Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kontak Maulidya Rina

Ibuku Tunanetra ( Bagian 2 )


Walau pun aku tak pernah pacaran dengan cewek sebayaku, sebenarnya Ibu bukanlah wanita pertama yang kugauli. Ya… aku akan tetap ingat peristiwa demi peristiwa, khususnya tentang masalah seksual.

Baru seminggu aku bekerja di kantor perusahaan swasta itu, seorang karyawati menghampiriku ketika aku sedang nongkrong di kantin pada jam makan siang. Karyawati itu seorang wanita setengah baya yang menjabat tanganku sambil menyebutkan namanya, “Ninies.”

Aku pun menyebutkan namaku. Kemudian karyawati yang bernama Ninies itu duduk di depanku, dibatasi oleh meja kantin.

“Gimana? Seneng kerja di sini?” tanyanya setelah memesan jus guava ke ibu kantin.
“Lumayan… seneng Mbak.”
“Kamu karyawan termuda di sini.”
“Kok Mbak tau?”
“Aku kan staf personalia.”
“O gitu…”
“Kamu punya WA?”
“Punya. Mau tukaran nomor Mbak?”
“Iya.”

Lalu aku tukaran nomor hape yang ada WAnya dengan Mbak Ninies, yang usianya kira - kira tigapuluh tahun lebih.

“Nanti malam kita chat ya,” ucapnya.
“Boleh Mbak.”
“Pacarnya gak marah kalau kamu chat denganku?”
“Aku gak punya pacar Mbak.”
“Ohya? Cowok seganteng kamu gak punya pacar? Masa sih?!”
“Belum punya Mbak. Cariin dong sama Mbak. Heheheee…”

Tiba - tiba dia memegang tanganku yang berada di atas meja sambil berkata perlahan, “Aku aja jadiin pacar ya. Hihihiiii…”

“Memangnya Mbak gak punya suami?”
“Punya, tapi boleh aja aku suka kamu kan?”

Aku terhenyak. Masa perempuan yang jauh lebih tua dariku mau jadi pacarku? Tapi aku lantas teringat sesuatu… tentang wanita bersuami yang seneng melahap brondong. Apa salahnya kalau aku dijadiin brondongnya? Bukankah aku ingin tau bagaimana rasanya bersetubuh itu?

(Saat itu aku belum pernah menggauli siapa pun).

Aku menengok ke kanan kiriku. Saat itu kantin memang sedang sepi. Hanya aku dan Mbak Nies yang sedang nongkrong di kantin. Maka lalu aku menjawab, “Boleh Mbak. Boleh banget.”

Mbak Nies yang berperawakan tinggi montok berkulit putih mulus itu menghabiskan jus guavanya. Lalu berdiri sambil berkata, “Nanti malam kita chatting ya.”

“Oke,” sahutku sambil tersenyum.

Dugaanku tidak meleset. Malamnya Mbak Ninies mengirim WA, berawal dengan basa - basi, udah tidur belum… sekarang lagi ngapain dan sebagainya. Sampai akhirnya melangkah ke chat yang lebih serius :

Aku: Suami Mbak kerja di mana?

Ninies: Jauh. Di Hongkong

Aku: Jadi TKI? Ninies: Iya. Aku: Mbak sering kesepian dong. Ninies: Iya. Makanya pengen jadi pacar gelap kamu. Aku: Kebetulan dong. Aku lagi butuh guru. Ninies: Guru apa? Aku: Guru begituan Mbak. Ninies: Sex maksudnya? Aku: Iya Ninies: Memangnya kamu belum pernah? Aku: Belum Mbak. Ninies: Bohong ah.

Tanpa pikir panjang lebar lagi kufoto penuisku yang kebetulan sedang ngaceng ini, lalu kukirimkan. Dan :

Ninies: Wow! Punyamu panjang gede gini yah? Aku jadi horny neh.

Aku: Mana punya Mbak?

**

Ninies: Sebentar ya. Kamarku gelap, mau nyalain lampu dulu.

**

Tak lama kemudian aku menerima kiriman foto kemaluan Mbak Ninies. Maka giliranku untuk berkomentar :

Aku: Waduh Mbak… memeknya bersih gini. Jadi pengen jilatin deh.

Ninies: Kok udah tau jilat memek segala? Berarti udah pengalaman dong.

Aku: Pengalaman masih nol besar. Tapi nonton bokep sih sering. Ninies: Iya ya. Cowok zaman sekarang kan sering nonton bokep. Aku: Terus kapan aku mau sekolahnya Mbak? Ninies: Terserah kamu. Sekarang juga bisa. Asal mau aja kamu yang ke sini. Aku: Ke rumah Mbak? Ninies: Iya. Kalau mau, aku akan kirim alamatnya.

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di atas motorku yang kularikan menuju alamat rumah Mbak Ninies.

Kepada Ibu aku bilang mau kerja lembur. Terpaksa aku berbohong supaya tidak ada pertanyaan yang susah jawabnya.

Rumah Mbak Ninies lumayan jauh dari rumahku. Mbak Ninies di ujung timur, sementara aku di ujung utara. Namun tak sampai sejam aku pun tiba di depan rumah Mbak Ninies ketika jam tanganku baru menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

Mbak Ninies membuka pintu depan dengan mengenakan daster putih bersih, dengan rambut yang diurai lepas pula.

“Motornya masukin aja ke dalam, biar aman, “katanya sambil membuka pintunya lebar - lebar.

Aku ikuti saja petunjuk teman sekantorku yang berperawakan tinggi montok dan berkulit putih mulus itu. Kumasukkan motorku ke dalam rumahnya yang lebih kecil dari rumahku, tapi penataannya rapi dan serba masa kini.

Setelah menutup dan menguncikan pintu depan, Mbak Ninies langsung mengajakku masuk ke dalam kamarnya yang rapi dan harum penyegar ruangan.

Setelah aku berada di dalam kamarnya, Mbak Ninies menutup dan menguncikan pintu kamarnya yang serba bersih dan mengikuti trend bedroom masa kini itu. Sebagai pemula dalam masalah perempuan, aku mulai degdegan. Dan tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Tapi Mbak Nies tahu apa yang harus dilakukannya.

Lalu ia berkata setengah berbisik, “Sekarang nginap di sini aja ya. Besok kan kita libur.”

“Iya Mbak…” sahutku sambil mengamati Mbak Ninies yang sedang menanggalkan daster putihnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam serba pink yang masih melekat di tubuhnya.

Dalam keadaan nyaris telanjang kitulah Mbak Ninies meraihku ke dalam pelukannya. “Kita gak usah munafik,” bisiknya, “Saat ini kita saling membutuhkan Wan. Aku kesepian, kamu juga ingin merasakan enaknya memek kan?”

“Iya Mbak…” sahutku yang lalu terputus, karena bibirku dipagutnya. Lalu dicium dan dilumatnya, sementara aku semakin jauh tenggelam di dalam arus nafsu.

“Tanggalkan dulu dong pakaianmu, biar lebih leluasa,” ucap Mbak Ninies setelah ciumannya dilepaskan.

Aku pun melepaskan baju kaus dan celana jeansku. Tinggal celana pendek yang masih melekat di tubuhku.

“Coba liat kontolmu… tadi baru liat fotonya. Sekarang ingin liat aslinya,” kata Mbak Ninies sambil melepaskan kancing celana pendekku. Lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana pendekku. Dan menyembulkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini.

“Wow… kontolmu ini istimewa Wan. Bukan cuma gede tapi juga panjang sekali… hihihihiiii… seneng aku liatnya,” ucap Mbak Ninies sambil menciumi puncak penisku.

Pada saat itulah aku pun tak sabar lagi. Ingin menjamah kemaluan Mbak Ninies yang masih tertutup celana dalam berwarna pink itu.

“Kamu ingin jilatin memekku kan?”

“Iya Mbak.”

“Ya udah, jilatin deh, “kayta Mbak Ninies sambil merenggangkan kedua belah pahanya. Aku agak kebingungan awalnya, karena Mbak Ninies masih mengenakan celana dalam. Tapi lalu aku membungkuk dan menelungkup di antara sepasang paha putih mulusnya.

Lalu kutarik celana dalamnya ke arah kiri, sehingge kemaluannya terbuka. Yang berwarna pinknya pun kelihatan sudah menganga, seolah menantangku untuk segera menjilatinya. “Aku belum punya pengalaman. Kalau salah, tolong betulin ya Mbak,” kataku yang diiyakan oleh Mbak Ninies sambil tersenyum - senyum.

Aku pun menjilati kemaluan Mbak Ninies yang jembutnya hanya di bagian atas, juga pendek - pendek, kayak kumis Hitler.

Lalu Mbak Ninies memberi pengarahan tentang kemaluan bagian mana saja yang harus dijilati itu. Bagian dalamnya yang berwarna pink, bibir kecil (labia minora) dan terutama clitorisnya.

Setelah diberi petunjuk, aku pun mulai mengerti. Dalam tempo singkat aku sudah bisa menjilati memek Mbak Ninies, tanpa harus dibimbing lagi. Namun nafsuku sudah bergejolak, ingin segera melakukan persetubuhan yang sebenarnya.

Ya… aku masih ingat benar semuanya itu. Bahwa untuk pertama kalinya aku merasakan nikmatnya menyetubuhi perempuan, adalah dengan Mbak Ninies itu.

Bahkan Mbak Ninies pula yang mengajariku tentang posisi - posisi sex yang bermacam - macam itu. Sehingga malam itu aku sampai tiga kali ngecrot di dalam liang memek Mbak Ninies.

Sebelum berpisah, kami janjian untuk ketemuan lagi tiga malam berikutnya.

Tapi apa yang terjadi?

Keesokan harinya Mbak Ninies mengirim WA ketika aku sedang sibuk di ruang kerjaku.

Isinya :Wan… aku dimutasikan ke Medan dan harus berangkat sekarang juga. Selamat tinggal ya Wan. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain waktu. Peluk cium untukmu seorang.

Aku ingin sekali turun ke bawah, ke ruang kerja Mbak Ninies yang berada di lantai satu (sementara tempatku bekerja di lantai tiga). Tapi aku teringat ucapan Mbak Ninies tempo hari, agar hubunganku dengannya dirahasiakan. Jangan sampai ada orang kantor yang tahu.

Karena itu aku hanya bisa membalas lewat WA lagi. Yang isinya panjang lebar. Mengungkapkan perasaan kagetku, karena harus berpisah dengan wanita yang sudah membuatku dewasa itu.

Tentu saja aku merasa kehilangan juga setelah Mbak Ninies dimutasikan ke Medan. Tapi mau diapain lagi? Aku tak punya hak dan wewenang untuk menahannya agar tetap bertugas di kantor ini.

Padahal baru saja aku merasakan nikmatnya hubungan sex dengan wanita yang lebih tua dariku itu. Tadinya aku bertekad untuk sering - sering “menengok” ke rumah Mbak Ninies itu. Tapi apa daya… takdir berkata lain.

Ya… semuanya itu akan tetap kuingat sebagai pengalaman awalku tentang nikmatnya menyetubuhi lawan jenisku.

Tentu saja aku merasa kecewa dan sedih karena harus berpisah dengan Mbak Ninies yang tadinya kuanggap bisa dijadikan penyaluran nafsu birahiku.

Begitulah… aku masih ingat semuanya itu. Semua yang telah terjadi dengan Mbak Ninies beberapa bulan yang lalu itu. Peristiwa indah di rumah Mbak Ninies itu, akhirnya hanya bisa kukenang, karena aku tak mungkin jauh - jauh ke Medan hanya untuk menjumpai wanita yang telah mengambil keperjakaanku itu.

Beberapa bulan aku dibuat kehilangan, sampai akhirnya aku menemukan sosok yang bisa dijadikan tempat untuk penyaluran nafsu birahiku. Sosok itu adalah ibu kandungku sendiri.

Dan ternyata bersetubuh dengan Ibu tak kalah nikmatnya dengan menyetubuhi Mbak Ninies. Bahkan dalam beberapa hal aku merasa bahwa liang kewanitaan Ibu lebih enak daripada liang kewanitaan Mbak Ninies.

Padahal ibuku sudah dua kali melahirkan. Sementara Mbak Ninies belum pernah melahirkan. Logikanya, kemaluan Mbak Ninies harus lebih enak daripada kemaluan Ibu. Tapi ternyata sebaliknya, liang kewanitaan Ibu jauh lebih enak daripada liang kewanitaan Mbak Ninies.

Dan yang sangat menyenangkan, ibuku siap meladeniku kapan saja aku mau.

Bahkan dua malam setelah peristiwa pertama itu, Ibu mendatangi kamarku. Ibu memang sudah hafal liku - liku rumah ini. Sehingga tanpa tongkat pun beliau bisa mencapai tempat yang ingin dicapainya.

Pada saat itu aku sedang duduk di atas sofa tua dalam kamarku. Maka kujemput Ibu dan kutuntun ke arah sofa, lalu kududukkan di atas pangkuanku.

“Kamu gak kepengen lagi Wan?” tanya Ibu sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Tentu aja kepengen Bu,” sahutku, “kemaren kan gak begituan sama Ibu. Tapi aku mau mandi dulu, lalu makan malam dulu. Setelah isi perut kita turun, barulah aku mau tidur di kamar Ibu… setelah puas meniduri Ibu. Heheheee…”

“Iya… ibu juga lagi horny Wan.”

“Cailaaa… Ibu tau horny segala ya…”

“Kan ibu suka baca di buku - buku berhurup braille Wan.”

“Iya, aku lupa itu. Mmm… nanti kucarikan deh buku - buku pengetahuan berhurup braille, biar Ibu tidak ketinggalan zaman. Aku mau mandi dulu ya Bu,” kataku sambil mendudukkan Ibu di atas sofa.

“Iya,” sahut Ibu, “ibu sih waktu kamu baru pulang tadi pas lagi mandi.”
“Setelah mandi, nanti aku beli nasi bungkus. Ibu mau nasi campur apa?”
“Nasinya baru matang di magicom Wan. Beli lauk pauknya aja.”
“Oke,” sahutku sambil melangkah ke luar, meninggalkan ibu di dalam kamarku.

Namun malam itu Ibu terasa sangat bergairah untuk dientot olehku. Berbagai macam posisi dia minta. Aku hanya manut saja. Mau posisi doggy boleh. Posisi WOT juga boleh. Namun pada posisi WOT itulah Ibu orgasme lagi, setelah kami sama - sama keringatan.

Sampai akhirnya kembali lagi ke posisi soft missionary. Dan aku mulai merasakan sesuatu. Bahwa menyetubuhi Ibu malah lebih enak daripada menyetubuhi Mbak Ninies. Padahal Ibu sudah dua kali “turun mesin”, sementara Mbak Ninies belum pernah melahirkan. Harusnya Mbak Ninies lebih enak. Tapi kenyataan malah sebaliknya.

Apakah hal ini karena Ibu memberikan memeknya secara tulus ikhlas, sementara Mbak Ninies hanya ingin mengambil keperjakaanku semata? Entahlah.

Yang jelas, makin lama aku makin menyadari bahwa menyetubuhi Ibu ini terasa lebih nikmat daripada menyetubuhi Mbak Ninies. Karena Ibu seperti ingin memuaskanku dalam setiap gerakan fisik kami berdua. Meski sudah tiga kali orgasme, Ibu masih bisa menggoyangkan pinggulnya sedemikian rupa, sehingga batang kemaluanku serasa dibesot - besot oleh liang sanggamanya.

Rintihan demi rintihannya cuma perlahan saja. Berarti beliau tetap mengontrol diri pada saat aku sewdang gewncar - gencarnya mewngayun penisku. Namun meski cuma rintihan yang nyaris tak terdengart, aku masih bisa mendengarnya, karena mulutnya berada di dekat telingaku.

“Waaaan… ooooo… oooooohhhhh Waaaaaan… kamu memang perkasa Waaaan… gak nyangka… gak nyangka kalau kepuasan ibu akan dialami dari anak ibu sendiri… ayolah Waaan… entot terussssss… ini udah mulai enak lagi Waaaan… ayooooo… entot ibu segarang mungkin…”

Kali ini aku pun merasa sudah mulai berada di detik - detik krusial. Maka ketika Ibu mulai menggelepar - gelepar lagi, aku pun menggencarkan entotanku. Sampai akhirnya kubenamkan penisku sedalam mungkin, tepat pada saat Ibu sedang terkejang - kejang. Mungkin Ibu juga akan mencapai orgasme yang kesekian kalinya.

Benar saja… ketika kubenamkan penisku sedalam mungkin dan tidak kugerakkan lagi ini, liang kewanitaan Ibu terasa menggeliat dan mengejut - ngejut indah. Pada saat ini pula penisku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan air mani di dalam liang surgawi ibuku.

Crooooottt… crottt… crooootttttt… crooot… crot… crooootttt…!

Aku menggelepar di atas perut Ibu, kemudian terkulai lunglai di dalam pelukannya.

“Dibarengin lagi ya,” bisik Ibu sambil menciumi pipiku.
“Iya Bu… luar biasa enaknya.”
“Barusan ibu sampai lima kali lepas… kamu memang hebat Wan…”

Peristiwa indah ini terjadi dan terjadi terus pada hari - hari berikutnya. Kapan pun aku menginginkannya, Ibu selalui siap untuk meladeniku.

Namun aku tak sekadar ingin menjadikan Ibu sebagai pelampiasan nafsu birahiku. Aku pun ingin membahagiakannya dengan apa pun yang bisa kulakukan.

Bahkan aku sering melamun, seandainya aku sudah sukses, aku ingin merombak rumah tua itu menjadi rumah yang modern. Sedikitnya tiap kamar harus ada kamar mandinya masing - masing, lengkap dengan shower dan water heaternya. Tidak seperti saat itu, kamar mandinya cuma satu. Harus selalu mandi air dingin, dengan hanya memakai gayung plastik pula.

Padahal dalam kondisi Ibu yang tidak bisa melihat itu, sebaiknya ada kamar mandi yang bersatu dengan kamar Ibu. Supaya kalau Ibu mau mandi, tak usah keluar dulu dari kamarnya. Begitu pula kalau mau buang air, tak usah jauh - jauh pergi ke kamar mandi yang di luar kamarnya.

Beberapa hari kemudian, ketika aku sedang bekerja, aku dipanggil oleh Bu Laila Qodrati, anak tunggal owner perusahaan tempatku bekerja. Tentu saja aku kaget sekali, karena mendadak dipanggil oleh orang nomor dua di perusahaan ini.

Lalu bergegas aku naik lift menuju lantai lima.

Setelah berada di lantai lima, aku mengetuk pintu kaca blur yang bertuliskan nama orang kedua di perusahaan ini.

Terdengar suara wanita dari dalam, “Masuk… !”

Dengan lutut agak gemetaran aku membuka pintu kaca itu, lalu membungkuk di depan meja kerja Bu Laila sambil berkata, “Selamat pagi, Bu Boss.”

“Pagi, “Bu Laila mengangguk sambil tersenyum, “Duduklah.”

Lalu aku duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Bu Laila.

Beliau memandang ke arah layar laptopnya sesaat, lalu menatapku sambil berkata, “Nama lengkapmu Wawan Darmawan ya?”

“Siap, betul Bu Boss.”
“Kamu sudah setahun bekerja di sini ya?”
“Siap, betul Bu Boss.”

“Dari catatan yang masuk ke meja kerjaku ini, prestasi kerjamu bagus, Wan.”

“Siap Bu Boss.”
“Kamu bisa nyetir mobil?”
“Siap, bisa Bu Boss.”
“Punya SIM?”
“Siap, punya Bu Boss.”
“Memangnya kamu punya mobil?”

“Tidak Bu Boss. Tapi sebelum saya bekerja di sini, saya pernah jadi sopir angkot, lalu jadi sopir taksi juga Bu Boss.”

“Sanggup nyetir ke luar kota?”

“Siap, sanggup Bu Boss.”

“Umurmu sekarang duapuluhsatu, berarti waktu jadi sopir angkot dan taksi itu masih di bawah duapuluh taun ya?”

“Siap, betul Bu Boss.”
“Di usia semuda itu kamu sudah jadi sopir taksi segala.”
“Siap, betul Bu Boss.”
“Sekarang masih suka jadi sopir di luar jam kerja?”
“Siap, tidak lagi Bu Boss. Saya ingin konsentrasi bekerja di sini.”
“Jadi sopir taksi kan lumayan banyak hasilnya.”
“Siap, tidak selalu begitu Bu Boss. Lagipula hidup saya jadi tidak teratur seperti sekarang.”
“Begitu ya. Mmm… kamu sanggup nyetir mobilku?”
“Siap, sanggup Bu Boss.”

“Aku takkan menjadikanmu sopirku. Tapi untuk menjadi pendampingku, karena banyak masalah perusahaan yang harus dirahasiakan. Sedangkan sopir pribadiku sudah terlalu tua. Kalau nyetir ke luar kota, pulangnya suka sakit, lalu lama tidak masuk kerja.”

“Siap Bu Boss.”

Kemudian Bu Laila mengeluarkan secarik kartu nama.

“Ini kartu namaku. Alamat rumahku tercantum di sini,” ujarnya sambil menyerahkan kartu nama itu padaku, “Hitung - hitung test, besok kamu harus nyetirin mobilku ke Jakarta aja. Kalau cara nyetirmu bagus, nanti kamu harus nyetirin aku ke kota yang lebih jauh dari Jakarta.”

“Siap Bu Boss,” sahutku sambil membaca kartu nama puteri tunggal owner perusahaan itu. Kemudian memasukkannya ke dalam dompetku.

“Tapi ingat… kamu jangan ngomong apa - apa ke karyawan lain nanti ya.”
“Siap Bu Boss.”
“Kalau ada yang nanyain, bilang aja cuma dikasih nasehat olehku.”
“Siap.”

“Jadi, besok sebelum jam tujuh kamu harus sudah tiba di rumahku. Dari rumahku, kita langsung berangkat ke Jakarta. Oke?”

“Siap Bu Boss.”

“Ingat… sama karyawan lain jangan bilang - bilang kamu akan nyetirin mobilku ya. Pokoknya bilang aja bahwa kamu hanya dikasih pengarahan olehku gitu.”

“Siap Bu Boss.”
“Ohya. besok pakaianmu casual aja. Jangan pakai seragam kantor.”
“Siap Bu Boss.”

Aku kembali ke ruang kerjaku dengan semangat yang mulai menggebu - gebu di dalam batinku. Karena seandainya aku nyetirin mobil Bu Laila, mungkin aku bisa dekat dengan seorang decision maker (pengambil keputusan) di dalam perusahaan. Maka dengan sendirinya aku hgarus bersikap sebaik mungkin padanya.

Keesokannya, jam enam pagi aku sudah mandi dan berdandan. Lalu aku pamitan kepada Ibu, bilang bahwa aku ditugaskan untuk ke Jakarta. Jadi mungkin saja aku mau nginap di Jakarta nanti. Tak lupa aku pun memberikan uang untuk makan selama aku tidak di rumah.

“Gak usah masak Bu. Beli saja nasi bungkus di warung nasi itu, supaya Ibu tidak repot,” kataku setelah mencium pipi kanan dan pipi kirinya.

Ibu hanya mengiyakan dan berkata, “Hati - hati di jalan Sayang.”

“Iya. Ibu juga jangan ngeluyur ya. Ibu hanya boleh ke warung nasi saja. Jangan ke mana - mana.”
“Iya, ibu mau selonjoran aja seharian di depan tivi,” sahut Ibu sambil menepuk - nepuk bahuku.

Setelah membuka pintu belakang kiri sedan mewah yang mesinnya sudah kupanaskan itu, Bu Laila pun masuk sambil berkata, “Terima kasih. “

Pintu belakang kiri kututupkan. Kemudian bergegas aku masuk ke belakang setir sedan itu. Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku. Tentu saja bukan sembarang parfum yang dikenakan oleh wanita yang kutaksir sudah berumur kepala tiga itu.

Setelah sedan yang kukemudikan memasuki jalan tol, terdengar sauara Bu Laila dari belakangku, “Usiamu baru duapuluhsatu, tapi cara nyetirmu jauh lebih bagus daripada sopir lamaku. Berarti jam terbangmu sudah lumayan tinggi ya. “

“Siap Bu Boss. Lumayan lama saya nyetir, malah sejak saya baru limabelas tahun suka narik angkot. Tapi hanya berani nyetir malam. Kalau siang takut ditilang, karena belum punya SIM. “

“Ogitu ya. terus uangnya dipakai apa aja? Minum - minum?”
“Untuk biaya kuliah saya Bu Boss. Saya tidak pernah menyentuh minuman keras. “
“Merokok juga tidak pernah?”
“Kalau merokok sekali - sekali suka juga Bu Boss. “
“Kalau di perjalanan gini, gak usah nyebut - nyebut Boss padaku Wan. Panggil Bu atau Mbak aja, gak apa - apa. “

“Siap Bu Boss… eh Bu. “
“Nanti di rest area pertama kita makan pagi dulu ya. “
“Siap Bu. “

Dan memang sebelum belokan menuju rest area pertama, kukurangi kecepatan sedan Bu Laila ini, lalu dibelokkan ke kiri.

Setelah mobil diparkir, aku keluar dari mobil untuk membukakan pintu belakang kanan, kemudian Bu Laila turun. Sementara aku mau masuk ke dalam mobil lagi sambil berkata, “Saya mau nunggu di mobil aja Bu. “

“Jangan begitu,” sahut Bu Laila sambil memegang pergelangan tanganku. Ayo temani aku makan. Kalau makan sendirian suka gak enak. “

Akhirnya aku mengikuti langkah Bu Laila yang pagi itu mengenakan kemeja tangan panjang putih dengan rok berwarna merah (tapi tidak seperti seragam SD, karena bahannya beda). Bu Laila memilih foodcourt yang menjual bubur ayam. Aku pun ikut duduk di situ, meski aku sudah merasakan di situ bubur ayamnya kurang enak.

Kebetulan pada saat itu rest area masih sepi. Sehingga Bu Laila bebas berbicara denganku.

“Sebenarnya urusan bisnisku di Jakarta hari Senin pagi, “katanya.

“Iya Bu, “aku cuma menunduk sambil menyantap bubur ayamku. Padahal aku heran. Saat itu hari Sabtu pagi. Urusan Bu Laila hari Senin pagi. Lalu kenapa harus berangkat secepat ini?

“Kita nyantai aja dulu di Jakarta selama dua hari ya,” ucap Bu Laila sambil menepuk punggung tanganku yang terletak di atas meja.

“Siap Bu,” sahutku sambil mengangguk.

Selesai sarapan pagi, Bu Laila masuk ke minimart sambil bertanya, “Rokokmu apa?”

O, rupanya beliau mau membelikanku rokok. “Saya sih rokok apa juga jalan. Asal ngebul aja Bu. “

“Aku juga suka merokok Wan. Nanti matiin aja AC mobilnya, kalau kamu mau merokok. “

“Siap Bu. “

Setelah keluar dari minimart itu, Bu Laila menjinjing kantong plastik besar, yang kuambil alih untuk menjinjingnya dan meletakkan di jok belakang sebelah kiri. Tadinya kupikir Bu Laila akan duduk di belakang sebelah kanan lagi. Tapi ternyata tidak. Bu Laila memilih untuk duduk di depan, di sebelah kiriku.

Bu Laila berdiri sambil menghadap ke belakang. Ternyata beliau mau mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik besar tadi. Satu sloft rokok yang menurutku rokok mahal. “Nih cukupkan untuk sepuluh hari ya, “katanya sambil menyerahkan sesloft rokok mahal itu.

“Wah… terima kasih Bu. Saya hanya merokok sekali - sekali. Sebungkus bisa dua - tiga hari baru habis. Jadi sesloft ini cukup untuk sebulan Bu,” kataku sambil meletakkan sloft rokok itu di saku jaket kulitku.

“Itu lebih bagus. Merokok boleh - boleh saja, tapi jangan terlalu nyandu. “

“Siap Bu. “
“Wan… “
“Ya Bu?”
“Di CVmu tertulis kamu belum kawin. Itu betul?”
“Siap, betul Bu. “
“Tapi kalau pacar aja sih sudah punya kan?”
“Saya belum pernah pacaran secara serius Bu. “
“Kenapa? Kamu ganteng kok. Masa belum pernah pacaran?”
“Masa kecil dan masa remaja saya… sangat berat Bu. “
“Berat gimana?”

“Sejak masih di SD dan SMP, saya sampai harus jadi tukang semir sepatu untuk menghidupi saya sendiri, termasuk membiayai sekolah saya. Setelah di SMA, tiap malam saya jadi sopir angkot. Setelah jadi mahasiswa jadi sopir taksi. Untuk membiayai kuliah dan kehidupan sehari - hari saya. Jadi saya tidak berani pacaran seperti teman - teman seangkatan saya.

“Terharu juga aku mendengarnya Wan,” sahut Bu Laila sambil mengusap - usap rambutku.

Nah… ini membuat batinku bergetar. Karena aku punya lamunan agar Bu Laila dekat denganku. Supaya kehidupanku berubah sedikit demi sedikit.

“Tapi merasakan tubuh perempuan sih pernah kan?”

“Belum Bu,” sahutku berdusta. Karena aku langsung teringat pada Mbak Ninies yang begitu bernafsu mendapatkan keperjakaanku. Siapa tahu Bu Laila juga seperti itu.

Tapi apakah Bu Laila yang putri tunggal owner perusahaan dan berparas jelita itu bisa punya niat yang sama dengan Mbak Ninies?

Saat itu aku belum tahu status Bu Laila. Apakah beliau itu gadis madya atau punya suami atau janda, entahlah. Aku tidak berani menanyakannya. Yang aku tahu Bu Laila itu berwajah cantik, berperawakan tinggi langsing dan berkulit putih mulus. Tentu saja sekujur tubuhnya selalu mendapatkan perawatan lengkap, maklum orang tajir melilit.

Lalu terdengar suaranya, “Wan… “

“Ya Bu… “
“Nanti belokkan saja ke arah tol Jagorawi. “
“Siap Bu. “

Tiba - tiba Bu Laila memegang tangan kiriku yang nganggur, karena sedannya matic. Dan sambil meremas tanganku, Bu Laila bertanya dengan suara yang berbeda dari biasanya, “Kamu mau dijadikan pacar rahasiaku?”

Maaaaak… dugaanku tidak meleset. Maka spontan aku menjawab, “Siap Bu… !”

“Memangnya kamu suka padaku?” tanyanya sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku. Harum parfumnya pun semakin tersiar ke penciumanku, menimbulkan suasana baru yang membuat batinku tergetar.

“Sa… sangat suka Bu. Tapi saya tidak berani mengucapkannya… karena saya tau siapa saya dan siapa Ibu. “

“Terus terang, aku ini punya suami Wan. Tapi suamiku pernah mengalami kecelakaan lalu lintas. Suamiku masih hidup setelah dirawat berbulan - bulan dirawat di rumah sakit. Tapi ininya tidak berfungsi lagi,” ucap Bu Laila sambil memijat celana jeansku tepat di bagian yang menutupi penisku.

“Tidak berfungsi… maksudnya impoten Bu?”

“Betul. Ada jaringan syaraf menuju penisnya yang rusak dan takkan bisa diperbaiki lagi dengan cara apa pun. “

“Iya Bu… saya ikut prihatin mendengarnya. “

“Sudah lebih dari lima tahun aku seolah jadi linglung, tidak tau lagi apa yang harus kulakukan. Karena aku ini masih muda. Masih membutuhkan kepuasan birahi. Tapi suamiku sudah tidak mampu lagi melakukannya. Suamiku juga tau itu. Dia bahkan mengijinkanku untuk mencari lelaki lain untuk dijadikan kekasihku, tapi jangan sampai bercerai dengannya, karena dia sangat mencintaiku.

“Iya Bu. “

“Coba berhenti dulu di bahu jalan Wan. Sambil nyalakan lampu hazard. “

“Iya Bu,” sahutku sambil mengurangi kecepatan sedan atasanku. Lalu kuhentikan di bahu jalan sambil menyalakan lampu hazard.

“Kalau ngobrol sesuatu yang penting begini, jangan sambil nyetir di jalan tol. “
“Iya Bu. “
“Coba buka ritsleting celanamu Wan. Aku ingin melihat seperti apa punyamu. “

Tanpa ragu - ragu kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kusembulkan batang kemaluanku dari balik celana dalamku.

“Wooooowwww…! Ternyata punyamu sepanjang dan segede ini Wan?!” seru Bu Laila sambil menggenggam penisku yang masih lemas… dan mulai menegang setelah dipegang oleh bossku yang jelita itu…!

Aku diam saja. Membiarkan Bu Laila menggenggam penisku yang sudah mulai ngaceng ini.

“Supaya jangan seperti menjual kucing di dalam karung, sekarang peganglah punyaku, supaya kamu tau bahwa aku ingin punyamu dimainkan di dalam punyaku ini,” ucap Bu Laila sambil menarik roknya ke atas, sambil menarik tanganku ke balik celana dalamnya yang sudah dipelorotkan.

Tangan kiriku menyentuh kemaluan yang bersih dari jembut, yang hangat dan aaaaah… nafsuku spontan bergejolak…!

“Bu… ooooh… “hanya itu yang terlontar dari mulutku.
“Kamu mau punyamu dimasukkan dan dimainkan di dalam punyaku kan?”
“Sa… sangat mau Bu. “

“Ayolah… sekarang jalankan lagi mobilnya. Aku punya villa di Puncak. Nanti kita lakukan semuanya di villaku ya. “

“Siap Bu,” sahutku sambil mengeluarkan tangan kiriku dari balik celana dalam Bu Laila, “Tapi saya belum punya pengalaman. Jadi nanti tolong ajarin sama Ibu,” ucapku sesuai dengan skenarioku.

Bu Laila merapatkan pipinya lagi ke pipi kiriku. “Iya, nanti spermamu akan kutelan habis. Biar awet muda. Hmmm… kebayang… “

Kebetulan jalan tol saat itu agak lancar. Sehingga tak sampai dua jam aku sudah berhasil keluar dari pintu tol Jagorawi.

“Tapi ingat Wan… kamu harus merahasiakan apa pun yang terjadi di antara kita berdua nanti,” kata Bu Laila ketika mobilnya sudah mulai menginjak jalan menuju Puncak.

“Siap Bu. “

“Kalau sedang berduaan begini sih jangan pakai istilah siap - siap terus ah. Biar jangan kaku kedengarannya. “

“Iii… iya Bu. “

“Nanti kamu akan kuangkat menjadi asisten pribadiku. Dengan gaji dan fasilitas jauh lebih banyak kalau dibandingkan dengan jabatan sekarang. “

“Wah… terima kasih Bu. Baru mendengarnya aja saya sudah bahagia sekali. “
“Gajimu bahkan akan lebih tinggi daripada manager - manager. “
“Iya Bu… iyaaa… “

Tiba - tiba Bu Laila mengecup pipiku disusul dengan ucapan, “Sebenarnya sejak pertama kali melihatmu, aku langsung suka padamu. Tapi aku ingin tau dulu cara kerjamu seperti apa. Setahun aku mempertimbangkannya. Dan sekarang… aku ingin kamu menjadi milikmu… emwuaaaaah …” Bu Laila mengecup pipiku lagi.

“Iya Bu… “hanya itu yang terlontar dari mulutku, dalam perasaan yang bercampur aduk.

“Tapi aku ingin kamu benar - benar berprestasi di perusahaanku nanti. “

“Iya Bu… “

“Kalau perlu, kamu kuliah lagi sampai menggondol es - satu. “
“Itu cita - cita lama saya Bu. Tapi bagaimana mungkin saya kuliah sambil bekerja?”

“Setelah kamu kuangkat sebagai aspri, jam kerjamu bebas. Yang penting asal nongol aja di kantor tiap hari. Tugasmu bisa dikerjakan di kantor, bisa juga di rumah. Nanti deh tugasmu akan kujelaskan secara terperinci. Yang penting kamu punya tekad kuat untuk mengembangkan perusahaan. Lalu bekerjalah secara jujur dan ulet.

“Iya Bu. Terima kasih. “
“Kurangi kecepatannya Wan. Sebentar lagi harus belok ke kiri. “
“Iya Bu,” sahutku sambil mengurangi kecepatan mobil yang sedang kukemudikan ini.

“Nah sekarang belok ke kiri di depan itu,” kata Bu Laila sambil menunjuk ke mulut jalan yang agak kecil.

Sedan yang kukemudikan sudah memasuki jalan yang agak kecil, menuju villa Bu Laila yang letaknya agak tersembunyi, tapi dijaga oleh seorang lelaki berseragam security.

Villa Bu Laila itu kelihatan biasa - biasa saja kalau dilihat dari luar. Tapi setelah masuk ke dalamnya, wah, betapa megahnya villa bossku ini.

Namun aku tak sempat berlama - lama menyaksikan kemegahan villa itu, karena Bu Laila langsung menarik pergelangan tanganku. Lalu merengkuh leherku ke dalam pelukannya, disusul dengan ciumannya yang bertubi - tubi, yang akhirnya kusambut dengan lumatan bergairah sambil mendekap pinggangnya.

Ciuman sambil berdiri berhadapan ini jelas menaikkan tensi birahiku. Karena aku masih berdarah muda.

Dan tampaknya Bu Laila pun menikmatinya. Ia menanggalkan melepaskan behanya dari balik kemeja tangan panjangnya, lalu duduk di sofa dalam keadaan kemeja yang sudah terbuka kancingnya, sehingga sepasang toketnya tampak jelas di mataku.

“Buka juga dong pakaianmu,” kata Bu Laila ketika aku masih berdiri canggung di depan sofa yang diduduki oleh bossku itu.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Sambil melepaskan segala yang melekat ditubuhku, kecuali celana dalam yang kubiarkan tetap berada di tempatnya. Lalu aku menghampiri Bu Laila dan duduk di sampingnya.

“Coba kamu tebak berapa usiaku sekarang?” tanyanya.

Aku tahu bahwa wanita paling senang kalau dianggap lebih muda dari usia sebenarnya. Karena itu aku menjawab, “Masih di bawah duapuluhlima tahun, Bu. “

“Memangnya aku kelihatan semuda itu? Usiaku sudah tigapuluhdua tahun Wan. “

“Masa sih Bu? Kelihatannya seperti belum duapuluhlima. “

Sepasang mata Bu Laila menatapku dengan senum manis di bibirnya, sambil menyangga sepasang payudaranya yang masih tampak kencang dan… hmmm… ingin aku menjamahnya, tapi belum berani.

“Kalau melihat toketku ini memang gak kalah sama cewek duapuluhlima tahunan. Karena aku belum pernah melahirkan,” ucapnya sambil menyodorkan sepasang toketnya ke depanku, “Mau pegang? Peganglah… jangan canggung dan takut - takut gitu. Mulai sekarang kita kan saling memiliki. Kamu menjadi punyaku dan aku menjadi punyamu…

Tentu saja aku senang sekali diminta untuk menjamah toket bossku yang berukuran medium tapi tampak masih kencang. Bahkan dengan penuh semangat kuciumi pentil toket kirinya sambil memegang toket kanannya dan meremasnya perlahan - lahan.

Pada saat yang sama Bu Laila pun menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Lalu memegang batang kemaluanku yang sudah mulai tegang ini.

Lalu aku lupa segalanya. Tahu - tahu Bu Laila sudah telanjang bulat, sementara celana dalamku pun sudah dilepaskan oleh bossku yang cantik dan bertubuh sangat mulus ini.

Dan seperti tidak kuat lagi menahan kepenasaranannya pada penisku, Bu Laila langsung membenamkan wajahnya diantara sepasang pahaku, lalu mengulum penisku yang sudah tegang ini, sementara tanganku ditariknya agar memainkan kemaluannya. Tentu saja aku dengan senang hati melakukan keinginannya. Bahwa ketika ia sedang mengulum dan menyeloimoti penisku, tanganku pun mulai merambah kemaluannya.

Namun karena Bu Laila itu bossku, aku menunggu instruksinya dulu. Biarlah dia menyelomoti penisku sambil mengurut - urutnya dengan begitu binalnya. Meski aku harus menahan - nahan nafasku karena permainan oralnya memang enak sekali.

Cukup lama Bu Laila menyelomoti sambil mengurut - urut penisku, sampai akhirnya dia mengajakku pindah ke atas bed bertilamkan kain seprai putih bersih itu.

Aku menurut saja. Mengikuti langkah Bu Laila menuju bednya. Di situlah ia menelentang sambil mengusap - usap permukaan kemaluannya yang licin, tiada jembutnya sehelai pun.

Aku pun merangkak ke antara sepasang paha putih mulus yang sudah mengangkang itu.

“Mau jilatin memekku?” tanyanya.
“Iya Bu. “
“Kamu sering nonton bokep kali ya?”

“Nonton bokep sih sering. Tapi menyentuh kemaluan wanita baru sekali ini Bu, “dustaku untuk kesekian kalinya terlontar dari mulutku.

Namun sepertinya Bu Laila tidak memperhatikan hal kecil itu. Ketika aku mulai menjilati bagian pink yang ternganga itu, dia mengelus - elus rambutku sambil berkata, “Jilatinlah sepuasmu. “

Lalu aku mulai menjilati memek Bu Laila dengan lahapnya.

Bu Laila pun menggeliat - geliat sambil meremas - remas rambutku. BVahkan pada suatu saat jarinya menyentuh kelentitnya sambil berkata, “Ini itilnya… jilatin juga Wan. “

Aku memang sedang pura - pura bodoh. Maka setelah mendengar instruksi, barulah kujilati kelentit Bu Laila dengan lahap sekali. Bahkan terkadang kusertai dengan isapan - isapan, sehingga Bu Laila terkejang - kejang dibuatnya.

Bahkan pada sjuatu saat terdengar suara Bu Laila agak serak, “Sudah Wan… masukkan aja kontolmu. Aku udah pengen ngerasain enaknya dientot sama kontol sepanjang dan segede itu. “

Aku pun menjauhkan mulutku dari kemaluan Bu Laila. Lalu merayap ke atas perutnya sambil memegang penisku yang sudah ngaceng berat ini.

Bu Laila pun memegangi leher penisku sambil mencolek - colekkan moncongnya ke mulut vaginanya. Mungkin ia sedang mengarahkan agar arahnya ngepas.

Sampai akhirnya ia berkata, “Ayo… doronglah… “

Lalu kudorong penisku dengan sekuat tenaga. Blessssss… batang kemaluanku membenam separohnya ke dalam liang memek Bu Laila. Disambut dengan rengkuhan Bu Laila di leherku, sehingga dadaku terhempas ke atas sepasang toket yhang masih terfasa kencang itu.

“Kamju nyangka bakal bisa beginian denganku?” tanyanya setengah berbisik.

“Bermimpi pun tidak kalau Ibu yang begini cantik dan mulusnya bakal bisa dibeginiin Bu. Mungkin malaikat sengaja mengirim Ibu sebagai bidadari saya di kemudian hari. “

Bu Laila mencium sepasang pipiku sambil berbisik, “Aku juga gak nyangka bakal mendapatkan dewa asmara bernama Wawan Darmawan ini… hmmm… aku memang sudah lama jatuh hati padamu… ayo entotin, jangan direndem terus… nanti keburu jadi ager. Hihihihiii… “

Sesuai dengan instruksi Bu Boss, aku mulai mengayun penisku di dalam liang memek Bu Laila. Dan wanita 32 tahunan itu menanggapinya dengan bermacam - macam cara. terkadang kedua kakinya melingkari pinggangku, terkada mengangkang lebar, terkadang kedua kakiinya berada di atas sepasang bahuku, sehingga aku harus mengentotnya sambil menahan kedua tubuhku yang terangkat.

Namun yang jelas aku merasakan sesuatu yang berbeda pada waktu menyetubuhi Bu Laila ini. Bahwa menyetubuhi wanita cantik dan tajir melilit ini membuatku sangat bergairah. Membuatku terlupa segalanya. Aku pun berusaha memuasinya, agar dia sangat terkesan olehku.



Posting Komentar untuk "Ibuku Tunanetra ( Bagian 2 )"