Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kontak Maulidya Rina

Fantasi Hayalan Sedarah Yang Jadi Kenyataan ( Bagian 3 )


Setelah mengambil dua buah bantal dan meletakkannya di atas permadani, Bu Tiwi menelentang di atas permadani dengan kedua bantal itu sebagai penyangga kepalanya.

Meski Bu Tiwi tidak telanjang bulat, dengan gaun dalam ungu dikumpulkan di atas perutnya, namun baik memek mau pun toketnya dengan mudah bisa kusentuh.

Bu Tiwi memang sangat reaktif. Ketika aku mendekatkan wajahku ke memeknya, kedua kakinya langsung mengangkang. Sehingga dengan penuh gairah mulutku langsung nyungsep di permukaan memek tanpa jembut itu.

Aku mulai menjilati memek Bu Tiwi dengan lahapnya. Sepasang paha dosenku pun mulai terasa bergetar - getar, sementara kedua tangannya mulai memegang kepalaku. meremas rambutku dan terkadang meremas bahuku.

“Oooo… ooooohhhh… Chepiii… ooooohhhhh… kamu sudah pandai sekali jilatin memek Chep… ini pertama kalinya memekku disentuh lagi oleh cowok… ooooh… Chepiiii… kamu pandai sekaliiii…”

Terlebih lagi setelah aku fokus untuk menjilati kelentitnya yang mudah ditemukan, karena di dalam kamar Bu Tiwi ini lampunya cukup terang. Bu Tiwi pun mulai menggeliat - geliat dan mendesah - desah, “Chepppiiiii… aaaahhhh… Chepiiii… aaaaaahhhh… aaaaah… enak sekali Cheeeep… jilatin terus clitorisku Cheeeeep …

Tapi beberapa menit kemudian Bu Tiwi memegang kepalaku sambil berkata terengah, “Udah Chep… cukuppp… aaaah… jangan lanjut sampai orgasme. Nanti vaginaku jadi gak enak buat kamu. Masukin aja penismu Chep…”

Aku pun menjauhkan mulutku dari memek Bu Tiwi. Kemudian meletakkan moncong kontolku tepat di ambang mulut memek Bu Tiwi.

Dan berkat jam terbangku sudah cukup tinggi, tanpa kesulitan kontolku membenam dengan santainya ke dalam liang memek Bu Tiwi. Blesssskkkkkkk…

“Adududuuuuuhhh… langsung dimasukin semuanya… “rintih Bu Tiwi sambil melingkarkan lengannya di leherku. Lalu memagut bibirku ke dalam ciuman dan lumatannya.

Pada saat yang sama aku mulai mengayun kontol ngacengku di dalam liang memek dosenku yang kenyhal - kenyal legit ini.

Setelah ciuman dan lumatan Bu Tiwi terlepas, mulutku mulai beraksi untuk mengemut dan menjilati pentil toket kirinya, sementara tangan kananku meremas - remas toket kanannya. Sementara entotanku mulai agak dipercepat. Dan moncong kontolku terus - terusan menyundul dasar liang sanggama Bu Tiwi. Membuat sepasang mata indah Bu Tiwi kadang terpejam kadang melotot.

Ketika mulutku berpindah sasaran, untuk menjilati leher Bu Tiwi yang mulai keringatan, diiringi dengan gigitan gigitan kecil, sementara tangan kiriku tiada hentinya meremas - remas toket kanan Bu Tiwi yang belum kendor. Bu Tiwi pun semakin merintih dan merengek histeris :Cheeepiiii… aaaaah… semua yang kamu sentuh…

Selalu menggetarkan batinku Cheeeep… ayo entot terus Cheeeep… aku benar - benar seolah sedang melayang - layang saking nikmatnya Cheeepiiii… aaaaaahhhh… aaaaaaaaahhhh… hhhhhhhhh… uuuuuuu… uuuuuhhhh… aaaaaah… aaaaa… ooooooohhhhh… entooot teruuuuus Chepppiiii… entooot teruuuus…

Cukup lama aku mengentot dosenku, sehingga keringatku mulai menetes - netes ke dada dan leher Bu Tiwi, bercampur aduk dengan keringatnya sendiri.

Tapi aku tak peduli hal kecil itu. Kami hanya peduli pada satu hal, bahwa gesekan antara kontolku dengan dinding liang memek Bu Tiwi luar biasa nikmatnya. Nikmat yang sulit dilukiskan dengan kata - kata belaka.

Sampai pada suatu saat, Bu Tiwi merengek, seperti yang panik, “Chepiii… ooooohhhh… aku udah mau orgasme Cheeep…”

“Lepasin aja Bu. Aku paling suka ikut menikmati wanita yang sedang orgasme,” sahutku, disusul dengan percepatan entotanku.

Kontolku maju mundur dan maju mundur terus dalam kecepatan tinggi. Sementara Bu Tiwi mulai berkelojotan. Sampai akhirnya dosenku yang seksi itu mengejang tegang dengan perut sedikit terangkat ke atas.

Pada saat itulah kutancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai terasa mentok di dasar liang memek Bu Tiwi.

Lalu terjadilah sesuatu yang sangat indah buat batinku. Bahwa liang memek Bu Tiwi mengedut - ngedut kencang, disusul dengan gerakan spiral yang seolah sedang meremas kontolku… disusul lagi dengan membanjirnya lendir di dalam liang sanggama dosenku yang kelihatan alim tapi ternyata cukup atraktif itu.

Lalu terdengar suara Bu Tiwi, “Ooooohhhh… luar biasa nikmatnya Chep. Sejak menjadi janda sekian tahun yang lalu, baru kali inilah merasakan sentuhan laki - laki yang luar biasa pula. Terima kasih Chepi ya. Semoga kamu jangan bosan menggauliku nanti.”

“Memek Ibu juga luar biasa legitnya,” sahutku.

“Tapi kamu belum ejakulasi kan?”

“Belum Bu.”

“Kalau gitu, ayo lanjutin mainnya. Atau Chepi mau ganti posisi?”

“Boleh. Mau posisi gimana?”

“Doggy mau?”

“Mau… mau… !” sahutku spontan. Sambil menarik kontolku sampai lepas dari liang sanggama Bu Tiwi.

Bu Tiwi pun merangkak, lalu menunggingkan pantatnya. Sehingga kemaluannya tampak penuh kalau dilihat dari belakangnya.

Aku pun berlutut sambil menghadap ke bokong yang ditunggingkan itu. Kemudian kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Bu Tiwi dengan mudahnya. Karena liang memek dosenku itu masih sangat becek.

Setelah kontolku masuk sepenuhnya, kutepuk - tepuk pantat Bu Tiwi yang lumayan gede itu, sambil mulai mengayun kontolku.

Sambil memeluk kedua bantal itu Bu Tiwi bersuara lagi, “Ooooh… begini juga enak Chep… oooohhhh… aaaaah… aaaa… aaaaaah… hhhhh… hhhhh…”

Dalam posisi berlutut mengentot Bu Tiwi ini, aku masih bisa menjulurkan kedua tanganku, untuk meremas sepasang toket yang bergelantungan itu. Terkadang juga aku bisa menepuk - nepuk sepasang buah pantat gede ini. Plaaaak… ploloook… plaaaak… ploooook… plaaaaakkkkk…

Bahkan pada suatu saat aku bisa mencari - cari kelentit Bu Tiwi dengan kedua tanganku. Sampai akhirnya kutemukan. Dan mulai kugesek - gesek dengan jemari tanganku, sambil mempergencar entotanku.

Semua ini cukup lama kulakukan.

Sehingga pada suatu saat Bu Tiwi ambruk tengkurap, sehingga kontolku terlepas dari liang memeknya.

Kubalikkan tubuh lunglai dosenku sampai celentang lagi. “Kenapa Bu? Orgasme lagi ya?” tanyaku.

“Iya Chep… penismu terlalu dahsyat. Membuatku orgasme lagi. Lanjutkan dalam posisi biasa aja ya.”

“Iya Bu…” sahutku sambil membenamkan lagi batang kejantananku ke dalam liang kewanitaan Bu Tiwi. Blesssss… melesak amblas dengan mudahnya ke dalam liang yang sudah becek itu.

Bu Tiwi kelihatannya sudah kepayahan. Karena itu aku pun tak mau menyuksanya lebih lama lagi. Maka aku pun mulai mengayun kmontolku dalam gerakan yang sangat cepat. Belasan menit kemudian aku pun bertanya terengah, “Le… lepasin di ma… mana Bu?”

“Sudah mau ejakulasi? Di dalam aja, gak apa - apa. Aman,” sahutnya sambil berusaha menggoyang pinggulnya, untuk menyambut datangnya ejakulasiku.

Sampai pada suatu detik, kutancapkan kontolku sedalam mungkin di dalam liang memek yang sudah becek itu. Lalu batang kemaluanku mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Croootttt… crooottt… crotcrottt… croooottttttttt… croooootttttttt…!

Aku pun terkapar di atas perut dosenku.

Dengan tulang - tulang serasa dilolosi.

Bu Tiwi pun mencium bibirku. Lalu berbisik, “Barusan aku orgasme lagi… bareng - bareng denganmu Chep…”

Dosenku yang nama lengkapnya Pratiwi itu, yang tiap hari mengenakan jubah dan hijab itu, ternyata seolah macan betina yang kelaparan. Sekalinya mendapatkan mangsa, diterkam dan dilahapnya habis - habisan.

Aku seolah dikuras olehnya, sampai tidak tersisa lagi tenaga, karena malam itu saja aku sampai tiga kali menyetubuhinya. Keesokan paginya aku diajak main ke kampungnya yang letaknya sekitar 60 kilometer dari kotaku. Kebetulan hari itu aku tidak ada kuliah. Bu Tiwi pun tidak ada jadwal mengajar. Sehingga kami bebas untuk “refreshing” ke kota kelahiran Bu Tiwi.

Di kota yang sangat bersih dan rumahnya bagus - bagus itu ternyata rumah Bu Tiwi besar dan punya lahan luas di sekitarnya. Ada sawah, kebun. kolam ikan dan sebagainya. Di kebun buah - buahan itulah Bu Tiwi mengajakku bersetubuh, untuk mewujudkan obsesinya… ingin merasaskan disetubuhi di alam terbuka (outdoor sex).

Ternyata Bu Tiwi tidak mengenakan celana dalam, sehingga begitu baju jubahnya disingkapkan ke perutnya, sambil merebahkan diri di bangku yang terbuat dari balok -balok kayu… aku pun leluasa untuk menyentuh dan menggerayangi memek gundulnya.

Setelah puas menjilati memek Bu Tiwi, aku pun menurunkan celana panjang dan celana dalamku sampai ke lutut. Kemudian membenamkan kontol ngacengku ke dalam liang memek Bu Tiwi.

Ya, kami tidak telanjang. Tapi kami bisa bersetubuh di kebun buah - buahan yang lengang dan sejuk itu. Ditemani oleh kicau burung liar di atas pepohonan dan semilir angin yang menggoyang - goyangkan dedaunan.

“Bu… memek Ibu memang luar biasa legitnya…” bisikku ketika kontolku sudah mulai mengentot liang memek dosenku.

“Kontolmu juga luar biasa gede dan panjangnya. Makanya aku jadi ketagihan Chep,” sahut Bu Tiwi sambil merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu dipagutnya bibirku ke dalam ciuman dan lumatannya yang lahap sekali.

Lalu kuentot Bu Tiwi habis - habisan. Tentu saja durasi ngentotku lama sekali. Karena tadi malam sudah habis - habisan mengentot dosenku yang ternyata laksana macan betina kelaparan ini. Karena itu, meski Bu Tiwi sudah orgasme tiga kali, aku masih kokoh, masih jauh dari ngecrot.

Maka Bu Tiwi mengajakku untuk melanjutkan persetubuhan ini di dalam rumahnya yang besar sekali itu.

Aku setuju - setuju saja untuk merehatkan dulu persetubuhan di kebun buah - buahan itu, kemudian melanjujtkannya di rumah Bu Tiwi, di dalam kamarnya yang perlengkapannya serba mentereng itu.

Sungguh sangat berbeda keadaan di rumah Bu Tiwi yang di kotaku kalau dibandingkan dengan rumah di kampung halaman Bu Tiwi ini. Di sini segalanya serba mahal dan antik. Sementara di daerah selatan kotaku, rumah Bu Tiwi hanya ditilami permadani di ruang tengahnya. Tidak ada meja mau pun kursi di situ.

Begitulah… setelah kenyang dan puas menyetubuhi Bu Tiwi, kami makan bersama. Dengan goreng ikan mas besar - besar, hasil menjaring dari kolam milik Bu Tiwi.

Kemudian aku pamitan, mau pulang ke kotaku.

Waktu mau meninggalkan rumah besar itu, Bu Tiwi memegang kedua pergelangan tanganku sambil berkata, “Jangan bosan sama aku ya Chep. Soalnya aku akan selalu membutuhkanmu. Kalau kamu tertarik, aku akan menjodohkanmu dengan Keyla. Supaya hubungan rahasia kita akan terjalin terus sampai aku tua renta kelak.

“Santai aja Bu. Kalau calon istri, aku sudah punya,” sahutku sambil mencolek bibir sensual Bu Tiwi, “Sedangkan hubungan rahasia kita semoga tetap terjalin dengan penuh kehangatan. Karena aku tak mau hypokrit. Aku pun sangat membutuhkan Ibu, baik di dalam mau pun di luar kampus.”

Bu Tiwi menyahut setengah berbisik, “Di kampus aku akan mendukungmu. Tapi di luar kampus, kamu yang harus mendukung hasrat birahiku, Chep.”

“Siap Bu,” ucapku sambil cipika - cipiki dengannya. Tentu saja aku senang mendengar ucapan Bu Tiwi itu. Karena dia sudah S3 dan punya jabatan di kampusku. Berbeda dengan Bu Shanti yang hanya dosen biaqsa, tiada jabatan apa - apa di rektorat.

Lalu dengan penuh semangat aku meninggalkan kota kecil yang telah menggoreskan kenangan indah itu.

Begitulah aku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku.

Satu hal yang membuatku heran sendiri adalah, bahwa perempuan - perempuan yang hadir dalam kehidupanku, lebih banyak MILF daripada cewek sebayaku. Tapi aku tak mau mempersoalkan masalah itu. Yang penting aku happy, pasangan - pasangan seksualku pun happy.

Hari demi hari pun berputar dengan cepatnya.

Sampai pada suatu hari, datang lagi kisah baru di dalam kehidupanku…

Sebenarnya saat itu habis mengganti oli di bengkel mobil yang ditunjuk oleh dealer. Pulang dari bengkel besar itu tanpa disengaja aku melewati jalan ke rumah Nike. Dan aku menginjak rem ketika mau melewati rumah itu, kemudian menghentikan mobilku di bahu jalan, tepat di depan rumah Nike.

Saat itu tujuanku cuma satu. Ingin melihat seperti apa renovasi kamar Nike dengan dibiayai oleh cek yang sudah kuhadiahkan padanya itu. Maka aku turun dari mobil dan berharap ada orang di rumah Nike. Saat itu aku hanya mengenakan baju kaus dan celana pendek serba putih. Tanpa celana dalam di balik celana pendek putih yang elastis di bagian atasnya.

Ternyata Tante Esther (nama mamanya Nike) sendiri yang membuka pintu depan. “Yeee… ada Boss datang nih…” ucapnya ketika aku sudah masuk ke dalam rumahnya.

Dengan sopan kucium tangan kanannya, sebagaimana lazimnya bersikap terhadap calon mertua. Tapi setelah kucium tangannya, Tante Esther memeluk leherku dan mencium sepasang pipiku. Spontan aku pun memeluknya sambil mengusap - usap punggungnya.

Inilah gokilnya aku. Bahwa ketika memeluk mamanya Nike itu, aku merasa nyaman sekali bisa memeluk wanita setengah baya yang cantik dan bertubuh tinggi montok itu. Sehingga aku enggan untuk melepaskan kembali pelukanku.

Mata Tante Esther yang blasteran Jerman - Tionghoa itu menatapku dengan sorot lain dari biasanya. Bahkan bibirnya terbuka dan bergetar, seolah ingin dicium olehku. Ini membuatku degdegan. Aku ingin mencium bibir sensualnya, tapi tidak berani. Yang bisa kulakukan hanyalah mendekatkan bibirku ke bibirnya, dengan mata terpejam.

Pada saat itulah terjadi sedsuatu yang tak kuduga sebelumnya. Tante Esther memagut bibirku ke dalam ciumannya, yang lalu berkembang menjadi saling lumat. Aku pun mempererat pelukanku sambil meremas - remas punggung di daerah tulang belikatnya.

“Aku ingin melihat seperti apa kamar Nike yang katanya ingin direnovasi itu Tante,” kataku yang masih tetap berdiri di ruang tamu. Dengan pinggang dilingkari oleh lengan wanita tinggi montok berwajah kebule - bulean itu.

“Bukan hanya kamar Nike. Kamarku dan kamar Niko juga direnovasi semua tuh. Ayo kalau mau lihat…” sahut Tante Esther sambil mengajak ke bagian tengah rumah itu, dengan lkengan masih melingkari pinggangku. Tapi kubiarkan saja, sambil berpikir mungkin itu kebiasaan orang bule yang terikuti olehnya.

“Nah… ini kamar Nike…” kata Tante Esther sambil membuka pintu kamar pertama.

Aku pun melongok ke dalam kamar Nike. Memang sudah berubah drastis. Jadi cukup modern dan lengkap dengan kamar mandi yang bersatu dengan kamar itu.

Kemudian Tante Esther membuka pintu kamar kedua, “Nah ini kamar Niko, sudah selesai direnovasi juga kan?”

“Iya. Jadi sangat berubah,” sahutku, sambil mengenang masa laluku yang sering tiduran di kamar Niko ini. Tapi sekarang sudah berubah drastis.

“Tapi sayang, Niko dipindahkan ke Jakarta. Baru tadi subuh dia berangkat ke Jakarta.”

“Ohya?! Kok Nike gak bilang - bilang?”

“Mungkin Nike belum tahu. Karena perintahnya mendadak sekali. Kemaren sore diberitahu akan dimutasi ke Jakarta, tadi subuh sudah dijemput oleh bus perusahaan yang akan membawanya ke Jakarta. Ohya… kamarku juga sudah selesai direnovasi. Ayo lihat sana,” kata Tante Esther sambil mengajakku menuju pintu ketiga, yang berhadapan dengan ruang makan.

Di dalam kamar Tante Esther, mamanya Nike itu memelukku dari belakang, “Kami semua harus berterimakasih padamu Chep. Berkat kebaikanmu, kamarku dan kamare Niko juga ikut berubah drastis.”

Aku jadi salah tingkah. Sudah jelas perlakuan Tante Esther padaku sudah lebih dari semestinya. Lalu apakah aku akan mengalami hal yang sama seperti Bu Shanti dan Mama Aleta?

Entahlah. Yang jelas aku ini lelaki muda belia yang normal. Lengkap dengan darah mudaku. Sehingga diam - diam “si Jhoni” mulai bangun di balik celana pendek putihku.

Kamar Tante Esther memang sudah berubah drastis. Sudah ada kamar mandinya sendiri. Ada bed dan satu set sofa yang masih baru. Meja riasnya pun tampak masih baru.

Maka aku pun duduk di sofa baru berwarna coklat tua itu.

Tante Esther pun duduk merapat di samping kiriku. “Aku hanya bisa bilang terimakasih sama Chepi. Karena kami tak mungkin bisa membalas kebaikan Chepi.”

“Gak usah dipikirkan soal itu sih. Kan aku serius akan menjadikan Nike sebagai calon istriku Tante.”

“Mmm… selama ini Chepi dan Nike sudah jauh berhubungannya?”

“Maksud Tante jauh gimana?”

“Yah… aku juga maklum anak muda jaman sekarang kan banyak sekali yang pacaran tapi melakukan sesuatu yang seharusnya cuma boleh dilakukan setelah menjadi pasangan suami istri.”

“Ma.. maksud pertanyaan Tante tadi, apakah aku dan Nike pernah melakukan hubungan seks begitu?”

“Yaaa… begitulah kira - kira.”

“Tante… aku dengan Nike hanya sebatas cium pipi doang. Ciuman bibir pun belum pernah. Boleh Tante tanyakan sendiri kepada Nike nanti. Karena aku baru akan melakukan semuanya setelah Nike resmi menjadi istriku.”

“Nike juga pernah mengaku seperti itu. Tapi aku belum percaya sebelum mendengar pengakuan Chepi. Syukurlah… sebaiknya memang begitu. Jangan melakukan sesuatu yang bakal menjadi beban fisik dan mental di tengah perjalanan menuju hubungan yang paling sakral kelak.”

“Iya Tante.”

“Jadi kalian ciuman bibir pun belum pernah?”

“Belum Tante.”

“Malah barusan kiuta ciuman bibir ya.”

“Iya Tante. Maaf aku jadi lancang tadi.”

“Gak apa - apa. Tadi kan aku yang duluan mencium bibirmu. Ohya, kamu cowok normal kan?”

“Maksud Tante normal dalam hal apanya?”

“Waktu berdekatan dengan Nike, apakah kamu sama sekali tidak digoda oleh hasrat birahi?”

“Tentu aja nafsu sih ada Tante.”

“Lantas kalau sudah nafsu begitu, diapain?”

“Masuk aja ke kamar mandi. Lalu ngocok di situ. Heheheee…”

“Aduuuh kasian calon mantuku ini… “Tante Esther mengusap - usap tanganku yang sedang dipegang pergelangannya, “daripada dikocok mending dimainkan ke sini nih. “Tante Esther yang saat itu mengenakan daster putih, menarik tanganku ke balik dasternya. Dan diselinapkan ke balik celana dalamnya, sehingga aku merasa menyentuh memek berjembut tipis…

Spontan aku bereaksi, dengan menggerak - gerakkan jemariku di celah yang terasa agak basah, licin dan hangat.

Tante Esther malah mengecup bibirku dengan hangat, lalu menyhelkinapkan tangannya lewat lingkaran elastis di perut celana pendekku. Dan langsung memegang kontolku yang sudah mulai ngaceng ini…!

“Wow… kalau diibaratkan senjata, kontol Chepi ini bazoka, bukan cuma pistol…!” ucap Tante Esther sambil meremas kontolku dengan lembut.

Sementara aku pun semakin asyik menggerayangi memeknya yang sudah mulai basah. Tapi aku tetap ingat bahwa Tante Esther itu mamanya Nike. Sedangkan aku sudah telanjur mencintai Nike.

Maka cetusku, “Tante… ini gak apa - apa?”

“Nggak apa - apa. Ini kan wujud terimakasihku padamu Chep. Selain daripada itu, aku sudah terlalu lama tidak merasakan nikmatnya digauli lawan jenisku. Sehingga aku pun merindukan sentuhan lelaki yang sebenarnya.”

“Maksudku, apakah nanti takkan merusak hubunganku dengan Nike?“

“Nggak lah. Asalkan Nike jangan sampai tau. Sekarang kan Nike sedang di kantor. Niko juga sudah di Jakarta. Jadi hanya kita berdua yang berada di rumah ini.”

“Iya Tante. Aku juga sudah sangat terangsang nih…”

“Kamu mau lihat aku telanjang bulat?” tanya Tante Esther sambil berdiri dan bertolak pinggang di depanku.

“Ma… mau Tante…” sahutku dengan jiwa mulai dikuasai nafsu.

“Tunggu sebentar ya. Pintu depan harus dikunci dulu,” ucap Tante Esther sambil bergegas keluar dari kamarnya.

Tak lama kemudian dia muncul dan masuk lagi ke dalam kamar. Lalu menutup dan menguncikan pintu kamar.

Kemudian ia melepaskan daster putihnya. Ternyata di balik daster itu ia mengenakan baju kaus dan celana dalam yang sama - sama putih, dengan pinggiran merah.

Ia pun naik ke atas sofa yang berhadapan dengan sofaku. Di atas sofa itulah ia berlutut sambil menarik baju kausnya ke atas, sampai sepasang toket gedenya terbuka berikut sepasang pentil toketnya yang menggemaskan, ingin mengulum dan menjilatinya. Tak cuma itu, ia pun menurunkan celana dalamnya sampai kelihatan memeknya yang berjembut tipis dan menggiurkan itu.

Aku cuma terlongong menyaksikan semua itu. Terlebih lagi setelah Tante Esther melepaskan baju kaus dan celana dalamnya, sehingga tubuh tinggi montoknya jadi telanjang bulat.

Wow… tadinya kupikir Bu Tiwi itu sosok yang paling seksi dan menggiurkan. Ternyata Tante Esther lebih seksi dan lebih menggiurkan lagi…!

Aku pun seperti ditarik oleh daya magnetis, melangkah ke arah sofa yang sedang dibuat “pameran body” oleh Tante Esther itu.

“Bagaimana? Apakah aku masih menarik bagimu Chepi?”

“Tante sangat sangat dan sangat seksi. Sangat menggiurkan… !” sahutku sambil merangkul bokong Tante Esther yang masih berlutut di sofa itu. Lalu kuangkat tubuh tinggi montok berkulit putih mulus itu.

Tante Esther menunjuk ke arah bednya. Sebagai isyarat bahwa ia ingin dibawa ke sana. Dengan memeluk bokongnya, kuangkat tubuh tinggi montok berkulit putih mulus itu ke atas bednya.

Setelah merebahkan Tante Esther di atas bed, aku bertanya, “Tante… boleh aku menjilati memek Tante?”

“Jilatilah sepuasmu. Tapi kamu juga harus telanjang dulu Chep,” sahut Tante Esther.

Tanpa buang - buang waktu kulepaskan baju kaus dan celana pendekku. Setelah sama - sama telanjang aku pun bergerak ke antara sepasang paha putih mulus Tante Esther yang sudah direnggangkan lebar - lebar itu.

Kuamati memek mamanya Nike ini sejenak. Jembutnya tipis sekali sehingga takkan mempersulit aksiku untuk menjilatinya.

Lalu aku pun mendekatkan mulutku ke memek berjembut tipis itu. Dan mulai menjilati celah memeknya yang bagian dalamnya kelihatan berwarna pink itu.

Yang menyenangkan adalah daerah di sekitar memek Tante Esther ini tercium harum sekali. Sehingga aku sangat bersemangat untuk menjilatinya.

Tak sulit p;ula untuk mencari kelentitnya. Padahal ada juga perempuan yang kelentitnya bersembunyi terus sehingga mempersulit untuk mencarinya.

Tapi kelentit Tante Esther ini mudah sekali mencarinya. Sehingga aku tak hanya fokus menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu, tapi juga mulai gencar menjilati kelentitnya.

Karuan saja Tante Esther mulai mendesah - desah sambil menggeliat - geliat. “Aaaaaah… Chepiii… aaaaaah… Cheeeeepiiii… kamu pandai sekali menjilati kemaluanku Cheeeep… aaaaah… iyaaaaa. clitorisnya itu jilatin terus Cheeep… enak sekali Chepiiii… aaaaa… aaaaaaah… aaaaa…

Aku tak cuma menjilati kelentitnya, melainkan juga menyedot - nyedot dengan agak kuat. Sehingga kelentit Tante Esther jadi “mancung”, menonjol ke depan.

Namun tak lama kemudian aku menghentikan jilatan dan isapanku. Lalu merayap ke atas perut Tante Esther sambil memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini.

Tante Esther pun ikut memegangi leher kontolku sambil mencolek - colekkan moncongnya sambil agak menekan, supaya moncongnya masuk ke dalam mulut memeknya.

Aku pun mengikuti isyaratnya. Dengan sekuat tenaga kudorong kontol ngacengku. Dan… melesak masuk sedikit demi sedikit sampai hampir separuhnya yang sudah terbenam.

Tante Esther pun merengkuh leherku ke dalam pelukannya sambil berkata setengah berbisik, “Belalai gajahmu gede banget. Sampai sulit masuknya gini.”

“Mungkin liang memek Tante yang sempit sekali. Padahal tadi sudah basah sekali rasanya,” sahutku sambil mulai mengayun kontolku perlahan - lahan, meeski baru masuk setengahnya.

Dengan cara seperti ini liang memek Tante Esther mulai beradaptasi dengan ukuran kontolku. Sehingga ketikja aku mendorong kontolku, makin lama makin dalam masuknya. Dan akhirnya terasa moncong kontolku mampu menabrak dasar liang memek Tante Esther.

“Uuuuughhhhh… sampai nyundul dasar liang memekku Chep… luar biasa panjangnya ular cobramu ini…” ucap Tante Esther sambil menciumi pipiku.

Aku tidak menyahut, karena mulai asyik memainkan sepasang toket Tante Esther yang sangat bagus bentuknya. Toket yang gede dan empuk, tapi belum kendor.

“Aku menyerahkan semuanya ini, saking sayangnya perasaanku padamu… sekaligus sebagai tanda terima kasih,” ucap Tante Esther ketika entotanku masih lamban ayunannya.

“Iya Tante. Tubuh Tante ini jauh lebih berharga bagiku. Walau pun aku sudah menikah dengan Nike, aku ingin agar kita tetap bisa melakukannya tanpa sepetahuan Nike.”

“Memangnya memekku masih enak Chep?”

“Sangat enak sekali Tante… gak nyangka kalau aku bisa merasakan kenikmatan di tubuh Tante ini…”

“Kalau sudah nikah dengan Nike, kita kan bisa ketemuan di tempat yang Chepi tentukan nanti. Kalau belum nikah, kan Chepi bisa datang ke sini di jam kerja. Pada saat Nike sedang bekerja di kantor.”

“Iya Tante. Aku akan sering datang tanpa sepengetahuan Nike nanti, khusus buat ngentot memek Tante yang luar biasa enaknya ini.”

Obrolan itu lalu terputus karena aku mulai mempercepat entotanku dalam irama standard. Sementara Tante Esther pun mulai sibuk mendesah dan merintih, sambil menggoyangkan pinggulnya. Tapi goyangannya bukan memutar dan meliuk - liuk, melainkan menyerupai gerakan ombak yang sedang bergulung - gulung menuju pantai.

Aku pun semakin bergairah mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Tante Esther yang luar biasa enaknya ini.

Rintihan - rintihan histeris Tante Esther pun terdengar sangat erotis di telingaku. “Aaaaahhhh… Chepiii… aaaaah… aaaaaaaah… ini luar biasa enaknya Cheeeepiiii… luaaaar biasaaaaa… terasa nsekali gesekan kontolmu ini… aaaaah… aaaah… aaaah… entot terus Cheeeepiiii… iyaaaaa…

“Aku juga uuuuuughhhh… aku juga akan menyayangi Tante… uuuugh… sebagai ibu mertua yang baik hati…” sahutku tersendat - sendat, karena entotanku tidak kulambatkan.

Mungkin akibat dari goyangan pinggul Tante Esther yang membuat kelentitnya terus - terusan bergesekan dengan kontol ngacengku, belasan menit kemudian ibunya Nike itu mulai berkelojotan, dengan nafas terengah - engah. Lalu ia mengejang tegang dengan nafas tertahan dan mata terpejam dan mulut menyeringai.

“Oooooo… ooooh… aku sudah orgasme Cheeeep…” ucap Tante Esther yang sudah melepaskan nafasnya kembali, dengan tubuh lemas lunglai.

“Aku paling suka ikut menikmati wanita sedang orgasme seperti barusan,” sahutku.

Tante Esther mencium bibirku, lalu berkata lirih, “Terima kasih Chepi… yang barusan terasa indah sekali. Tapi Chepi belum ejakulasi kan?”

“Belum Tante… santai aja,” sahutku, dengan kontol masih menancap di dalam liang memek Tante Esther dan belum kuayun lagi.

Setelah Tante Esther tampak fresh lagi, aku pun mulai mengayun kembali batang kemaluanku di dalam liang memek mamanya Nike yang sudah becek ini.

“Gantian aku yang di atas,” ucap Tante Esther ketika ayunan kontolku masih perlahan.

Aku menurut saja. Tadinya ingin sama - sama berguling dengan kontol tetap berada di dalam liang memek calon mertuaku. Tapi karena ingin cepat berubah posisi, kucabut saja kontolku, kemudian aku berguling dan celentang di samping Tante Esther.

Tante Esther menyeka memeknya dulu dengan kertas tissue basah. Kemudian berlutut dengan memek berada di atas kontolku yang masih sangat ngaceng ini. Dia sendiri yang memegang kontolku dan diarahkan ke memeknya yang berada di atas moncong kontolku. Lalu ia menurunkan bokongnya sehingga kontolku melesak masuk ke dalam liang memeknya yang sudah agak kering, karena baru diseka oleh tissue.

Tadinya kupikir Tante Esther akan “mengentotku” sambil tetap berlutut dan menghadap padaku. Tapi ternyata tidak. Ia menghempaskan dadanya ke atas dadaku, yang kusambut dengan dekapan di pinggangnya.

Sambil menelungkup di atas dadaku, memeknya mulai membesot - besot kontolku. Tapi aku pun tak mau berdiam diri. Kugerakkan kontolku seirama dengan ayunan memek Tante Esther. Ketika memeknya maju dan “menelan” kontolku, aku pun memajukan kontolku. Dan ketika memek Tante Esther mundur, aku pun menarik kontolku.

Yang menyenangkan, kalau Tante Esther mengangkat badannya dengan menahan tubuh dengan sepasang tangan di kanan - kiri badanku, sepasang toket gede itu pun bergoyang - goyang erotis di atas dadaku. Dan dengan leluasa sepasang tanganku bisa meremas - remas sepasang toket gede itu. Toket yang empuk - empuk kenyal itu.

Tapi menurut pengalamanku, kalau bersetubuh dalam posisi WOT begini, pasangan seksualku lebih cepat orgasme.

Ternyata Tante Esther juga begitu. Hanya belasan menit ia bermain di atas tubuhku. Lalu menggelepar diu atas perutku. Dan merintih lirih, “Aaaaaah… aku sudah lepas lagi Chep…”

Aku tersenyum dan berkata di dalam hati, ‘Sapa suruh main di atas?’

Tante Eshter menggulingkan badannya, jadi celentang di sampingku, dengan tubuh bermandikan keringat, seperti aku.

Aku pun mengambil kertas tissue basah dari meja kecil di samping bed. Untuk menyeka wajahku yang basah oleh keringat. Untuk mengurangi kemungkinan keringat masuk ke mata, suka perih di mataku.

Lalu merebahkan diri di samping Tante Esther yang masih celentang sambil menatap langit - langit kamarnya. Kujusap - usap perut dan toket gedenya yang basah oleh keringat sambil bertanya, “Lanjutkan?”

“Ya lanjutin dong. Kan Chepi belum ejakulasi.”

Aku pun bergerak ke antara sepasang paha Tante Esther yang sudah mengangkang lagi. Kutepuk - tepuk memeknya sambil berkata, “Memek Tante luar biasa enaknya.”

Tante Esther tersenyum sambil menyahut, “Sukurlah kalau masih enak sih. Tapi kontolmu juga enak sekali Chep. Bukan cuma gede tapi juga panjang sekali. Makanya aku cepat orgasme, karena kontolmu menyundul - nyundul dasar liang memekku terus saking panjangnya.”

“Dari buku yang kubaca, di dasar liang memek ada Gspot juga ya.”

“Iya. Makanya kalau kena sentuh terasa nikmatg sekali. Ayo masukin lagi kontolmu Sayang…”

Itu pertama kalinya Tante Esther memanggil “sayang” padaku.

Lalu kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Tante Esther yang terasa masih becek ini. Masuuuk… membenam semuanya, bahkan moncongnya sampai mentok di dasar liang memek mamanya Nike.

Kubiarkan kontolku tetapo bertempelan dengan dasar liang memek Tante Esther, karena aku ingin mencium bibir sensualnya dulu.

Ciumanku disambut dengan lumatan hangat Tante Esther. Dan kubalas dengan lumatan lagi, sambil mulai mengayun kembali kontolku.

Nikmat sekali rasanya mengentot Tante Esther sambil saling lumat begini.

Tapi ketika melihat ke jam dinding, aku sadar bahwa sejam lagi adalah waktunya karyawan dan karyawatiku pada pulang. Sehingga aku memacu entotanku dengan jilatan dan gigitan - gigitan kecil di leher Tante Esther yang masih keringatan.

Kali ini bukan hanya leher yang jadi sasaran bibir dan lidahku. Ketika tangan Tante Esther berada di dekat kepalanya, mulutku pun langsung menyeruduk ke ketiaknya. Di situ lidah dan bibirku beraksi. Menjilat - jilat dan menyedot - nyedot. Sementara tangan kiriku asyik meremas - remas toket kanannya.

Tante Esther pun mulai merintih - rintih histeris lagi, “Chepiii… aaaaaa… aaaaaaah… ini enak sekali Sayaaaang… aaaaa… aaaaah… entot terus sambil jilatin ketekku Cheeeeep… enak sekali… entot terusssss… entooootttttt… entoooootttt… aaaahhhh… entoooottttttt …

Aku pun semakin bersemangat mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek yang masih becek namun erotis ini.

Aku memang ingin secepatnya ejakulasi, karena takut kalau - kalau Nike memaksa pulang sebelum aku datang ke kantor. Atau mungkin saja ada sesuatu yang emergency, yang mengharuskan Nike pulang lebih cepat dari semestinya.

Maka sambil menjilati ketiak Tante Esther, sementara tanganku meremas - remas toketnya, gerakan entotanku pun semakin gencar. Seolah ingin menggedor - gedor dasar liang memek mamanya Nike itu.

“Nan… nanti lepasin di… di mana Tante?” tanyaku tersendat - sendat, karena sedanbg gencarf - gencarnya mengayun kontolku.

“Di dalam aja. Aman kok. Emangnya udah mau ejakulasi?”

“Iya Tante.”

“Tahan dikit ya… aku juga udah mau lepas lagi nih. Kalau bisa barfengin lepasinnya,” ucap Tante Esther yang lalu memperbinal goyangan pinggulnya, dengan gerakan ombak bergulung - gulung itu. Sehingga kelentitnya terus - terusan bergesekan dengan kontolku.

Dan akhirnya ia berkelojotan dengan mata merem melek.

Ketika sekujur tubuhnya mengejang tegang, aku pun sudah berada di titik puncak kenikmatanku. Maka kubenamkan kontolku sedalam mungkin, tidak kugerakkan lagi.

Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Saling cengkram, saling remas sekuatnya.

Pada saat yang sama, kurasakan liang memek Tante Esther berkedut - kedut kencang, disusul dengan gerakan sekujur liang memeknya yang bergerak seperti spiral, seolah sedang meremas kontolku.

Pada saat yang sama, batang kemaluanku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Croooottttt… croootttt… croooootttttt… crotttcrottttttt… crooootttttt…!

Peristiwa indah bersama Tante Esther itu terus - terusan menggelayuti terawanganku sejak aku meninggalkan rumahnya sampai tiba di kantor, di mana karyawan dan karyawatiku masih pada sibuk mengerjakan tugasnya masing - masing. Padahal beberapa menit lagi mereka sudah mau pulang.

Aku pun langsung menuju ruang kerjaqku yang berdampingan dengan ruang kerja kesepuluh karyawanku. Nike tampak masih bekerja di depan laptopnya.

“Jangan pulang Beib. Aku ingin ngobrol banyak denganmu. Tapi sekarang mau mandi dulu ya,” kataku.

Nike mengangguk sambil tersenyum manis.

Aku pun langsung menuju kamarku. Langsung masuk ke kamar mandiku.

Aku memang harus mandi sebersih mungkin, lalu mengganti pakaianku, takut ada harum parfum Tante Esther yang menempel di badanku dan tercium oleh Nike.

Pada saat aku mandi, jam kerja para karyawan pun habis. Maka setelah mandi kukenakan saja baju dan celana piyamaku.

Kemudian menghampiri Nike yang masih standby di ruang kerja kami berdua.

“Duh enaknya Boss Chepi, bisa langsung ganti baju piyama, karena kantornya menyatu dengan rumah,”

“Iya. Tapi kalau bangunan kantor baru itu sudah selesai, aku bakal sama aja dengan kamu Beib.”

“Tadi katanya mau ngajak ngobrol, soal apa Yang?”

“Ngobrolnya di kamarku aja yuk. Biar leluasa. Kalau di ruang kerja gini kan sikap kita jadi berbau - bau formal.”

Nike mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengikuti langkahku, masuk ke dalam kamarku yang dengan ruang kerjaku hanya terbatas ruang keluarga.

Di dalam kamarku, Nike meletakkan tas kecilnya di atas meja kecil, lalu duduk di sofa putihku.

Seperti biasa saat itu Nike mengenakan baju seragam kantor perusahaan. Mengenakan blazer dan spanrok serba putih, dengan blouse berwarna kuning muda. Seragam itu harus dikenakan oleh seluruh karyawati di perusahaanku (Sebenarnya perusahaan punya Tante Aini. Tapi Tante Aini memakai namaku sebagai ownernya).

Aku duduk di samping Nike sambil berkata, “Perasaan dari hari ke hari, kamu semakin cantik aja Nik.”

“Deuh gombal gitu pasti ada maunya.”

“Memang ada mauku.”

“Mau apa Yang?” tanya Nike sambil merapatkan duduknya padaku.

“Kita kan bakal jadi suami - istri. Tapi mencium bibirmu pun tak pernah.”

“Aku kan ikut kemauan Bang Chepi aja. Kalau Abang cuma ingin cium pipi, ya aku kasihkan pipiku. Kalau mau cium bibir ya pasti akan kukasih juga, walau pun aku belum pernah merasakan dicium cowok.”

“Kalau aku mau cium bibir yang bawah dikasih gak?” tanyaku sambil merayapkan tanganku ke pahanya yang putih mulus.

“Bibir bawah? Iiih… emangnya bibir bawah suka dicium?” Nike bergidik.

“Suka. Malah setelah dicium lalu dijilati.”

“Iiih Baaang… dengernya aja aku merinding nih.”

“Tapi kamu benar - benar masih perawan kan?”

“Masih Bang. Kalau gak perawan lagi bunuh aja aku di malam pertama kita nanti.”

“Kalau kubuktikan keperawananmu sekarang, boleh nggak?” tanyaku dengan desir nafsu yang semakin menggodaku.

“Boleh aja,” sahut Nike tenang, “Asalan ada kepastian dulu kapan kita menikah.”

“Tentu saja kamu harus jadi mualaf dulu Beib.”

“Aku sudah jadi mualaf Bang.”

“Haaa?! Yang bener… !” cetusku kaget.

“Serius Bang. Surat resminya juga ada.”

“Di mana kamu resmi jadi mualaf Beib?”

“Di masjid dekat rumah.”

“Kapan itu terjadi?”

“Kira - kira dua minggu yang lalu.”

“Kok gak bilang - bilang sama aku?”

“Kan agama itu urusan pribadiku dengan Tuhan. Aku jadi mualaf atas kesadaranku sendiri. Bukan karena paksaan dari Bang Chepi. Makanya aku diam - diam aja.”

“Sebelum jadi mualaf, kamu tentunya belajar dulu kan?”

“Iya Bang. Aku diajari oleh saudara sepupuku yang sudah duluan jadi mualaf.”

“Mamamu marah nggak?”

“Nggak. Kan familiku banyak yang sudah jadi mualaf.”

Aku terharu mendengar pengakuan itu. Lalu kucium bibir Nike, sebagai ciuman bibibr yang pertama bagi kami. Kali ini bukan atas nama nafsu. Tapi atas dasar perasaan haru dan bahagia, karena Nike sudah jadi mualaf atas kesadarannya sendiri.

Aku bahkan membatalkan niatku untuk mengambil keperawanan Nike, karena kesadaranku datang sendiri dengan teguhnya. Bahwa aku tak mau mengotori hidup Nike yang kuanggap masih suci. Aku tak mau terlalu banyak bergelimang dosa. Terutama Nike yang sudah menjadi mualaf itu, harus kujunjung tinggi di atas ubun - ubunku.

Akhirnya aku dan Nike hanya ngobrol ke barat ke timur saja, tanpa point penting.

Lalu kuijinkan Nike pulang dengan motor barunya yang dibeli oleh sebagian isi cek hadiah dariku itu.

Setelah Nike pulang, aku pun tidur dengan nyenyaknya.

Jam sembilan malam aku terbangun, karena perutku terasa lapar.

Setelah termenung sesaat, kuganti pakaianku, lengkap dengan jaket kulitku.

Kemudian kukeluarkan mobilku dari garasi. Dan kularikan di jalan aspal, menuju sebuah resto yang buka 24 jam.

Aku cuma minta french fries dan ayam goreng crispy pedas.

Ketika aku baru mulai menikmati french fries-ku, terdengar suara perempuan di samping kananku, “Selamat malam Boss.”

Ketika menoleh ke arah datangnya suara, ternyata yang menyapaku itu seorang perempuan muda yang hitam manis, yang tak lain dari karyawatiku sendiri, bernama Kristina.

“Malam, “aku mengangguk sambil tersenyum, “Sama siapa Tin?”

“Sendirian aja Boss,” sahut Kristina yang biasa kupanggil Tina itu.

“Ayo kalau begitu pesan sana mau makan apa?”

“Saya sudah selesai makan Boss.”

“Kalau begitu temani aku makan deh. Ayo duduk di situ,” ucapku sambil menunjuk ke kursi yang berada di depanku, terbatas oleh meja resto yang di seluruh dunia ada cabangnya itu.

Kristina pun duduk di kursi yang kutunjuk.

Aku sudah tahu bahwa Kristina punya suami yang bekerja di kapal barang di luar negri. Dan hanya pulang sembilan bulan sekali. Karena suaminya sembilan bulan di laut, tiga bulan di darat.

Dan aku sudah sering menggodanya, karena aku suka sekali yang hitam manis seperti Kristina itu. Tadinya aku cuma iseng saja, suka mengirim WA padanya. Dan selalu saja sambutannya hangat. Tapi aku belum pernah melakukan apa - apa dengannya, karena aku pun ragu untuk, menggoda karyawatiku sendiri.

Tadi pada waktu aku melepaskan Nike begitu saja, sebenarnya ada yang kutindas di dalam batinku. Yang kutindas itu adalah nafsu birahi. Demi kenyamanan batin Nike, aku membatalkan niatku untuk “membuktikan” perawan tidaknya kekasihku yang jelita dan sangat patuh itu. Lalu aku mencoba melupakannya dengan istirahat total.

Tapi setelah bangun tidur di saat yang tidak tepat ini si Jhoni bangun lagi. Sedangkan Mbak Nindie tengah “cuti bulanan”.

Maka perjumpaan tak disengaja dengan Kristina ini merupakan celah yang menggembirakan bagiku. Karena belakangan ini aku punya “desir khusus” kepada karyawatiku yang usianya baru 21 tahun itu. Hanya 2-3 tahun lebih tua dariku.

Maka obrolan lewat WA yang terkadang sudah melewati batas itu, kini ingin kubuktikan dalam kenyataan. Bahkan aku masih menyimpan WA dengannya di luar jam kerja itu :

Aku - Kamu siap berbagi rasa denganku?-

Tina - Siap lah. Kapan dan di mana?-

Aku - Nanti ya… aku mau pilih waktu yang terbaik -

Tina - Jangan nunggu suami saya keburu pulang Boss -

Aku - Memangnya kapan suamimu pulang? -

Tina - Mungkin pertengahan bulan depan -

Dan kini perempuan hitam manis yang sudah janjian mau ena-ena di WA itu sudah muncul sendiri di depan mataku, dalam suasana batinku yang sedang membutuhkan penyaluran nafsu birahiku ini.

“Bagaimana kalau rencana wikwik kita sekarang aja dilaksanakannya?” tanyaku ketika Kristina sedang tersenyum - senyum manis itu.

Dia kelihatan agak kaget. Dan tidak langsung menjawab.

“Sekarang Boss?” tanyanya mengambang.

“Iya,” sahutku.

“Di mana?”

“Di rumahku aja.”

“Tapi rumah Boss kan dijagain satpam. Kalau mereka melihat saya, pasti gempar di kantor nanti.”

“Takkan ada yang melihat kamu Tin. Nanti kamu ngumpet aja di jok belakang mobilku. Kacanya kan gelap. Takkan ada yang bisa melihatmu dari luar. Mobil langsung kumasukkan ke dalam garasi. Setelah pintu garasinya ditutup, kamu turun dan ikut aku masuk ke dalam kamarku. Kan dari garasi ada pintu yang langsung menuju kamarku.

Kristina tercenung lagi.

“Bagaimana?” desakku.

“Dijamin aman Boss?”

“Aman lah.”

Wanita muda yang bekerja di bagian operasional perusahaanku itu tercenung lagi sesaat. Lalu berkata perlahan, “Iya deh. Tapi saya gak bawa pakaian ganti.”

“Banyak pakaian perempuan di kamarku. Punya tanteku.”

“Iya deh… saya juga udah penasaran… ingin melukin Boss semalam suntuk,” ucap Kristina sambil tersipu - sipu.

“Iya… nanti kita lakukan semuanya sampai hilang penasarannya. Oke?”

“Oke Boss.”

Beberapa saat kemudian Kristina sudah duduk di seat belakang mobilku yang sudah kukeluarkan dari parkiran restoran yang murah meriah itu.

Sesuai dengan yang sudah kuatur, pintu gerbang dibuka oleh dua orang satpam wanita, kemudian mobilku langsung masuk ke dalam garasi yang pintunya terbuka sendiri setelah aku memijat remote control yang selalu tersimpan di laci dashboard mobilku. Sementara Kristina tetap rebah menelungkup di seat belakang.

Setelah mobilku berada di dalam garasi, pintu garasi pun menutup sendiri secara automatis.

Kristina pun kusuruh turun dari mobilku. Lalu kubuka pintu yang menghubungkan garasi dengan kamarku.

Setelah berada di dalam kamarku, Kristina seperti terheran - heran, “Baru tau dari garasi ada jalan langsung menuju ke kamar Boss.”

Setelah menutupkan pintu yang menghubungkan kamarku dengan garasi, kupeluk Kristina dari belakang.

Dia diam saja. Bahkan berkata, “Saya merasa seperti bermimpi Boss. Tadinya saya pikir Boss cuma maui becanda aja di WA. Gak taunya beneran terjadi.”

“Sejak kamu kirim foto memekmu, aku jadi gak sabaran lagi. Pengen ngerasain legitnya memek cewek yang hitam manis seperti kamu Tin.”

“Hihihiiii… jadi pengen malu… ngirim foto memek segala sama Boss… saking inginnya disayang sama Boss…”

“Iya…” sahutku yang masih memeluk Tina dari belakang, “tapi kamu pakai celana jeans dan jaket tebal gini, nyusahin aku dong.”

“Sebentar Bos. Mau dibuka deh celananya,” kata Kristina sambil melepaskan diri dari pelukanku. Lalu di depan mataku ia melepaskan sepatu dan celana jeansnya. Jaket tebalnya pun dilepaskan. DIsusul dengan pelepasan behanya tanpa mencopot blousenya. Sehingga sepasang payudara indahnya tampak sebagian besar di mataku, termasuk sepasang pentil toketnya…

Tanpa ragu ia memamerkan toketnya padaku. Bahkan sesaat kemudian ia pun menanggalkan celana dalamnya, sehingga tampaklah sebentuk kemaluan yang berjembut di bagian atasnya, sementara bibir memeknya bersih dari jembut. Ini yang paling kusukai. Memelihara jembut boleh - boleh saja, tapi jangan berserabutan di antara bibir memeknya, karena kalau kujilati bisa tertelan jembutnya.

Setelah Kristina telanjang bulat, aku tidak sabaran lagi. Cepat ketanggalkan pakaianku, hanya celana dalam yang masih melekat di tubuhku (karena konon lelaki yang hanya bercelana dalam lebih seksi daripada yang telanjang bulat). Kemudian kuraih pergelangan tangan Tina ke atas bed. Perempuan muda yang berasal dari sebrang lautan itu tersenyum senang dan mengikuti raihanku.

“Besok kita refreshing ke luar kota ya. Besok kan Sabtu, kita weekend di luar kota aja,” ucapku sambil mengusap - usap memeknya yang tampak eksotis itu.

“Iya… saya siap untuk mengikuti apa pun ajakan Boss. Biar Boss makin sayang pada saya nanti.”

Aku tersenyum sambil berkata di dalam hati. Tak perlu jauh - jauh mencari perempuan. Di rumah dan di kantorku sendiri masih banyak perempuan yang belum kulibas. Satpam wanita yang tujuh orang itu belum pernah kujamah. Pembokat yang manis dan pernah kerja di Taiwan itu pun belum pernah kujamah. Memek anak orang tajir melintir, belum tentu lebih enak daripada memek pembokat.

Karyawati perusahaanku juga baru seorang ini yang mau kugauli. Padahal masih ada empat orang lagi karyawatiku yang bisa kujadikan TO.

Yang penting perusahaanku berjalan terus sebagaimana mestinya. Bahkan belakangan ini perusahaanku (yang sebenarnya perusahaan Tante Aini ini) mengalami perkembangan yang pesat sekali. Kalau suatu saat Tante Aini mengaudit, pasti beliau akan terperanjat kalau melihat perkembangan perusahaan yang atas namaku ini.

Tante Aini juga tidak tahu bahwa aku sedang menggumuli tubuh telanjang wanita belia yang berasal dari luar Jawa ini. Tidak tahu bahwa aku mulai menggerayangi memeknya yang menggiurkan ini.

Tapi Kristina bukan cewek pasif. Ketika aku mulai asyik mencolek - colek dan mencolok - colok celah memeknya, Kristina pun menarik celana dalamku sampai terlepas dari kedua kakiku. Dan memekik tertahan setelah melihat kontolku yang sudah ngaceng ini. Padahal tadi siang aku sudah kenyang menyetubuhi Tante Esther.

Tapi seperti biasa, aku tidak terlalu suka dioral oleh pasangan seksualku, kecuali kalau penisku sulit ereksi. Karena kalau sudah ngaceng berat begini lalu dioral oleh perempuan, pasti nantinya cepat ejakulasi.

Maka kudorong Kristina agar celentang, lalu aku menghempaskan dadaku ke atas sepasang toketnya yang ternyata masih sangat kencang dan indah sekali bentuknya.

Kristina menyambutku dengan rengkuhan di leherku, lalu dipagutnya bibirku ke dalam ciuman lahapnya, sambil menyedot lidahku ke dalam mulutnya. Lalu menggelutkan lidahnya dengan lidahku di dalam mulutnya yang harum penyegar mulut.

Setelah ciumannya dilepaskan, ia berkata setengah berbisik, “Sebenarnya sudah sejak lama saya gemes ingin mencium bibir Boss. Baru sekarang saya bisa merasakannya. Gak nyangka saya bisa merasakan indahnya mencium bibir Boss.”

“Jadi cuma ingin ciuman? Gak pengen ngerasain dientot oleh kontolku?” tanyaku setengah bercanda.

“Iiiih… pengen sekali Bossss… “lengan kiri Kristina melingkari pinggangku, sementara tangan kanannya memegang kontol ngacengku.

Bukan cuma itu. Kristina pun menggesek - gesekkan moncong kontolku ke celah memeknya. Agak lama ia melakukan hal ini. Setelah aku menghimpit perutnya pun, Kristina tetap asyik menggesek - gesekkan kontolku ke celah memeknya yang makin lama makin basah.

Aku mengerti bahwa aksi Kristina itu adalah usaha untuk membuat liang memeknya basah. Karena moncong kontolku digesek - gesekkan ke kelentitnya. Bukan cuma ke celah vaginanya doang.

Sampai pada suatu saat, Kristina menarik dan menekankan kontolku ke celah memeknya, sehingga alat kejantananku ini membenam sampai lehernya.

Kemudian ia berkata perlahan, “Silakan dorong penisnya Boss…”

Berarti tepat dugaanku tadi, bahwa aksi Kristina barusan adalah untuk memudahkan kontolku masuk ke dalam liang memeknya. Aku pun mendorong kontolku dengan kuat. Dan melesak masuk ke dalam liang memek Kristina… blessss…

Lalu permainan surgawi ini pun kumulai. Dengan mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Kristina yang luar biasa legitnya ini. Gesekan antara batang kemaluanku dengan dinding liang memek Kristina memang fantastis. Membuat nafasku berdengus - dengus seperti kerbau sedang disembelih.

Kristina pun mulai berdesah - desah erotis. “Aaaaaah… aaaaaaahhhh… Bossssssss… aaaaaah… aaaaaaahhhhh… penis Boss luar biasa… terasa sekali gesekannya… aaaaah… baru sekali ini saya merasakan nikmat yang luar biasa Bosss… aaaaaah… aaaaahhhhh… Bosss… aaaaah… gak nyangka saya bisa dapetin Boss…

Seperti biasa, kalau sedang menyetubuhi perempuan selalu saja mulut dan tanganku ikut beraksi. Tanganku asyik meremas - remas toketnya, sementara mulutku asyik menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Kristina pun semakin mendesah dan merintih. Sementara pinggulnya mulai beraksi, bergeol - geol dengan lincahnya.

Yang membuatku keenakan adalah liang memeknya seperti punya daya isap. Ketika aku sedang menarik kontolku, terasa ada tenaga seperti menyedot dari dalam liang memeknya. Inilah yang aku sukai. Bahwa memek Kristina jadi terasa legit sekali.

Namun caraku juga ternyata membuat Kristina klepek - klepek.

Rintihan dan desahan nafasnya semakin menjadi - jadi. Berbaur dengan dengus - dengus nafasku.

Ketika mulutku sedang mengemut dan menyedot - nyedot pentil toketnya, tanganku pun meremas - remas toket satunya lagi. Bahkan ketika aku menjilati ketiaknya, tanganku tetap asyik meremas - remas toketnya.

Cukup lama semua ini kulakukan. Sehingga keringat mulai membasahi tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Kristina.

Yang membuatku heran, Kristina belum orgasme juga. Padahal sudah cukup lama aku mengentotnya. Sampai akhirnya aku malah sudah tiba di detik - detik krusialku.

“Lepasin di… di mana nih?” tanyaku agak panik.

“Di dalem aja Boss,” sahutnya, “Emang udah mau ngecrot?”

“Iya.”

“Saya juga udah mau orga lagi Boss…”

Orga lagi? Berarti dia sudah orgasme tadi. Tapi kapan terjadinya? Kok aku tidak menyadarinya.

Entahlah. Yang jelas aku sedang mempercepat entotanku sambil meremas - remas toketnya, sambil mencium bibirnya sensualnya juga.

Lalu terjadilah sesuatu yang takkan kulupakan di dalam hidupku. Bahwa Kristina menghentikan goyangannya sambil menyedot lidahku ke dalam mulutnya, dengan sekujur tubuh mengejang tegang. Pada saat itulah kurasakan liang memek Kristina seperti ular yang sewdang membelit kontolku, disusul dengan kedutan - kedutan kencangnya.

Croooottttt… croootttt… croooottttttt… crotcrotttt… croooooooootttt…!

Sedetik kemudian terdengar elahan nafas Kristina yang barusan tertahan selama 2-3 detik. “Ooooohhhhhhhh… indah sekali Bosssss…”

Aku terkapar di atas perut Kristina beberapa menit. Lalu menggulingkan badan ke samping perempuan muda yang hitam manis itu.

Kristina berbaring miring sambil mengusap - usap dadaku, “Terima kasih Boss. Ini peristiwa paling indah di dalam hidup saya. Tadi… sampai tiga kali saya orga Boss. Baru sekali ini saya bisa mengalami seperti itu.”

Kusahut, “Biasanya aku sadar kalau pasangan seksualku mau orgasme. Tapi tadi aku gak menyadarinya. Apalagi sampai tiga kali gitu orgasmenya.”

“Saya sudah terbiasa menyembunyikannya kalau sedang orgasme Boss.”

“Kenapa disembunyikan? Aku justru paling suka ikut menikmati pasangan seksualku yang sedang orgasme.”

“Hehehee… saya malu kalau ketahuan sedang orgasme Boss.”

“Lain kali kalau mau orgasme, bilang terus terang bahwa kamu mau lepas gitu ya. Supaya aku bisa ikut merasakan indahnya perempuan pada saat menikmati orgasme.”

“Siap Boss.”

Sebenarnya aku ingin membawa Kristina ke villa punya Tante Aini besok pagi. Tapi tiba - tiba handphoneku berdering. Ketika kulihat, ternyata call dari Papa.

Cepat kubuka dan… :

“Hallo Pap.”

“Kamu lagi di mana Chep?”

“Di rumah.”

“Mamie mau melahirkan Chep. Sekarang sudah di rumah sakit bersalin. Kalau bisa kamu ke sini sekarang.”

“Rumah sakit mana Pap?”

Papa menyebutkan nama rumah sakit bersalin itu.

“Oke Pap. Aku mau mandi dulu sebentar. Lalu ke rumah sakit.”

“Iya.”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku berkata kepada Kristina, “Tadinya aku mau mengajakmu ke villa besok pagi. Tapi barusan papaku nelpon. Ibu tiriku mau melahirkan. Jadi aku harus nemenin Papa di rumah sakit.”

“Iya, iya… bakal punya adik dong Boss.”

Aku terhenyak mendengar mkata “adik” itu. Karena sebenarnya Mamie mau melahirkan anak pertamaku. Lalu kelak Tante Aini akan melahirkan juga. Mbak Susie juga. Hahahahaaaa… anakku bakal ada di sana - sini…!

Aku memang mandi dulu bersama Kristina. Kemudian kuantarkan Kristina sampai ke mulut gang menuju rumahnya, karena hari sudah sangat malam, kasihan kalau dia harus pulang sendirian.

Setelah mengantarkan Kristina, aku langsung menuju rumah sakit ibu dan anak yang paling terkenal di kotaku.

Ketika aku tiba di depan Papa, ternyata Mamie sudah melahirkan bayi cewek. Tapi Mamie masih di ruang bersalin. Belum dimasukkan ke kamar perawatan.

Papa cuma berdiri di depan pintu ruang perawatan yang masih kosong. “Melahirkannya normal apa lewat cezar Pap?” tanyaku.

“Normal. Mamie kan gak mau dicezar,” sahut Papa.

Beberapa saat kemudian, brankar Mamie tampak didorong oleh dua orang perawat. Yang seorang hanya mendorong, yang seorang lagi sambil memegangi botol infus.

Mamie tampak sadar seperti biasa. Ketika melihatku berdiri di samping Papa, Mamie menyunggingkan senyum manis di bibirnya.

Kemudian Mamie dipindahkan ke atas bed di ruang perawatan. Infusnya pun dipasang pada tiangnya.

“Bayinya masih dibersihkan, sebentar lagi akan diantarkan ke sini,” kata salah seorang perawat kepada Papa.

Setelah kedua perawat itu berlalu, aku menghampiri bed Mamie. Mencium sepasang pipinya dengan mesra, tanpa peduli dengan kehadiran Papa di kamar perawatan itu. Lalu aku berbisik, “Selamat ya Mam. Aku bahagia sekali.”

Mamie menatapku dengan sorot cinta. Lalu bibir sensualnya tersenyum lagi.

“Mau dikasih nama apa anakmu?” tanya Papa sambil menepuk bahuku.

“Terserah Papa aja. Kan hitam di atas putihnya anak Papa. Aku hanya penumpang gelap… heheheee…”

Papa mengusap - usap rambutku sambil berkata, “Ya udah nanti papa pikirkan dulu namanya.”

Tak lama kemudian bayi yang baru lahir itu diantarkan oleh seorang suster dan meletakkannya di samping Mamie. Aku terkagum - kagum menyaksikan bayi itu… anakku itu… cantik sekali kelihatannya.

Suster itu memberitahu Mamie, kalau bayinya sudah boleh disusui. Setelah disusui, bayinya bisa diletakkan di baby box yang terletak di samping bed Mamie.

“Sudah diadzani Pap?” tanyaku kepada Papa.

“Sudah, “Papa mengangguk, “Begfitu lahir juga papa adzani tadi…”

Ucapan Papa terputus karena seorang cewek cantik yang kira - kira sebaya denganku, muncul di ambang pintu kamar perawatan Mamie ini. Cewek itu mencium tangan Papa, lalu menghampiri bed Mamie.

“Eee… Anna?! Tau dari siapa aku melahirkan?” tanya Mamie kepada cewek itu.

“Tau dari Mama. Makanya disuruh menjenguk Kak Mel ke sini,” sahut cewek yang dipanggfil Anna itu sambil mencium sepasang pipi Mamie.

Lalu Mamie menoleh padaku. Dan berkata, “Chepi… ini adik bungsu mamie… jadi kamu harus manggil tante sama dia.”

Mendengar bahwa cewek bernama Anna itu adik Mamie, aku pun mencium tangannya sebagaimana layaknya seorang keponakan kepada tantenya. “Kok baru sekarang ketemu Mam?” tanyaku.

“Dia kan di Singapore sekolahnya. Mmm… setingkat dengan SMA di sini,” sahut Mamie.

Lalu kami ngobrol ke barat ke timur. Sementara adik Mamie yang bernama Anna itu berkali - kali memandang ke arahku sambil tersenyum. Entah apa maksudnya.

Tiba - tiba handphoneku berdering. Ketika kulihat, ternyata dari Tante Aini…!

Aku pun bangkit dan bergegas keluar dari ruang perawatan Mamie itu, untuk menerima call dari bossku alias Tante Aini.

Aku: “Selamat siang Tante. Apa kabar?”

T. A. : “Sehat. Kandunganku juga sehat. Kamu gimana? Sehat juga kan Sayang?”

Aku: “Sehat juga Tante.”

T. A. : “Ada kabar gembira nih Chep. Ketiga kapal tanker yang dibeli atas namamu itu sudah selesai service dan renovasinya. Sekarang sudah seperti baru semua.”

Aku: “Wah… bagus kalau begitu Tante. Apakah ketiga kapal tanker itu mau dijual lagi dalam keadaan sudah seperti baru lagi begitu?”

T. A. : “Iya. Kamu bisa nyariin calon buyernya Yang?”

Aku: “Memangnya Tante belum punya calon buyernya?”

T. A. : “Belum. Aku kan sedang hamil. Nggak berani pergi - pergian. Takut kandunganku kenapa - kenapa.”

Aku: “Ya udah, nanti aku cariin calon buyernya. Mudah - mudahan aja dapat. By the way, kandungan Tante sekarang sudah berapa bulan ya?”

T. A. : “Sudah hampir tujuh bulan Sayang. hak sampai tiga bulan lagi diem - diem sudah jadi ayah kan?”

Aku: “Hehehee… iya Tante. Semoga kandungannya sehat dan Tante bisa melahirkan dengan selamat dua - duanya, baik bayinya mau pun Tantenya juga.”

T. A. “Amiiin. Ohya, nanti kalau dapat buyernya dan terjadi transaksi, dananya pegang aja sama kamu Sayang. Jadikan untuk investasi buat perusahaan kita. Ohya, kantor barunya sudah selesai?”

Aku: “Belum Tante. Mungkin dua bulan lagi baru selesai. Ohya… ketiga kapal tanker itu mau dijual berapa?”

Tante Aini lalu menyebutkan jumlah yang harus dibayar oleh buyer nanti. Nominalnya menggeledek buatku. Nolnya juga ada duabelas. Tanted Aini juga mengirimkan banyak foto kapal - kapal tanker setelah diservice dan direnovasi itu lewat WA. Memang ketiga kapal tankier itu jadi tampak ginclong semua.

Kemudian kami hentikan obrolan by phone itu, setelah Tante Aini tahu bahwa aku sedang berada di rumah sakit bersalin bersama Papa.

Kemudian aku masuk lagi ke ruang perawatan Mamie. Menghampiri Papa sambil berbisik, “Ada bisnis Pap. Bisa kita ngobrol di luar sebentar?”

Papa mengangguk, lalu mengikuti langkahku ke luar. Kebetulan di luar ada bangku yang bisa dijadikan tempat duduk oleh aku dan Papa.

Lalu kutawarkan ketiga kapal tanker itu kepada Papa. Kuperlihatkan juga foto - foto yang tadi kuterima dari Tante Aini itu.

“Kapal - kapal tanker itu punya siapa?” tanya Papa.

“Hitam di atas putihnya punyaku Pap. Tapi sebenarnya punya Tante Aini,” sahutku.

Papa mengangguk - angguk. Lalu berkata, “Yang bisnis beginian itu Irenka.”

“Irenka?! Siapa dia Pap?”

“Istri Oom Safiq.”

“Oom Safiq adik Papa itu?”

“Iya. Kamu hafal nggak nama adik - adik papa?”

“Nggak tuh. Heheheheee. Abisnya, mereka jarang datang ke sini. Lagian adik Papa kan banyak ya?”

“Adik papa yang laki - laki tiga orang. Yang perempuan empat orang.”

“Siapa aja nama mereka Pap? Aku mau simpan deh di hapeku.”

“Yang laki - laki namanya Safiq, Gunther dan Pram.”

“Iya… udah disimpan semua. Yang perempuan siapa aja?”

“Yang perempuan, Sella, Lien, Connie dan Bonita.”

“Iyaaa… iyaaaa… sudah disimpan semua Pap. Terus yang istri Oom Safiq tadi siapa? Rasa aneh namanya.”

“Namanya Irenka. Tentu aja namanya asing di telinga kita. Dia kan orang Czech.”

“Oooo… istri Om Safiq orang Czech?”

“Iya. Oommu itu kan pernah tugas di Czech selama tiga tahun. Pulangnya bawa istri orang sana. Di Indonesia dia suka bisnis perkapalan. Tadinya cuma bisnis onderdinya. Lama - lama bisnis kapal - kapal bekas juga.”

“Wah boleh tuh dihubungkan sama dia Pap.”

“Sekarang sudah terlalu malam. Besok aja papa telepon Oom Safiqnya. Kalau butuh, pasti Irenka akan datang ke rumahmu nanti. Papa kasih aja alamat rumahmu ya.”

“Iya Pap.”

Lalu aku dan Papa masuk lagi ke dalam ruang perawatan Mamie dan anakku.

Ketika aku pamitan mau pulang dari kamar perawatan Mamie dan bayi yang baru lahir itu, Mamie berkata kepada adiknya yang bernama Anna itu, “Kalau mau nginep, mendingan di rumah Chepi. Di rumahku kan gak ada orang, Mas Adrian juga kan mau tidur di sini, nungguin aku.”

“Chepi udah punya rumah sendiri?” Tante Anna menoleh padaku.

Papa yang menjawab, “Sudah An. Rumah Chepi jauh lebih megah dan besar daripada rumah kami.”

Akhirnya Tante Anna setuju, akan nginap di rumahku.

Beberapa saat kemudian, Tante Anna sudah berada di dalam mobilku, menuju rumah hadiah dari Tante Aini itu.

“Kamu masih ingat masa kecil kita dahulu?” tanya Tante Anna ketika mobilku sudah berlari di jalan asap, ketika hari sudah lewat tengah malam.

“Masih,” sahutku, “Tapi sekarang Tante sudah sangat berubah. Makanya tadi kupikir siapa cewek cantik yang datang itu.”

“Jangan manggil Tante lah. Sebut namaku aja. Kamu kan lebih tua setahun dari aku.”

“Iya. Tiga hari lagi usiaku genap sembilanbelas tahun.”

“Nah… aku sebulan yang lalu genap delapanbelas tahun. Jadi gak enak kan dipanggil tante sama yang usianya lebih tua dariku.”

“Tadi kan Mamie yang nyuruh manggil Tante.”

“Biarin aja, kalau gak ada dia, kamu panggil Anna aja.”

“Iya Sayang, eeeh, Anna…”

Sebenarnya aku hanya bercanda, pura - pura keceplosan nyebut “Sayang” padanya. Tapi dia menepuk bahuku sambil berkata, “Naaah dipanggil Sayang malah lebih enak.”

“Iya Beib… eeeh… Anna… “lagi - lagi aku bercanda dengan menyebut Beib. Tapi tanggapannya sungguh di luar dugaan.

“Hiihihihiii… kamu kok jadi grogi gitu sih. Udah kita putuskan kamu manggil Beib sama aku. Aku manggil kamu Ayang ya… “katanya sambil meremas - remas tangan kiriku dengan lembut tapi hangat.

“Loh… kapan kita jadian? Kok panggilannya berubah drastis?!” tanyaku pura - pura heran.

“Ya sejak sekarang aja,” sahutnya “Aku suka kok sama kamu. Padahal waktu masih kecil kamu nakal sekali. Sering jambak rambutku kan?”

“Hihihiii… iyaaa… aku ingat itu. Soalnya waktu itu rambutmu panjang. Jadi enak narik - nariknya.”

“Tapi banyak orang yang nakal waktu kecilnya, justru jadi baik setelah dewasa. Semoga kamu juga begitu ya.”

“Sebegitu jauhnya mikir tentang diriku?”

“Boleh kan aku punya keinginan yang positif tentang dirimu?”

“Boleh aja. Cuman… hahahaaa… serius nih bahwa kita secepat kilat jadian?”

“Kalau bisa cepat kenapa harus diperlambat? Tapi itu juga kalau kamu mau menerimaku. Kalau gak mau, aku gak maksa kok…”

“Aku senang sekali jadian sama cewek cantik sepertimu Beib. Cuma masalahnya… aku udah punya calon istri.”

“Biarin aja. Cowok kan boleh polygami.”

“Ohya?! Jadi kamu mau dijadikan yang kedua?”

“Nggak apa. Emangnya siapa calon istrimu?”

“Amoy mualaf.”

“Ohya?! Sudah serius mau kawin dengannya?”

“Iya, “aku mengangguk di belakang setirku, “kasian kalau diputusin. Sedangkan dia sudah jadi mualaf, karena sudah serius bakal jadi isriku.”

“Kita main backstreet kan bisa Yang.”

“Aku masih heran. Begitu cepat kamu nembak aku Beib.”

“Kita kan sudah saling mengenal sejak masa kecil dahulu. Kemudian aku melanjutkan sekolah di Singapore. Makanya kita seolah terputus komunikasi sama sekali. Dan begitu melihatmu di ruang perawatan mamiemu tadi, aku juga heran… kamu punya daya pesona kuat, sehingga hatiku spontan runtuh pada pandangan pertama tadi Sayang,” ucap Anna sambil memegang pergelangan tangan kiriku yang nganggur karena mobilku matic.

“Memangnya belum pernah melihat cowok setampan aku Beib?”

“Yang tampan sih banyak. Tapi kamu… aku yakin kamu orang baik. Selain daripada itu, kamu punya daya pesona yang gimana gitu… gemesin… jadi pengen cium bibirmu…”

Mendengar ucapan adik Mamie seperti itu, spontan kecepatan mobilku dikurangi. Lalu kuhentikan di bahu jalan yang gelap gulita, karena di sekelilingku hanya ada pohon - pohon pinus, tidak ada rumah satu pun.

“Kok berhenti di tengah hutan begini?” tanya Anna.

“Katanya mau cium bibirku. Ciumlah sepuasmu Beib,” sahutku sambil mengangsurkan bibirku ke dekat bibir Anna.

Spontan cewek yang setahun lebih muda dariku itu memagut bibirku dan mel, umatnya dengan lahap. Sementara aku lebih tertarik untuk mengusap - usap betisnya yang sejak tadi kuperhatikan… betis yang indah dan putih mulus.

Ketika Anna masih melumat bibirku dengan lahapnya, tanganku sudah berada di balik gaunnya. sudah memijat - mijat pahanya yang terasa hangat.

Namun tanganku hanya sampai pahanya, kemudian turun ke lututnya lagi.

Ciuman dan lumatan Anna pun terlepas.

Aku pun menjalankan lagi mobilku pada saat jam di dashboard menunjukkan pukul 03.00 pagi.

“Bakal ada kisah baru nih di antara kita Beib,” ucapku sambil mengemudikan mobilku.

“Iya. Hitung - hitung melanjutkan masa kecil kita aja.”

Aku memang mulai memikirkannya. Karena Anna memang sangat cantik. Padahal pada waktu kecil dia itu tampak tomboy dan gendut. Tapi setelah dewasa, dia kelihatan begitu cantik, tubuhnya pun tampak seksi sekali. Masa aku mau menghindar dari cewek cantik yang terang - terangan nembak aku duluan?

Tapi… apakah dia masih virgin atau sudah blong seperti Yama dan Gita?

Entahlah. Yang jelas dalam tempo secepat mungkin aku harus tahu “sikon”nya.

Setibanya di rumah, kubawa Anna ke lantai atas. Karena di situ ada kamar yang sangat indah viewnya. Namun Anna tampak ragu. “Aku mau ditinggal sendirian di sini Yang? Takut ah. Udah di kamarmu aja.”

“Mau tidur sama aku?” tanyaku.

“Iyalah. Ini rumah kok gede - gede amat. Kamu kok masih sangat muda sudah punya rumah sehebat ini. Apakah kamu sudah pandai nyari duit?”

“Rumah ini hadiah dari adik mama kandungku Beib. Sekaligus perusahaannya juga.”

“Ooo… pantesan. Tapi kamu masih kuliah kan?”

“Pendidikan sih gak boleh ditinggalin.”

“Kirain dilupakan saking asyiknya nyari duit.”

“Ya udah kalau mau tidur di kamarku, ayo. Aku udah ngantuk sekali nih.”

Anna pun mengikuti langkahku turun ke lantai bawah, sambil menjinjing tas pakaiannya dan masuk ke dalam kamarku.

“Kamarmu ini… kayak kamar pejabat tinggi aja Yang. Hmm… di sini suasananya terasa lebih hangat daripada yang di atas tadi,” kata Anna sambil mengeluarkan pakaian dari dalam tasnya.

Aku tidak mau menanggapinya, karena aku sedang mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama.

“Itu kamar mandi kan?” tanya Anna sambil menunjuk ke pintu kamar mandi pribadiku.

“Iya, “aku mengangguk sambil duduk di pinggiran bed, “Mau mandi?”

“Mau ganti baju Sayang.”

“Di sini aja mau ganti baju sih. Ngapain harus di kamar mandi?”

“Sekalian mau pipis,” sahut Anna sambil mengibaskan bajunya ke dekat mukaku.

“Pengen lihat kamu lagi pipis Beib,” ucapku sambil berdiri.

“Hihihiii… katanya ngantuk.”

“Iya. Nanti sehabis lihat kamu pipis, aku mau bobo,” kataku sambil mengikuti langkah Anna ke dalam kamar mandi.

“Ini buat pertama kalinya mau pipis disaksikan sama cowok,” kata Anna sambil menyingkapkan gaun terusannya yang berwarna hijau tosca, lalu menurunkan celana dalamnya sampai lutut dan duduk di atas kloset.

Terdengar bunyi kencingnya yang seperti pancaran air shower. Srrrr…!

“Pinter nyembunyiinnya. Sampai gak bisa lihat apa - apa,” kataku sambil memijat hidung Anna. Lalu aku keluar dari kamar mandi. Dan merebahkan diri di atas bed.

Tak lama kemudian Anna pun keluar dari kamar mandi. Sudah mengenakan kimono putihnya yang terbuat dari bahan goyang.

Setelah Anna berbariong di sampingku, aku memegang tangannya sambil bertanya, “Boleh aku tahu sesuatu yang sangat pribadi sifatnya?”

“Tanyalah… mau nanya apa?”

“Kamu masih virgin nggak Beib?”

“Masih lah.”

“Masa?! Aku kurang percaya.”

“Buktiin aja sendiri.”

“Haaa?! Emangnya aku boleh membuktikannya sendiri?”

“Boleh. Tapi kamu jangan menyia - nyiakan diriku kalau sudah membuktikannya.”

“Ya nggak lah. Kamu kan adik Mamie Beib. Mana mungkin aku tega nyakitin hatimu?”

“Kapan mau dibuktikannya? Sekarang?”

“Besok aja biar fisik kita sama - sama segar. Sekarang aku udah capek dan ngantuk.”

“Ya udah kalau gitu kita tidur aja ya.”

“Iya, tapi kitanya harus tidur telanjang ya Beib.”

“Haa?! Aku kedinginan dong nanti.”

“Kan kita tidur dengan satu selimut. Tapi sama - sama telanjang.”

“Sama amoy mualaf itu suka telanjang di balik selimut?”

“Iya,” sahutku berbohong. Padahal aku belum pernah melihat Nike telanjang.

Akhirnya Anna pun menanggalkan kimono dan celana dalamnya. Dan langsung telanjang, karena ia tidak mengenakan beha tadi.

Sekujur tubuh Anna yang tak tertutup apa - apa lagi itu… aduhai… indah sekali. Meski toketnya kecil, aku suka melihatnya.

Tapi setelah telanjang Anna langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Sementara aku pun sudah menelanjangi diri dan menutupi tubuhku dengan selimut yang sama. Hanya leher dan kepala kami yang tidak ditutupi selimut.

Namun di balik selimut Anna memeluk pinggangku, sambil merapatkan pipinya ke pipiku. “Yakin nih takkan membuktikan virginitasku sekarang?” tanyanya setengah berbisik.

“Kalau dipaksakan sekarang, pasti kurang nikmat. Besok aja ya Beib,” sahutku sambil menggenggam toketnya yang tergenggam dengan satu tangan.

“Aku sih mau ikut kemauan kamu aja.”

Aku pun menguap terus, sehingga akhirnya kupejamkan mataku sambil tetap menggenggam toket kecil Anna.

“Toketku kecil ya,” ucap Anna setengah berbisik.

“Kecil tapi masih sangat kencang.”

“Memang gak pernah disentuh tangan colwok Yang.”

Aku mulai asyik meremas - remas toket kecil itu, yang memang masih kencang sekali.

Tadinya aku ingin memuaskan diri dengan memegang tokewtnya saja. Tapi lama kelamaan ada juga rasa penasaran, ingin memegang kemaluannya. Sehingga pada suatu saat, kujamah kemaluannya yang berambut jarang dan tipis itu.

“Jembutnya gak pernah dicukur?” tanyaku.

“Nggak lah,” sahutnya, “aku kan gak pernah mengusik memek segala. Kubiarkan aja apa adanya.”

Aku memang sudah mulai nafsu. Tapi kupaksakan tidur sambil menggenggam toket Anna.

Akhirnya kami benar - benar tidur.

Lewat tengah siang aku baru terbangun. Sementara Anna tampak sudah mandi. Bahkan sudah mengenakan celana jeans dan baju kaus putih.

“Sudah lama bangun?” tanyaku setelah menggeliat dan turun dari bed.

“Sejam yang lalu,” sahutnya.

“Udah makan?”

“Makan di mana? Keluar kamar aja belum. Takut ada yang nanya aku siapa dan sebagainya.”

“Ohya… di sini ada Mbak Nindie, kakak seayahku. Udah kenal dia kan?”

“Owh… udah kenal sama Nindie sih. Dia di sini sekarang? Bukankah dia di luar Jawa?”

“Iya. Dia cerai sama suaminya. Makanya kutempatkan aja di sini buat ngurus dapur dan satpam - satpam itu.”

“Owh… iya. Dulu kan Nindie pelatih bela diri ya. Pantesan satpamnya perempuan. Mungkin mantan murid Nindie kali.”

“Iya. Kamu cerdas Beib. Nanti kita ke villa aja ya. Biar romantis suasananya. Tapi jangan ngomong sama Mbak Nindie. Bilang mau nengok Mamie aja.”

“Iya, iyaaa… mandi dulu sana gih.”

“Memang aku mau mandi Beib,” sahutku disusul dengan kecupan di pipinya. Kemudian melangkah ke dalam kamar mandi. Dan mandi sebersih mungkin.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Anna sedang duduk di sofa sambil mendengarkan lagu - lagu Dua Lipa dari handphonenya.

“Bagusnya jangan pakai celana jeans gitu, biar kelihatan bahwa kamu itu cewek Beib,” kataku sambil memegang bahunya.

“Emang pakai celana gini aku kelihatan kayak cowok?” tanyanya.

“Bukan gitu. Kita kan mau ke villa. Kalau pakai gaun atau rok kan gampang nyingkapinnya. Hihihihiii…”

“Ogitu ya. Aku bawa gaun tapi mini semua,” sahutnya sambil tersenyum.

“Malah bagus. Biar kemulusan pahamu kelihatan Beib,” kataku sambil mengeluarkan baju kaus dan celana pendek serba hitam dari dalam lemari pakaianku. Lalu kukenakan pakaian casual itu sementara Anna pun sudah mengenakan gaun span mini biru ultramarine yang memamerkan paha putih mulusnya.

“Kamu pakai apa aja kelihatan pantas Yang,” kata Anna sambil mengecup pipiku.

“Dan kamu sangat seksi memakai gaun mini begini,” sahutku sambil merayapi pahanya yang licin dan bisa bikin lalat terpeleset kalau hinggap di situ. Lebay ya.

“Kita mau langsung ke villa sekarang?” tanyanya.

“Iya. Nanti kita makan siang di dekat villa aja. Ada rumah makan langgananku di sana.”

Lalu kubuka pintu yang menghubungkan kamarku dengan garasi.

Setelah berada di dalam mobil, kupijat remote control pintu garasi yang selalu standby di dalam laci dashboard mobilku.

Dua orang satpam perempuan langsung mendekati pintu garasi yang sudah terbuka.

Hanya sebentar aku memanaskan mesin mobilku. Lalu menggerakkannya ke luar.

“Selamat siang Boss, “sapa kedua satpam perempuan itu sambil bersikap tegak.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengeluarkan mobilku melewati puntu gerbang depan.

Beberapa saat kemudian mobilku sudah kularikan ke luar kota.

“Jadi ceritanya kita mau berbulan madu di villa nih?” cetus Anna sambil memegang dan meremas tangan kiriku.

“Iya,” sahutku sambil tersenyum, “Anggap aja kita sedang bulan madu.”

“Terus kalau aku hamil gimana?”

“Jangan dulu hamil. Itu di laci dashboard ada pil kontrasepsi. Disetubuhi seratus kali juga kamu gak bakalan hamil Beib.”

“Ogitu ya. Jadi kamu selalu siap dengan pil anti hamil Yang?”

“Iya. Aku kan harus jaga - jaga, jangan sampai hamilin anak orang tanpa tujuan.”

“Ohya Chepi Sayang… kalau aku tinggal di kota ini, ada job buatku gak?”

“Mmm… ada sih. Jadi kepala gudang, mau nggak?”

“Kepala gudang?! Kok serem banget kedengarannya?”

“Lho, kamu tinggal ngawasin aja jumlah barang yang datang dan keluar. Yang bekerja pegawaiku lah.”

“Aku kan cuma lulusan high school, setingkat dengan SMA di sini. Bisa nggak ya ngerjainnya?”

“Pasti bisa lah. Tapi kamu memang takkan balik ke Singapore lagi?”

“Nggak ada yang membiayainya. Kan tanteku yang dulu membiayai sekolahku sudah meninggal.”

“Ya udah kalau gitu untuk sementara ambil aja job itu. Mumpung belum diisi orang.”

“Terus aku tinggal di mana?”

“Di dekat gudang itu ada rumah yang bisa kamu tempati.”

“Aman gak?”

“Sangat aman Beib. Kan baik gudangnya mau pun rumah untuk kepala gudang juga dijaga oleh beberapa orang satpam.”

“Satpamnya cewek apa cowok?”

“Di sana sih satpamnya cowok semua.”

“Mmm… barang - barang di dalam gudang itu apa saja jenisnya?”

“Hanya pakaian untuk diekspor ke timur tengah.”

“Busana muslim semua ya.”

“Iya.”

“Mau deh aku dijadiin kepala gudang.”

“Untuk sementara aja. Nanti kalau kantor baruku sudah selesai dibangun, bisa aja kamu kutempatkan di kantor Beib.”

“Iya. Tapi kalau ditempatkan di kantor, aku harus melanjutkan pendidikanku dulu Yang. Supaya gak bego - bego amat nantinya.”

“Idealnya memang begitu. Tapi kamu kan bisa nyari calon wakilmu nanti. Pada waktu kamu kuliah, wakilmu itu yang mengerjakan tugasmu.”

“Ada sih saudara sepupuku. Tapi aku takut mengajaknya.”

“Kenapa?”

“Karena dia cantik sekali. Seksi pula. Kalau diajak ke sini, bisa - bisa kamu samber dia Yang.”

“Hush… aku bukan tukang samber cewek Beib,” ucapku sambil membelokkan mobilku ke pekarangan rumah makan yang terletak di luar kota, tidak jauh dari villa kepunyaan Tante Aini itu. Lalu kami makan di situ.

Setelah makan, kami lanjutkan lagi perjalanan menuju villa yang tidak jauh dari rumah makan itu.

“Mentalmu sudah benar - benar siap untuk digauli olehku Beib?” tanyaku sambil memegang lutut kanan Anna yang tidak tertutup gaun mininya.

“Fisik dan mentalku udah siap Yang. Soalnya aku juga ingin merasakannya.”

“Merasakan apa?”

“Merasakan disetubuhi oleh cowok. Sesuatu yang belum pernah kualami.”

“Kalau kami benar - benar masih perawan, kamu akan mendapat tempat istimewa di hatiku Beib.”

“Iya, makanya aku ingin mendapat tempat istimewa di hatimu, makanya aku akan menyerahkan sekujur tubuhku padamu dengan ikhlas.”

“Kalau ternyata tidak perawan lagi bagaimana?”

“Kalau aku gak perawan, kamu gak usah kenal lagi sama aku. Anggap aja aku hanya sekadar sampah. Bagaimana mungkin aku tidak perawan lagi. Pacaran serius pun belum pernah. Di Singapore apalagi, dengan teman sekelas aja gak saling sapa. Semua cuek, mengurus dirinya sendiri semua. Jadi aku juga terbawa - bawa begitu.

Aku tidak menanggapi. Karena diam - diam aku sedang membangun rencana. Bahwa aku akan memperistrikan setiap perempuan yang masih perawan sebelum kusetubuhi. Dan aku baru punya satu sosok yang masih perawan sebelum kusetubuhi. Yakni dosenku sendiri yang bernama Shanti itu. Tentang Nike, aku belum membuktikan masih perawan tidaknya.

Maka kalau Anna benar - benar masih perawan, dia akan menjadi calon istriku. Kalau memeknya sudah bolong alias bekas kontol orang lain, sorry, jadi teman atau saudara saja lah.

Villa punya Tante Aini ini dipakai setahun sekali juga tidak. Mungkin Tante Aini hanya membelinya sekadar menanam investasi. Padahal villanya cantik sekali. terletak di puncak bukit kecil yang dikelilingi oleh hutan pinus. Menurut Tante Aini, hutan pinus itu pun miliknya. Kelak jika pohon - pohon pinus sudah waktunya ditebang, aku juga yang ditugaskan untuk menjual kayunya kepada pihak yang membutuhkannya sebagai bahan bangunan atau untuk pulp pabrik kertas.

Villanya sendiri memang terbuat dari bahan tembok biasa. Tapi dilapisi dengan parkit kayu pinus yang sudah dioven. Memang kayu pinus bukan bahan kuat seperti jati, suren, kayu besi dan sebagainya. Tapi kalau sudah dioven, lain lagi ceritanya. Jadi kokoh dan cantik urat - uratnya. Sedangkan lantainya dilapisi parkit kayu rasamala yang juga sudah dioven, sehingga jauh lebih keren daripada sebelumnya.

(Parkit = kayu yang sudah dipotong 20 X 10 centimeter, dengan ketebalan sekiktar 1 centimeter).

Begitu tiba di depan villa itu, Anna tampak asyik memperhatikan keadaan di sekelilingnya. “Terasa seperti di tengah hutan benar, tapi nyaman sekali perasaanku Yang,” ucapnya pada waktu aku memeluknya dari belakang.

“Mungkin nyamannya karena ada aku ya,” ucapku setelah menciumi tengkuknya.

“Iya, “Anna memutar badannya jadi berhadapan denganku. Lalu memagut bibirku ke dalam ciuman lengketnya. Dan berkata, “Tanpa kamu, mungkin villa ini membuatku takut. Takut ada binatang buas atau ada orang jahat.”

“Di sini tidak ada binatang buas. Keamanannya juga terjamin, karena ada beberapa petugas security yang selalu bergantian menjaga di pintu masuk tadi,” ucapku sambil mengangkat tubuh langsing Anna dan membopongnya ke dalam villa.

Lalu kuajak dia duduk di sofa ruang belakang, agarf bisa memandang indahnya view di bagian belakang villa. Di sofa itu Anna merebahkan kepalanya di atas kedua pahaku sambil berkata, “Indah sekali pemandangannya Yang.”

“Lebih indah lagi kalau kamu rebahannya sambil telanjang Beib.”

“Kamu dong yang lepasin pakaianku biar terasa mesranya,” sahut Anna sambil memegangi pergelangan tanganku.

Kuamati sejenak gaun mini biru ultramarine yang dikenakan oleh Anna itu. Ternyata ritsletingnya ada di depan, memanjang dari paling atas sampai ke ujung terbawah. Sehingga aku takkan kesulitan menanggalkan gaun mini itu.

Sekali tarik ritsleting plastik yang sewarna dengan gaunnya, maka terbelahlah gaun mini itu. Tak ubahnya membuka kimono. Ketika tubuh langsing tapi tidak kurus itu tinggal mengenakan beha dan celana dalam, aku spontan mengangkat dan membopong lagi tubuh mulus itu ke atas bed. di situlah Anna melepaskan behanya, sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya.

Pada waktu aku melepaskan celana dalamnya itulah, aku dibuat terlongong. Karena memek Anna tidak seperti tadi malam lagi. Memeknya sudah bersih dari rambut…!

Sehingga aku langsung bergairah untuk menjilati memek yang sudah bersih plontos itu.

Tapi tentu saja aku tidak langsung menerjang memeknya. Kulepaskan dulu pakaianku sampai tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku. Kemudian kuhempaskan dadaku ke atas dada Anna. Dan mulailah aku mengeksploitir adik Mamie yang jelita itu.

Awalnya, kucium dan kulumat bibir Anna, kemudian mulutku melorot ke arah pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya yang kecil tapi sangat kencang itu. Anna pun bereaksi dengan meremas - remas sepasang bahuku dengan tubuh mulai menghangat.

Setelah agak lama memainkan toketnya yang bisa tergenggam oleh satu tangan, mulutku menurun ke arah perutnya. Kujilati pusarnya sebentar, lalu menurun ke arah memeknya yang sudah bersih dari jembut itu.

“Tadi subuh masih berambut. Sekarang sudah bersih gini. Kapan dicukurnya Beib?” tanyaku sambil menepuk - nepuk permukaan memek Anna perlahan.

“Hihihiii… tadi aku kan duluan bangun. Di kamar mandi kulihat ada pisau cukurmu yang masih baru. Lalu dibersihin deh jembutnya. Ini pertama kalinya aku mencukur memekku Sayang.”

“Mwuaaah… mwuaaaah… kalau bersih gini enak jilatinnya… mwuaaaah…” ucapku sambil menciumi memek Anna yang tampak jadi sangat elok dan erotis di mataku.

Lalu kungangakan bibir memek Anna yang tembem erotis itu. Sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu mulai terlihat jelas di mataku. Bagian yang berwarna pink itulah sasaran awal lidahku.

Anna pun mulai mendesah - desah perlahan, sambil meremas - remas rambutku yang berada di bawah perutnya. “Aaaaaaaaah… Saayaaaang… aaaaah… Yaaaang… aaaaaaaa… aaaaaahhhh…”

Makin lama lidahku makin lahap menjilati memek Anna. Bahkan sesekali kucelucupi kelentitnya yang nongol sebesar kacang kedelai. Setiap kali mencelucupoi kelentitnya, sengaja kusedot - sedot juga bagian terpeka di kemaluan perempuan itu. Sehingga tubuh langsing berisi itu menggelinjang - gelinjang erotis disertai rintihan yang semakin menjadi - jadi, “Sayaaaaang…

Aku pun mengikuti keinginan Anna. Dengan lahap kujilati dan kusedot - sedot kelentit adik Mamie itu, sambil mengeluarkan air liurku yang sengaja kualirkan ke arah liang memeknya (yang tampak masih rapat sekali).

Cukup lama aku melakukan ini semua. Sampai akhirnya aku merasa bahwa permainan oralku sudah cukup “matang”. Air liurku sudah tergenang di bagian dalam kemaluan Anna. Berarti sudah saatnya untuk melakukan penetrasi.

Anna menurut saja ketika kedua pahanya kudorong agarf merenggang selebar mungkin. Kemudian kulepaskan celana dalamku. Sehingga batang kemlauanku yang sudah ngaceng berat ini tak tertutup apa - apa lagi.

Ketika moncong kontolku sudah kuletakkan di ambang mulut memeknya, Anna cuma menatap langit - langit kamar villa berlapis kayu parkit ini.

Lalu dengan sekuat tenaga kudorong kontol ngacengku. Uuuughhhhh…!

Kepala kontolku berhasil masuk, meski terasa belum sepenuhnya masuk. Kudorong lagi sekuatnya… uuuugggghhhh… kontolku membenam sampai lehernya.

Aku pun menghempaskan dadaku ke dada Anna. Lalu kudesakkan lagi kontolku sekuat mungkin.

“Ooooooohhhhh… su.. sudah masuk?” bisik Anna sambil mendekap pinggangku.

“Sudah, tapi baru sedikit,” sahutku disusul dengan dorongan kontolku dengan sekuat tenaga, agar masuk lebih dalam lagi, “Kalau agak sakit tahan ya. Nanti lama - lama juga kerasa enaknya Beib.”

“Iya. Lakukanlah apa pun yang harus dilakukan Sayang…”

Dengan perjuangan yang cukup ulet, akhirnya batang kemaluanku bisa membenam separuhnya. Maka mulailah aku mengayun kontol ngacengku perlahan - lahan. Mata Anna pun terpejam - pejam dibuatnya. Entah apa yang dirasakannya saat aku mulai mengentotnya. Dan merasakan betapa sempit menjepitnya liang kewanitaan adik ibu tiriku itu.

Namun jelas, lama kelamaan aku bisa mengentot liang sanggama yang masih sangat sempit itu, karena liang memek Anna sudah mulai menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku.

“Sakit nggak?” tanyaku yang sedang mengayunm kontolku dalam gerakan masih perlahan.

“Tadi ada perih sedikit,” sahutnya, “tapi sekarang malah jadi enak Yang…”

Aku pun melanjutkan aksiku, mengayun kontolku laksana gerakan pompa manual, bermaju - mundur di dalam liang memek Anna yang luar biasa sempitnya ini.

Anna pun mulai merintih - rintih histeris, “Sayaaang… aaaaa… aaaaah Saaayaaaang… aaaaaah… ini… luar biasa indahnya Yaaaaang… luar biasa enaknyaaaa… oooooh… aku… aku semakin cinta padamu Sayaaaaang…”

Pada waktu aku menyetubuhi Bu Shanti untuk pertama kalinya, aku sangat berhati - hati. Takut menyakiti, takut menimbulkan trauma dan sebagainya. Sehingga aku pun tidak mau terlalu mengulur durasi ejakulasiku.

Tapi pada waktu menyetubuhi Anna ini, aku merasa ingin menikmatinya selama mungkin. Karena liang memek adik Mamie yang luar biasa sempitnya ini, luar biasa pula enaknya.

Aku tahu bahwa Anna sudah orgasme. Lalu ia terkulai lemas. Dan aku pura - pura tidak tahu. Kuentot terus liang memeknya yang sudah basah, tapi masih tetap sempit dan menjepit ini.

Beberapa detik kemudian, Anna pun tampak bergairah lagi. Untuk menikmati entotan kontolku yang baik ukuran mau pun ketangguhannya di atas rata - rata ini.

Rintihan - rintihan histerisnya pun mulai berlontaran lagi dari mulut Anna, “Chepi Sayaaang… ooooohhhh… ternyata bersetubuh ini enak sekali Cheeep… lu… luar biasa enaknya Cheeeep… ayo entot terus Sayaaaang… aku makin gemes dan makin sayang sama kamuuuuu… aaaaah… aaaaah… oooooohhhh…

Tubuh kami pun sudah basah oleh keringat yang bercampur aduk. Sampai pada suatu saat, aku mengajak Anna ganti posisi. Ia menurut saja ketika kusuruh merangkak dan menungging. Sementara aku menoleh ke arah darah di bekas tempat Anna celentang tadi. Darah perawan yang bisa dianggap saksi bisu tapi sangat akurat, bahwa sebelum ditembus oleh kontolku tadi, Anna memang masih perawan.

Keperawanan memang sudah menjadi sesuatu yang langka di zaman sekarang ini. Bahkan menurut survey di tahun 2002 saja, para mahasiswi di sebuah kota besar hanya 4% yang masih perawan. Berarti 96 di antara 100 orang sudah bolong semua, alias bekas dipakai sama kontol. Hanya 4 orang di antara 100 orang yang masih bisa menjaga kesuciannya.

Mungkin pada dasarnbya aku ini seorang cowok yang penyayang dan tidak tegaan. Setelah menyaksikan darah perawan di atas kain seprai putih itu, aku membatalkan niatku untuk menyetubuhi Anna habis - habisan.

Dalam posisi doggy ini Anna cepat ambruk. Berarti itu sudah orgasme yang kedua kalinya.

Kemudian kami kembali ke posisi missionary lagi. Dalam posisi inilah aku berkonsentrasi agar secepatnya ejakulasi. Dan aku berhasil mempercepat durasi ejakulasiku.

Memang untuk mempercepat ejakulasi, terasa mudah bagiku. Yang agak sulit itu memperlambatnya. Karena aku harus memikirkan yang buruk - buruk, agar ejakulasiku lambat datangnya.

Dalam posisi missionary inilah aku mempercepat entotanku. Lalu membenamkan kontolku sedalam mungkin, sehingga terasa moncongnya mentok di dasar liang memek adik Mamie ini.

Lalu kontolku mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Croootttt… croooottttt… crootcroottt… crooooooottttt… croooottttt…!

Aku pun terkapar di atas perut Anna. Tapi, kusempatkan mencium bibir adik Mamie ini, disusul dengan bisikan, “Terima kasih Beib. Aku telah membuktikan keperawananmu barusan. Semoga hubungan kita abadi sampai masa tua kelak.”

Anna menatapku dengan sorot cinta. Dan berkata lirih, “Sekujur tubuh dan jiwaku sudah menjadi milikmu Sayang.”

Aku tersenyum sambil mencabut kontolku dari dalam memek Anna.

“Waaah… seprainya kecucuran darahku Yang,” ucap Anna tampak panik melihat darah perawannya yang mengotori kain seprai putih bersih itu, “Di sini ada mesin cuci?”

“Tenang aja, gak usah panik gitu Beib. Tinggal angkat aja kain seprainya. Nanti biar dicuci sama penunggu villa ini.”

“Ada kain seprai lain?” tanyanya.

“Banyak tuh di lemari itu.”

Dengan cekatan Anna menarik dan menggulung kain seprai yang kecipratan darah perawannya itu. Kemudian mengambil kain seprai baru yang dikeluarkannya dari lemari.

Ketika Anna tengah memasangkan kain seprai baru itu, tiba - tiba handphoneku berdering. Ternyata dari Mbak Nindie. Biasanya kalau Mbak Nindie meneleponku, pasti ada sesuatu yang penting. Maka kuterima call dari kakakku itu :

“Iya Mbak…”

“Chep… ada tamu nih. Kelihatannya penting sekali.”

“Laki - laki atau perempuan tamunya?”

“Perempuan. Bule pula. Dia istri Oom Safiq.”

“Oh iya iyaaa… aku ada urusan bisnis dengannya Mbak. Sekarang masih ada tamunya?”

“Masih. Mau bicara dengannya?”

“Nggak Usahlah. Bilang aja dalam dua jam aku sudah tiba di rumah. Memang aku penting sekali berjumpa dengannya.”

“Sekarang Chepi lagi di mana?”

“Di luar kota. Tapi gak jauh. Hanya belasan kilometer dari rumah.”

“Sebentar… aku mau ngomong dulu sama istri Oom Safiq ya.”

“Iya. Oom Safiq paman Mbak Nindie juga kan? Nama istrinya itu Irenka.”

“Owh… kamu udah tau namanya segala.”

“Dari Papa. Kan Papa yang menghubungkan aku dengannya dalam masalah bisnis.”

“Ya udah aku mau ngomong dulu dengannya.”

Hubungan seluler dengan Mbak Nindie terputus. Mungkin dia mau ngomong sama Tante Irenka dulu.

Sementara aku termenung sambil menyaksikan Anna yang sudah merapikan kain seprai baru itu.

Yang kupikirkan adalah, Papa dan saudara - saudaranya terasa kurang kompak begitu. Dengan istri adik Papa saja aku belum kenal.

Berbeda dengan Mama dan saudcara - saudaranya. Terasa kompak sekali dalam lingkungan keluarganya.

“Telepon dari siapa barusan?” tanya Anna yang sudah mengenakan kimononya.

“Dari Mbak Nindie. Di rumah sedang ada tamu penting. Tamu bisnis,” sahutku sambil mengenakan celana pendek putih dan baju kaus putih pula.

“Terus?”

“Aku harus pulang dulu. Bahkan mungkin harus terbang ke Surabaya. Kalau ditinggal dulu di sini mau gak Beib?”

“Iiih… yang bener aja. Masa aku mau ditinggalkan sendirian di tengah hutan begini?”

“Terus maunya ditinggalkan di mana?”

“Di rumah papamu aja. Ada pembantu kan di rumahnya?”

“Ada. Jadi mau diantarkan ke rumah Papa aja sekarang?”

“Iya.”

“Ohya… jangan lupa minum pil kontrasepsinya Beib. Kecuali kalau kamu ingin mengandung anak kita.”

“Jangan dulu hamil lah.”

Handphoneku berdering lagi. Dari Mbak Nindie lagi.

“Dia mau menunggu Chepi katanya,” kata Mbak Nindie di speaker hapeku.

“Iya Mbak. Aku segera pulang. Tapi mau nganterin adik Mamie dulu. Ohya… Mbak udah dengar berita Mamie belum?”

“Soal Mamie sudah melahirkan?”

“Iya.”

“Tadi pagi aku terima beritanya dari Papa by phone. Mungkin besok pagi mau ke rumah sakit. Sekalian anterin Mamie yang sudah akan pulang besok siang.”

“Iya Mbak. Aku mau langsung berangkat nih. Ajak ngobrol dulu istri Oom Safiq itu ya Mbak. Biar gak kesal nunggu aku datang.”

“Iya.”

Beberapa saat kemudian aku sudah mengemudikan mobilku, meninggalkan pekarangan villa.

“Semoga bisnisnya sukses, ya Sayang,” ucap Anna sambil menyandarkan kepalanya di bahu kiriku.

“Amiiin…” sahutku, “Sejak aku bedlajar berbisnis, ini bisnis terbesar. Makanya penting sekali aku menjumpai tamu yang sedang menunggu di rumahku itu. Maaf ya… sebenarnya kita sedang merasakan keindahan dan kenikmatan… tapi terpaksa harus dihentikan dulu.”

“Gak apa - apa. Dahulukan dulu bisnismu, demi masa depanmu kelak.”

“Masa depan kita. Bukan hanya masa depanku. Kalau bisnis ini goal, aku berani menghamilimu Beib.”

“Tapi halalkan dulu Yang. Biar anak kita bukan anak haram.”

“Yah… kalau disetujui oleh Mamie, aku akan menghalalkannya.”

Setibanya di rumah Papa, aku berkata kepada Anna, “Besok juga Mamie pulang. Pasti kamu ada gunanya Beib. Minimal bisa bantuin Mamie mandiin baby.”

“Iya. Kira - kira berapa lama kamu ngurus bisnismu?”

“Sulit ditebak - tebak. Bisa sehari, bisa seminggu. Tapi moga - moga aja cepat selesai dan sukses. Doakan aku ya Beib.”

“Iya, kudoakan semoga bisnisnya sukses Yang,” sahut Anna sambil mengecup sepasang pipiku.

Lalu aku pulang ke rumahku ketika hari mulai malam.

Kulihat ada sebuah mobil yang lebih mahal daripada mobilku diparkir di depan pintu garasi. Sudah pasti mobil made in England itu punya Tante Irenka.

Ternyata benar. Begitu aku masuk ke ruang tamu, seorang wanita bule yang usianya kutaksir sekitar tigapuluh tahunan, langsung bangkit dari sofa dan berjabatan tangan denganku.

“Irenka…”

“Chepi…”

“Jadi kamu anaknya Bang Adrian?” tanyanya dengan tangan masih menggenggam tanganku.

“Betul Tante Irenka…”

“Buat lidah orang Indonesia, mungkin lebih mudah menyebut namaku Iren aja. Gak pakai Tante juga gak apa - apa. Karena di Eropa, terkadang kepada ibu pun memanggil namanya saja.”

“Iya… iyaaa… tapi karena aku orang Indonesia, aku akan tetap memanggil Tante… mm… Tante Iren.”

“Oke… kita bisa langsung berbicara masalah ketiga kapal tanker itu ya,” ucap Tante Irenka sambil menarik tanganku dan mengajak duduk berdampingan di sofa.

Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku.

“Kapal - kapal tanker itu milik siapa?” tanyanya dengan sikap yang sangat familiar.

“Punya orang. Tapi surat - suratnya sudah atas namaku semua Tante,” sahutku.

“Owh… berarti kita tidak perlu moderator, arranger dan sebagainya. Karena pihak buyer pun sudah menyerahkan segalanya padaku. Ohya, foto - fotonya sudah kulihat dari papamu. Tapi di situ tidak tercantum ukuran tonasenya.”

“Ketiga kapal tanker itu terdiri dari satu kapal ULCC (Ultra Large Crude Carrier), berkapasitas 500.000 ton. Dan dua kapal VLCC (Very Large Crude Carrier/Malaccamax), berkapasitas 300.000 ton.”

“Kondisinya memang bagus kan?”

“Semuanya barang second Tante. Tapi kondisinya bisa disebut delapanpuluhlima persen lebih. Bahkan bisa disebut sembilanpuluh persen.”

“Oke. Yang jelas ketiga - tiganya masih layak melaut kan?”

“Masih Tante. Soal itu sih kujamin masih bagus, karena baru selesai diservice dan direnovasi semuanya.”

“Kapal - kapalnya ada di mana sekarang?”

“Di Surabaya Tante.”

“Wow. Berarti kita harus ke Surabaya ya.”

“Iya Tante. Pakai pesawat sejam setengah juga tiba di Surabaya.”

“Kalau ke Surabaya, aku justru ingin pakai mobil aja. Satu mobil aja, biar kita bisa gantian nyetir nanti,” sahut Tante Irenka.

Pada saat itu belum ada jalan tol trans Jawa. Jadi paling juga harus lewat pantura. Untuk mencapai Surabaya dibutuhkan waktu lebih dari 12 jam, kalau menggunakan mobil pribadi. Setelah ada tol memang bisa hemat waktu, tapi biayanya lebih besar (untuk bayar jalan tol).

“Mau pakai mobilku apa mau pakai mobil Tante aja?” tanyaku.

“Pakai mobilku aja,” sahutnya, “Tapi gantian nyetir nanti ya.”

“Oke. Lalu mau berangkat kapan?” tanyaku lagi.

“Sekarang aja. Untuk jalan jarak jauh mendingan juga malam.”

“Tante bawa pakaian untuk ganti?”

“Ada. Selalu siap pakaian ganti di dalam bagasi mobilku.”

Lalu kami merundingkan lagi masalah harga ketiga kapal tanker itu. Dengan sedikit di mark up dari harga yang diputuskan oleh Tante Aini. Uang kelebihan itu nantinya kusediakan untuk Anna. Minimal harus jadi rumah untuknya, jika bisnis ini sukses.

Memang kalau dibandingkan dengan harga barunya, harga ketiga kapal tanker itu jauh lebih murah. Tidak sampai 50% dari harga barunya. Tapi tetap saja harga ketiga kapal tanker itu setelkah dijumlahkan, jadi duabelas nolnya.

“Kalau keadaan ketiga kapal itu kondisinya bagus seperti yang Chepi jelaskan, harganya cukup murah tuh. Tapi kepastiannya nanti saja, setelah aku melihat kondisi ketiga kapal tanker itu. Oke?”

“Oke Tante.”

Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk di dalam mobil Tanted Irenka, yang ia kemudikan sendiri.

“Waktu pertama kali melihatmu tadi, aku sangat terkejut Chep,” ucap Tante Irenka di belakang setir mobilnya yang terasa nyaman didudukinya ini.

“Kenapa terkejut Tante?” tanyaku heran.

“Wajah dan gerak - gerikmu mirip pacarku waktu masih kuliah di Jakarta dahulu.”

“Lho… kata Papa, Tante ini orang Czech, lalu ketemu dengan Oom Safiq di Prague…”

“Informasi yang salah. Ayah dan ibuku memang berdarah Czech. Tapi aku lahir dan dibesarkan di Jerman. Kemudian aku mendapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta. Pada saat itulah aku pacaran sama orang Indonesia yang bentuknya sangat mirip kamu Chep. Tapi sekarang dia tentu sudah berumur. Tidak semuda kamu lagi.

“Terus, ketemu dengan Oom Safiq di mana?”

“Di Jerman. Itu setelah aku selesai kuliah. Tapi kemudian aku sering mengunjungi Prague, kota leluhurku. Maka makin seringlah aku ketemu dengan pamanmu di Prague, karena pamanmu saat itu bertugas di Czech Republic. Dalam pengakuannya, pamanmu seorang duda beranak cewek dua orang. Istrinya meninggal sebelum dia bertugas di Prague.

“Terus dengan pacar yang orang Indonesia itu putus?”

“Iya. Dia berkeras agar aku melebur ke dalam agamanya. Tapi aku tidak bisa. Sementara pamanmu tidak memintaku jadi mualaf. Maka aku pun menerima lamarannya, lalu kami menikah di Prague. Begitu ceritanya.”

“Sekarang usia pacar Tante yang orang Indonesia itu kira - kira berapa tahun?”

“Sudah tua lah. Dia itu lima tahun lebih tua dariku. Sekarang usiaku sudah tigapuluh tahun. Berarti dia sudah tigapuluhlima tahun. Hmm… setelah melihatmu, aku merasa seolah - olah ketemu dengan reinkarnasi pacarku itu Chep.”

“Kalau boleh tau, siapa nama pacar Tante itu?”

“Panji.”

“Ya udah… anggap aja aku ini reinkarnasi Panji. Hehehee…”

Tante Irenka mengurangi kecepatan mobilnya. “Serius?!”

“Tentu aja serius. Cowok mana yang tidak tertarik oleh wanita yang cantik seperti Tante.”

Tiba - tiba Tante Irenka meminggirkan mobilnya sampai menginjak bahu jalan. Lalu menghentikan mobilnya, sekaligus mematikan semua lampu, tapi mesinnya tetap dinyalakan. Tanpa canggung - canggung lagi Tante Irenka merangkul leherku dan… mencium bibirku…!

Ooooh… apakah aku akan mengalami kisah baru di dalam perjalanan hidupku?

Mau giliran nyetir?” tanya Tante Irenka setelah ciumannya terlepas.

“Boleh,” sahutku sambil membuka pintu di sebelah kiriku. Lalu turun dari mobil di kegelapan malam itu. Tante Irenka pun turun dari pintu sebelah kanannya, lalu kami bertukar tempat.

Ternyata sedan buatan UK itu tiptronic juga seperti mobilku. Bisa matic, bisa juga manual.

Setelah menyalakan sign ke kanan dan lampu sorot depan, kuluncurkan mobil Tante Irenka ini dengan dendang baru di dalam batinku. Sangat berbeda dengan dendang Mama Aleta, karena Tante Irenka masih muda. Baru 30 tahun. 11 tahun lebih tua dariku.

“Oom Safiq sudah mengijinkan Tante berlama - lama di Surabaya nanti?” tanyaku sambil menyetir sedan punya Tante Irenka yang ternyata lebih nyaman daripada mobilku.

“Sudah mengijinkan. Apalagi setelah mendengar bahwa aku akan bersama anak Bang Adrian. Aku minta ijin paling lama dua minggu di Surabaya,” sahut Tante Irenka sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.

“Hitung - hitung sambil bernostalgia, ya Tante,” kataku sambil menjulurkan tangan kiriku, untuk memegang bahu kiri Tante Irenka.

“Chepi… aku ada usul nih. Bagaimana kalau kita beristirahat aja di Cirebon?” tanyanya setengah berbisik, disusul dengan gigitan kecil di daun telingaku.

“Mau check in di hotel maksud Tante?”

“Iya. Cari aja hotel bintang lima atau empat di Cirebon.”

“Tante udah pengen tidur?” tanyaku.

Tante Irenka menyahut dengan bisikan, “Pengen ditiduri… sama Chepi. Bukan sekadar pengen tidur biasa.”

“Siap Tante. Heheheee…”

Tante Irenka menatapku sambil tersenyum, “Siap apa?”

“Siap nidurin Tante…” sahutku lugu.

Tante Irenka tersenyum. Lalu mencium pipi kiriku, “Emwuaaaaah… !”

Tidak sulit mencari hotel berbintang di kota udang ini. Tapi tadi Tante Irenka menyebut bintang 5 atau 4. Berarti minimal harus mendapatkan hotel four star.

Aku sendiri bisa beradaptasi tidur di hotel melati tiga sekali pun. Namun mungkin Tante Irenka tidak biasa menginap di hotel biasa - biasa saja.

Akhirnya kudapatkan kamar di sebuah hotel bintang empat. Karena aku tak menemukan hotel bintang lima di kota ini, entah kalau sekarang sih.

Hotelnya cukup megah dan resik. Sehingga Tante Irenka pun langsung setuju ketika aku mau check-in di hotel ini.

Tapi ketika aku mau membayar di front office, Tante Irenka langsung memberikan kartu kreditnya ke resepsionis. Kubiarkan saja. Mungkin karena dia yang mengajak istirahat di Cirebon, maka dia juga yang merasa harus membayarnya.

Hotel yang cuma tiga lantai ini menyediakan kamar buat kami di lantai tiga, lantai tertinggi di hotel ini. Sementara jam tanganku sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Tapi Tante Irenka tampak begitu bersemangat. Sejak masih di dalam liftg, lengannya melingkari pinggangku terus. Apalagi setelah berada di dalam kamar bernomor 333 itu. Ia memberi tip kepada bellboy yang mengantarkan kami sekaligus menjinjing tas pakaian kami. Dan setelah bellboy itu berlalu, Tante Irenka meletakkan kedua lengannya di sepasang bahuku.

Lalu bergegas ia menuju ke kamar mandi, meninggalkanku sendirian sambil memandang ke luar lewat jendela kaca yang dipasang permanen (tidak bisa dibuka, karena kamar ini dipasangi AC).

Tak lama kemudian Tante Irenka muncul dari kamar mandi, dalam keadaan yang sudah berubah. Tubuh putih mulusnya hanya dibebat oleh sehelai handuk hotel. Dan aku yakin, di balik handuk hotel itu tiada apa - apa lagi selain tubuh bule Tante Irenka.

Lalu ia merentangkan kedua lengannya sambil berkata, “Pangeran…! Aku siap ditiduri olehmu… !”

Aku tersenyum sambil menghampiri wanita bule yang sedang berdiri di dekat bed itu. Tanpa canggung kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat.

Tante Irenka terbelalak ketika pandangannya tertuju ke arah tongkat kejantananku yang sudah agak tegang tapi belum ngaceng full ini. Lalu ia melepaskan handuk putih itu, sehingga dugaanku terbukti. Bahwa setelah handuk itu dilemparkan ke bed, aku bisa menyaksikan indahnya sekujur tubuh istri Oom Safiq yang sudah telanjang bulat itu.

Tiada kata - kata yang terlontar dari mulut kami. Karena kami mulai melakukan body language (bahasa tubuh). Saling peluk dan menghempaskan diri ke atas bed.

Hmm… tubuh Tante Irenka terasa hangat ketika kedua tanganku mulai memegang sepasang toketnya yang lumayan gede dan indah sekali bentuknya itu.

Pada saat yang sama, Tante Irenka memegang kontolku sambil berkata, “Penismu jauh lebih gede daripada penis pamanmu.”

“Dalam bahasa Czech penis itu apa”

“Péro… kalau penis gede disebut velký péro… hihihi… sudah kebayang… Chepi pasti akan membuatku puas malam ini.”

Sebagai jawaban kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya dengan lembut. Tubuh Tante Irenka pun semakin menghangat.

Tapi aksiku ini hanya awalnya saja. Karena kemudian aku melorot turun, sehingga wajahku berhadapan dengan kemaluan wanita bule 30 tahunan itu. Kemaluan yang sangat bersih, tiada jembutnya sehelai pun. Lalu kuusap - usap memek putih yang bersih ini. “Vaginanya diwaxing Tante?”

“Dua minggu yang lalu aku ke German. Waxing sudah tidak populer lagi di sana,” sahutnya.

“Lalu diapain sampai bisa bersih begini?”

“Pakai sinar laser.”

“Owh… hasilnya bersih sekali Tante,” ucapku disusul dengan menciumi memek Tante Irenka yang bersih dan harum ini (mungkin dia menggunakan pengharum di kamar mandi tadi).

Lalu kami tidak berbicara lagi, karena aku sudah mengangakan bibir luar vagina Tante Irenka dan menjilati bagian dalamnya yang berwarna pink itu.

Tante Irenka pun terdiam sambil mengusap - usap rambutku yang berada di bawah perutnya. Mungkin dia sedang menikmati jilatan dan isapanku. Ya, karena aku tak cuma menjilati bagian dalamnya yang berwarna pink itu, melainkan juga menjilati clitorisnya disertai dengan isapan - isapan kuat. Sehingga kelentitnya mulai menonjol, sudah keluar dari selubungnya.

Hanya belasan menit aku melakukan semuanya ini. Dan ketika terasa air liurku sudah membasahi bagian dalam memek Tante Irenka, aku pun berlutut sambil meletakkan moncong kontolku yang sudah ngaceng berat ini di ambang mulut vagina Tante Irenka.

Kedua kaki Tante Irenka pun spontan terangkat dan mengangkang.

Tanpa basa - basi lagi kudesakkan kontolku sekuatnya. Dan… blessssss… mulai membenam ke dalam liang memek wanita bule itu.

Tante Irenka menarik kedua tanganku, sehingga dadaku terhempas ke sepasang toket gedenya yang cantik bentuknya itu. Sementara kedua kakinya berada di atas bokongku.

Maka mulailah aku mengayun kontolku, bermaju - mundur di dalam liang memek wanita bule itu.

Ketika entotanku masih perlahan, terdengar bisikan Tante Irenka di dekat telingaku, “Kalau bisnis kita sukses, hubungan ini harus berjalan terus ya.”

“Oke,” sahutku. Lalu aku mulai mempercepat entotanku, sambil menciumi dan menjilati leher Tante Irenka.

Wanita bule itu pun mulai mendekap pinggangku sambil menggoyang pinggulnya secara sederhana tapi terasa hidup sekali. Karena yang terpenting ia bisa menggesek - gesekkan kelentitnya dengan batang kemaluanku. Sehingga terasa sekali betapa bergairahnya Tante Irenka ini menikmati genjotan kontolku. Terlebih sekali ketika jilatanku di lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil, desah - desah nafasnya yang berbaur rintihan - rintihan histerisnya pun mulai berkumandang di dalam kamar hotel ini.

“Oooooh… ooooo… ooooohhhh… Chepiiii… your dick is amazingly delicious… come on… fuck me harder Cheeep… fuck me… fuck… fuck… oooooh… fuck me harder please…”

Mendengar rintihan itu, aku jadi semakin bernafsu, untuk mengentotnya sekeras mungkin seperti yang diinginkannya. Maka gerakan batang kemaluanku yang tadinya cenderung softcore pun berubah menjadi hardcore. Kontolku menggenjot liang memek Tante Irenka dengan cepat dan keras. Gedak - geduk maju mundur dengan massive -nya.

Tante Irenka menyambut entotan kerasku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu ia memagut dan melumat bibirku dengan lahapnya, dengan mata merem melek. Kadang menatap mataku, kadang terpejam. Sementara pinggulnya tetap bergoyang - goyang efektif. Bukan goyang karawang yang meliuk - liuk dan menghempas - hempas itu.

“Lubang vagina Tante masih sangat sempit. Uuuugh… uuuugh… seperti belum pernah melahirkan,” ucapku pada suatu saat.

“Aaaaa… aaaaaah… aku memang belum pernah hamil Chepi…” sahutnya sambil merapatkan pipinya ke pipiku, “Oom Safiq kan pernah stroke berat… yang membuat penisnya tidak normal lagi…”

“Impoten?”

“Masih bisa ereksi… tapi selalu ejakulasi prematur… ooooh… ma… makanya aku ingin agar kamu menjadi pangeranku mulai saat ini…”

“Siap Tante… aku tak mau hipokrit… vagina Tante ini luar biasa enaknya… oooghhhh… benar - benar enak Tante… uuuughhhh…”

“Your dick juga luar biasa enaknya Cheeep… ooooh… ooooh…”

Tante Irenka mulai klepek - klepek. Mulai berkelojotan. Dan aku menyadari apa yang bakal terjadi. Karena itu kugenjot kontolku dengan gencarnya. Sampai pada suatu saat, ketika Tante Irenka mengejang tegang “I am coming… “rintihnya yang lalu terhenti karena mulai menahan nafas dalam kejangnya itu.

Lalu kunikmati sesuatu yang luar biasa indahnya. Bahwa ketika batang kemaluanku sedang ditancapkan tanpa digerakkan dulu, kurasakan liang memek wanita bule itu berkedut - kedut kencang, disusul dengan gerakan seperti ular membelit batang kemaluanku… diikuti dengan terbitnya lendir libido Tante Irenka, yang membuat liang memeknya jadi basah dan hangat sekali.

“Aku sangat suka merasakan wanita orgasme seperti ini. Indah sekali…”

Lalu kutawarkan untuk mengubah posisi. Karena setahuku wanita bule senang main dalam posisi doggy atau WOT.

Tapi di luar dugaanku, Tante Irenka menyahut, “Aku hanya menyenangi posisi missionary begini. Karena hanya posisi inilah yang paling nikmat bagiku. Tapi tunggu sebentar ya, jangan digerakkan dulu penismu. Aku ingin menghayati indahnya orgasme yang kualami barusan.”

Kuikuti saja keinginannya. Kumainkan toket gedenya sambil berkata, “Your breasts are so beautiful…”

“Terima kasih,” sahut Tante Irenka sambil mengusap - usap rambutku, “Ayo lanjutkan lagi… sekarang aku sudah siap…”

Aku tersenyum sambil mengayun kontolku kembali. Yang disambut dengan ciuman dan lumatan Tante Irenka. Bahkan lalu lidahku disedot ke dalam mulutnya, lalu digeluti oleh lidahnya. Di saat lain, ketika lidahnya dijulurkan, kusedot lidah itu ke dalam mulutku.

Sementara itu entotanku makin lama makin kencang dan keras. Karena Tante Irenka menghendakinya begitu.


Posting Komentar untuk "Fantasi Hayalan Sedarah Yang Jadi Kenyataan ( Bagian 3 )"