, sambil menjauhkan pipiku dari pipinya. Karena aku ingin melihat ekspresi wajahnya pada waktu sedang kuentot.

Dan… aku seolah disadarkan pada suatu kenyataan. Bahwa wajah yang sedang kulihat dari jarak dekat ini cantik sekaligus manis.

“Bibi terlalu cantik buat seorang pembantu,” kataku sambil mencolek bibir sensualnya, tanpa menghentikan entotan pelanku.

“Den Wawan juga tampan sekali. Bahkan sampai mirip cewek saking tampannya,” sahut Bi Euis sambil mendekap punggungku.

Aku tersenyum, karena sejak masih kuliah banyak temanku yang berkata seperti itu.

Kemudian kuayun penisku dengan gerakan agak cepat sampai batas normalnya lelaki yang sedang mengentot pasangan seksualnya.

Bi Euis pun mulai merintih - rintih erotis, namun suaranya perlahan sekali, “Den… ooo… oooooh… Deeen… iiii… iini enak sekali Deeeen… ayo Den… entot terus… ini luar biasa enaknya… oooooh… gak nyhangka saya akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa ini…”

Aku pun semakin bergairah untuk mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Bi Euis yang luar biasa nikmatnya ini…

Tarian birahiku di atas perut Bi Euis benar - benar bermutu, menurutku. Karena gesekan demi gesekan membuatku serasa dialiri arus listrik dari ujung kaki sampai ubun - ubun di kepalaku.

Apakah aku merasa hina? Seorang dirut menyetubuhi pembantunya sendiri?

Tidak. Pembantu juga manusia. Sama saja seperti aku. Bahkan kuanggap Bi Euis laksana mutiara di dalam lumpur.

Bi Euis punya kulit putih mulus. Punya wajah cantik sekaligus manis. Punya bentuk tubuh yang sangat menggiurkan, terutama bokong gedenya itu. Punya sepasang payudara yang masih padat kencang.

Hanya nasibnya saja yang kurang beruntung. Sehingga harus bekerja di rumahku sebagai seorang pembantu.

Dan aku bertekad untuk menyenangkannya kelak. Aku ingin mendandaninya, ingin mencukupi kebutuhan hidupnya, ingin juga menempatkannya di rumah yang layak huni.

Aku bahkan bisa membayangkan seandainya Bi Euis sudah didandani, membawanya ke tengah kelompok kaum elite pun takkan memalukan. Karena hanya dengan dandanan sederhana saja sudah kelihatan cemerlangnya wajah Bi Euis, yang usianya kira - kira sebaya dengan Wati itu. Apalagi kalau sudah benar - benar didandani dan dipoles make up.

Dan liang memeknya yang tengah kuentot ini bermacam - macam nikmat yang kurasakan, yang sulit menjelaskannya. Yang pasti aku merasakan sesuatu yang lain dari biasanya. Aku menilai Bi Euis ini punya rasa yang lain dari perempuan - perempuan yang pernah kusetubuhi. Dan ini membuatku jadi sangat bergairah menyetubuhinya.

Untuk itu aku pun ingin menciptakan kesan, bahwa aku pun lelaki yang lain dari yang lain. Karena itu ketika batang kemaluanku sedang gencar - gencarnya mengentot, mulut dan tanganku pun mulai beraksi. Aku mulai memagut bibirnya yang tipis mungil, lalu melumatnya habis - habisan. Bukan sekadar menciumnya.

Terasa tubuh Bi Euis bergetar - getar. Mungkin saking menikmatinya. Mungkin juga karena baru sekali ini dia merasakan bibirnya dilumat pada saat liang memeknya sedang “dipompa” oleh kontol.

Ketika mulutku pindah sasaran, untuk menjilati lehernya, disertai gigitan - gigitan kecil, tangan kiriku tetap asyik meremas toketnya yang berukuran ideal dan masih kencang itu, rintihan - rintihan histerisnya terdengar lagi.

“Deeen… oooo… oooooh… be… belum pernah… sa… saya merasakan… di… disetubuhi yang seenak ini Deeen… ini akan menjadi kenangan tak terlupakan di seumur hidup saya Feeen… ini… ini luar biasa enaknya… aaaaah… aaaaaaah… aaaaah… Deeen… aaaaaah… hhhhhh …

Mendengar pengakuan itu aku baru ngeh bahwa Bi Euis sudah dua kali orgasme. Pantasan keringat sudah membanjiri leher dan ketiaknya. Dan kini dia mau orgasme lagi untuk ketiga kalinya. Sementara tubuhku pun sudah bermandikan keringat.

Maka kupacu batang kemaluanku untuik mengentot liang memek Bi Euis habis - habisan. Dengan target ingin mencapai puncak kenikmatan secara berbarengan.

Berhasil. Ketika sekujur tubuh Bi Euis terkejang - kejang, dengan perut sedikit terangkat, sementara liang memeknya terasa mengejut - ngejut erotis, batang kemaluyanku pun sedang kutancapkan sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.

Lalu kontolku mengejut - ngejut di dalam liang heunceut Bi Euis, sambil menembak - nembakkan lendir pejuhku.

Creeeettttt… cretttcretttttt… crooootttttt… cret… crooootttttttt… crettttt… crooootttt…!

“Uuuughhhhhhh… ughhhhh… uuuuuuuggggghhhh… “nafasku berdengus - dengus, lalu terkapar di atas perut Bi Euis.

Namun aku masih bisa memperhatikan wajah Bi Euis yang seakan memancarkan aura kecantikannya, sebagai wanita muda yang baru mengalami orgasme.

Ia pun menatapku dengan senyum manis di bibirnya. Lalu terdengar suaranya lirih, “Sekarang saya sudah menjadi milik Den Wawan.”

“Bagaimana perasaan Bibi setelah menjadi milikku?”

“Bahagia sekali,” sahutnya, “tapi bercampur perasaan kuatir.”

“Kuatir kenapa?”

“Takut kalau Aden sudah bosan lalu memecat saya dari sini.”

“Aku bukan manusia sekejam itu Bi,” sahutku sambil mencabut kontolku yang sudah lemas dari dalam liang memek Bi Euis, “Ohya… umur Bibi kan cuma beda dua tahun denganku. Panggilan Bibi kan cocoknya buat orang yang belasan tahun lebih tua dariku. Bagaimana kalau kupanggil Ceu Euis aja?”

“Panggil nama langsung, saya malah lebih suka.”

“Ya udah, aku buang aja sebutan Bibinya. Karena usia Euis kan sebaya dengan usia Wati. Kepada Wati pun aku manggil nama langsung. Padahal dia kakakku. Tapi dia sendiri yang ingin dipanggil namanya saja, gak usah pakai Ceu atau Kak dan sebagainya,” ucapku sambil meraih pergelangan tangan Euis, “Kita mandi bareng yuk.

“Malem - malem gini mau mandi Den?” tanyanya seperti ragu. Tapi dia turun juga dari bed dan mengikuti langkahku menuju kamar mandi, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.

“Kita kan mau mandi pakai air hangat, bukan air dingin. Jadi mandi malam juga gak apa - apa,” kataku setelah berada di dalam kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, lagi - lagi kuperhatikan sekujur tubuh Euis dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Penilaianku semakin teguh. Tiada cela yang ada di tubuh sempurna (menurut ukuran manusia biasa) itu. Bahkan nilai plusnya adalkah… penmuh dengan daya pesona.

Memang tadinya aku tak pernah memperhatikan Euis sedikit pun. Bahkan tadi pun aku takkan memperhatikannya andai tiada alasan, yakni perasaan takutku kalau rahasia pribadiku dengan ibu dan kakakku bocor ke luar.

Tapi aku tak mau memperlihatkan rasa kagumku secara berlebihan. Lalu aku memutar keran shower utama. Maka air hangat pun memancar dari atas kepala kami.

Lalu kuambil sabun shower. Kukucurkan sedikit ke telapak tanganku sambil berkata, “Kita gantian menyabuni ya. Sekarang aku mau menyabuni Euis dulu.”

“Aaah… masa saya disabuni sama Den Wawan?”

“Nggak apa - apa. Aku hanya ingin memperlihatkan perasaan sayangku padamu Is.”

Euis menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. Lalu dibiarkannya aku menyabuni punggungnya, bokong gede dan betis indah dan telapak kakinya.

Pada waktu aku menyabuni bagian depannya, Euis tampak tersipu - sipu terus. Mungkin karena tak mengira akan disabuni olehku dengan telaten. Terlebih ketika aku menyhabuni kemaluannya, ia semakin tersipu - sipu. Padahal aku melakukan semua ini dengan senang hati. Terutama waktu menyabuni memeknya yang sudah memberikan kenikmatan luar biasa bagiku.

Tapi aku sekadar menyabuninya saja. Tidak memanfaatkan kesempatan untuk “macem - macem” di kamar mandi. Kalau masih bernafsu, toh kamarku masih leluasa untuk melakukannya.

Ketika tiba giliran Euis yang harus menyabuniku, terasa benar dia lebih telaten daripada aku. Setiap bagian yang tidak terjangkau oleh tanganku, disabuninya dengan cermat. Dan ketika sedang menyabuni batang kemaluan berikut kantung pelernya, Euis tampak tersenyum - senyum. Lalu menciumi moncong kontolku yang sudah berlepotan air sabun.

Kusahut: “Iya, tapi nanti aja kalau sudah selesai mandinya. Kalau diselomoti di sini, nanti kontolku bakal nagih, bakal ngaceng dan pengen ngentot di sini juga. Kalau bisa di atas kasur empuk, ngapain ngewe sambil berdiri di dalam kamar mandi.”

Euis mengangguk - angguk sambil tersenyum.

Lalu keran shower air hangat kuputar lagi. Untuk membilkas tubuh kami sampai bersih.

“Saya pasti bakal ketagihan,” ucap Euis pada waktu sedang menghanduki badannya sendiri yang sudah bersih dan harum sabun.

“Aku juga pasti ketagihan,” sahutku.

“Terus kalau Ibu dan Neng Wati sudah pulang bagaimana?”

“Kita tetap bisa melakukannya di dalam kamarku.”

“Kalau ketahuan sama Ibu atau Neng Wati nanti gimana?”

“Alaaa… aku jamin mereka takkan berani memarahi kita. Aku kan tulang punggung di rumah ini,” sahutku disusul dengan kecupan hangatku di pipi Euis.

Tiba - tiba Euis mendekapku dari belakang sambil berkata, “Kalau Den Wawan takkan memutuskan hubungan ini, saya hamil pun gak apa - apa.”

“Jadi simpananku mau?”

“Siap Den.”

“Tapi sekarang sih jangan hamil dulu. Nanti gak ada yang bantuin Ibu dan Wati di sini. Tapi bukankah Euis sudah bertahun - tahun punya suami gak hamil juga? Sebenarnya siapa yang mandul?”

“Gak tau. Belum pernah diperiksa ke dokter. Tapi kayaknya sih mantan suami saya yang mandul. Setelah kawin lagi juga, istrinya belum hamil - hamil sampai sekarang. Jadi mungkin saja dia yang mandul.”

“Bekas suamimu itu kerja apa?”

“Cuma buruh bangunan Den.”

“Kalau Euis sedang dapoat libur, pulang ke mana?”

“Ke rumah ibu saya, satu - satunya orang tua yang masih saya miliki.”

“Ayahmu sudah meninggal?”

“Iya. Meninggal karena kecelakaan lalu lintas.”

“Ogitu… jadi kalau sedang libur, Euis pulang ke rumah ibu?”

“Iya Den.”

“Rumah punya ibumu?”

“Bukan. Rumah kontrakan Den.”

“Yang bayar uang kontrakan rumahnya siapa?”

“Tadinya ibu saya sendiri. Karena dia suka usaha kecil - kecilan. Tapi setelah saya bekerja di sini, saya yang membayar uang kontrakannya.”

“Ibumu masih kuat usaha segala?”

“Masih Den. Ibu saya kan belum tua - tua benar. Baru empatpuluhtiga tahun. Dia menikah di usia enambelas. Lalu di usia tujuhbelas melahirkan saya.”

“Berarti ibumu sebaya dengan ibuku ya?”

“Iya… usia Ema kira - kira seumuran sama Ibu.”

“Kamu manggil Ema sama ibumu?”

“Iya, sejak kecil saya manggil Ema sama ibu dan manggil Bapa sama ayah. Nggak mau ikut - ikutan manggil papa dan mama seperti anak - anak lain. Tau diri aja, orang miskin masa manggil mama atau mamie kepada ibu. Bisa diketawain orang nanti.”

Obrolan itu kami lanjutkan di atas sofa kamar tidurku.

“Euis kan punya jatah libur sehari dalam seminggu. Tapi hari liburnya selalu berubah - ubah. Siapa yang menentukan hari libur itu Is?” tanyaku ketika Euis sudah mengenakan daster batik lusuhnya lagi.

“Yang menentukan hari libur itu Ibu Den. Jadi libur saya kadang Senin, kadang Selasa dan seterusnya. Saya malah belum pernah dikasih hari libur hari Sabtu dan Minggu. Mungkin karena Den Wawan ada di rumah. Jadi ada yang masakin buat Aden,” sahut Euis, “Tapi selama Ibu dan Neng Wati ada di rumah sakit, saya tidak boleh ngambil libur dulu.

“Besok kan Sabtu. Berarti aku libur. Kita jalan - jalan ya.”

“Iya Den. Saya kan sudah menjadi milik Aden. Jadi, dibawa ke mana pun saya siap.”

“Sekarang ewean lagi siap?”

“Hihihihiii… siap Den. Saya juga malah kepengen lagi. Soalnya waktu Aden nyabunin memek saya tadi, saya langsung kepengen…”

Maka kami pun bertelanjang bulat kembali. Dan bersetubuh lagi sepuasnya.


Posting Komentar untuk "Ibuku Tunanetra ( Bagian 4 )"