Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kontak Maulidya Rina

Fantasi Hayalan Sedarah Yang Jadi Kenyataan ( Bagian 5 )


Sebulan kemudian …

Seperti yang sudah direncanakan, pernikahanku dengan Nike dilaksanakan secara sederhana saja. Yang penting keluarga Nike dan keluargaku ada yang hadir.

Jujur, aku mampu melaksanakan pesta dengan biaya sebesar mungkin. Tapi aku tak mau pernikahanku jadi bahan gunjingan orang - orang. Karena itu teman kuliah pun tiada yang diundang. Yang penting, dari pihakku ada Papa dan Mamie yang hadir. Meski pihak laki - laki tidak membutuhkan wali, tapi kehadiran mereka sangat penting bagi jiwaku.

Aku pun mengajak Mama kandungku untuk menghadiri akad nikahku dengan Nike. Tapi Mama menolaknya secara halus. Beliau berkata, “Biarlah ibu tirimu saja yang hadir. Supaya dia tambah sayang padamu. Mama sih ikut mendoakan saja dari jauh, semoga pernikahanmu berjalan lancar. Nanti setelah akad nikah selesai, bawalah istrimu ke sini.

Bukan hanya Mama, aku pun mengundang Tante Aini yang merupakan sosok terpenting dalam dunia bisnisku. Tapi Tante Aini sudah tinggal menunggu harinya saja untuk melahirkan. Sehingga beliau takkan bisa hadir dalam pelaksanaan akad nikahku.

Dari pihakku, bukan hanya Papa dan Mamie yang hadir. Anna juga dibawa serta oleh Mamie.

Tante Irenka dan Anastazie juga datang, sesuai dengan undangan lisan dariku.

Yang sangat mengharukan adalah… Niko sudah jadi mualaf. Sehingga dia bisa dijadikan wali Nike.

Aku tidak tahu apakah Niko jadi mualaf karena ingin mengikuti jejak adiknya atau sengaja supaya bisa jadi wali Nike pada saat dilaksanakan akad nikahku dengan adiknya. Entahlah.

Yang jelas, famili Nike banyak yang sudah menjadi mualaf. Dan mereka hadir semua pada saat akad nikahku dengan Nike.

Namun di tengah kesibukan pada pelaksanaan akad nikahku ini, aku ingat terus kepada Mama. Karena beliau adalah sosok terpenting bagiku.

Mungkin Mama ingin menghindari Mamie. Mungkin Mama membayangkan bahwa pada waktu menyaksikan akad nikahku, Papa pasti berdampingan dengan Mamie. Mungkin hal itu yang ingin dihindari oleh Mama.

Maka setelah tamu - tamu pada pulang, aku mengajak Nike untuk mengunjungi rumah Mama, seperti yang Mama inginkan.

Pada saat itu Niko yang nyetir mobilku. Karena pengantin tidak boleh nyetir sendiri katanya.

Dalam perjalanan menuju rumah Mama yang letaknya agak jauh di kota itu, aku dan Nike duduk di belakang. Sementara Niko sendirian di belakang setir mobilku.

Aku dan Nike masih mengenakan pakaian pengantin. Agar Mama merasa senang melihatnya nanti.

Setibanya di rumah Mama, aku terkejut karena melihat di depan rumah Mama sudah berderet mobil diparkir. Di halaman samping pun dipasang tenda segala.

Ternyata adik - adik Mama sudah hadir semua, kecuali Tante Aini yang menurut kabar terakhir sudah masuk rumah sakit bersalin di Jakarta.

Adik - adik Mama yang tampak hadir, Tante Dahma, Tante Iqrah, Tante Hibba, Tante Rafna, Tante Shaza, Oom Bahrul dan Oom Salam. Semuanya datang bersama suami dan istrinya masing - masing. Bahkan banyak juga yang membawa anak - anak dan orang - orang yang belum kukenal.

Inilah kompaknya keluarga Mama. Kalau ada event penting, pasti mereka berkumpul semua. Jauh berbeda dengan keluarga Papa. Hanya Tante Irenka yang hadir. Sementara adik kandung Papa tidak ada yang hadir seorang pun. Mungkin juga karena Papa tidak memberitahu mereka, entahlah.

Aku pun bersujud di depan Mama yang duduk di sofa ruang tengah, memohon doa restunya. Mama bercucuran air mata sambil menciumiku. Begitu pula waktu Nike giliran bersujud di depan Mama. Mama membelai rambut Nike dan menciumi sepasang pipinya. Lalu dengan suara sendu Mama menyatakan restunya. Kemudian Mama memasangkan seuntai kalung emas bertatahkan berlian di leher Nike, sambil berkata, “Kalung ini pemberian almarhumah ibu mama.

Adik - adik Mama dan pasangannya masing - masing menyalamiku dan Nike secara bergiliran. Mereka mendoakanku agar menjadi suami istri yang samawa dan cepat diberi momongan.

Dan suatu tradisi di keluarga Mama pun terjadi. Adik - adik Mama pada ngasih kalung emas kepada Nike. Mereka mengalungkan hadiahnya masing - masing di leher Nike. Sehingga ditambah dengan kalung berlian dari Mama, Nike jadi mengenakan 8 kalung mdi lehernya…!

Aku tersenyum - senyum saja menyaksikan semuanya itu. Dan sekali lagi aku menyaksikan kekompakan keluarga Mama. Kekompakan yang tidak kusaksikan di lingkungan keluarga Papa.

Dan yang paling mengejutkan, Mama menarik pergelangan tanganku, menuju ke sebuah sedan sport putih yang aku tahu harganya mahal sekali. “Sejam yang lalu sedan ini baru datang. Hadiah perkawinan dari Tante Aini untukmu. Dia sangat menyesal karena tidak bisa menghadiri akad nikahmu, karena sekarang sudah harus masuk ke rumah sakit bersalin.

Aku tercengang. Hadiah yang sangat gila - gilaan menurutku (kalau buat konglomerat mungkin biasa - biasa saja). Karena aku tahu harga sedan sport putih itu 5 kali lebih mahal daripada sedan kesayanganku.

Nike yang berdiri di sampingku bergumam di dekat telingaku, “Mobilnya keren habis Bang. Harganya mahal sekali kan?”

Kusahut dengan setengah berbisik, “Iya hadiah dari pemilik perusahaan kita yang sebenarnya.”

“Owh… dari beliau?” gumam Nike.

“Iya. Dia sedang di rumah sakit bersalin. Mau melahirkan. Makanya gak bisa datang di pernikahan kita. Kalau kamu mau, sedan sport ini bisa dipakai untuk ke kantor setelah resmi dinobatkan sebagai direktur utama nanti.”

“Nggak ah. Aku ngeri makainya juga. Kalau Abang mau ngasih mobil, cariin yang murah aja Bang. Supaya aku tidak grogi nyeitrnya.”

“Iya. Sedan sport ini mungkin akan disimpan saja. Tapi selama berbulan madu, tiada salahnya kalau kita pakai.”

Nike mengangguk sambil tersenyum manis.

Tapi aku tak bisa berlama - lama menyaksikan berkilaunya sedan sport putih itu, karena Oom Bahrul memanggilku. Untuk melaksanakan doa bersama di ruang tengah yang lantainya sudah ditilami permadani Turki sekujurnya.

Oom Bahrul sendiri yang memimpin acara doa syukuran itu.

Setelah acara doa syukuran selesai, kami makan bersama. Ternyata Mama sudah menyediakan makanan selengkap mungkin. Bahkan jauh lebih lengkap daripada di rumah Nike tadi. Tamu - tamu pun tampak lebih banyak di rumah Mama ini.

Setelah makan bersama selesai, saudara - saudara Mama pada minta berfoto dengan kami (dengan pengantin baru… hihihihiii). Lalu mereka pun pada minta tukaran nomor handphone. Siapa tahu kelak ada perlu atau berniat mengadakan reuni keluarga besar Mama.

Setelah malam semakin larut, tamu - tamu pun pada pulang. Begitu juga aku, harus meninggalkan rumah Mama. Meski hatiku berat meninggalkan mama kandung tercintaku itu.

Dalam perjalanan pulang, mobilku dibawa oleh Niko. Sementara aku dan Nike menggunakan sedan sport putih yang aduhai itu.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyaku ketika Nike menyandarkan kepalanya di bahi kiriku.

“Bahagia,” sahutnya, “Sangat bahagiaaa…”

“Jadi istriku sudah. Sekarang persiapkan dirimu untuk mempimpin perusahaan. Walau pun usia kita masih sama - sama muda, yakinkan dirimu bahwa kamu akan mampu memimpin perusahaan mulai sebulan lagi.”

“Iya, tapi Ayang harus membimbingku juga nanti. Untuk sementara, mungkin aku tak bisa dilepas begitu saja.”

“Itu sih pasti. Yang penting pelajari terus buku - buku tentang managemen dan leadership. Karena anak buah kita rata - rata lebih tua dari kita. Sarjana semua pula.”

Sedan sport itu dimasukkan ke dalam garasi rumahku. Tapi malam itu aku akan menginap di rumah baru yang kuhadiahkan kepada Nike itu.

“Sekarang kita belum punya pembantu. Jadi segala sesuatunya harus dikerjakan sendiri. Nanti kucarikan pembantu yang cocok untuk meladeni kita di rumah ini,” kataku setelah berada di dalam rumah baru itu.

“Gak ada pembantu juga gakpapa. Biar aku bisa meladeni suami sendirian.”
“Memangnya kamu bisa masak?”
“Bisa lah. Tapi chinese food bisanya.”

“Aku suka kok chinese food. Tapi yang halal. Seperti restoran… “kusebutkan nama restoran chinese food yang serba halal itu.

“Iya dong. Aku juga kan sudah jadi mualaf. Makanan harus serba halal. Ohya… daripada nyari pembantu, mendingan kita rekrut aja kakak sepupuku. Dia jago masak Bang.”

“Dia sudah jadi mualaf?”
“Sudah lama, sebelum aku lahir juga sudah jadi mualaf.”
“Emangnya kakak sepupumu itu sudah tua?”

“Tigapuluhlima tahunan gitu. Pokoknya tiga atau empat tahun lebih muda dari Mama. Tapi dia tetap manggil tante sama Mama. Dia sih sigap kerjanya Yang.”

“Punya suami?”

“Justru setahun yang lalu suaminya meninggal karena tabrakan di Puncak. Dia jadi janda. Dan sejak menjanda, aku ikut priihatin melihat nasibnya. Maka kalau diajak ke sini, kita bisa bantu juga kesulitan - kesulitan dia.”

“Memang dulunya suami dia itu kerja apa?”
“Cuma jadi sopir mobil box Yang.”
“Owh gitu. Ya udah, kamu tentu tau yang terbaik buat kita di sini. Terutama untuk meladeni kebutuhanmu di rumah setelah jadi dirut nanti.”

Nike mengangguk - angguk sambil tersenyum manis.

Manis sekali senyum Nike itu. Memang tidak salah aku menjadikannya istriku.

45 hari kemudian …

Sebulan paska hari perkawinanku dengan Nike, kantor baru itu sudah selesai dibangun, di atas lahan 1 hektar (10.000 m2). Tapi penataannya butuh waktu dua minggu, karena kontraktor menyerahkan bangunan itu dalam keadaan kosong melompong semua.

Maka aku dan Nike dibuat sibuk untuk menata ruangan demi ruangan. Tentu saja setelah membeli segala perabotannya yang layak untuk kebutuhan kantor, seperti meja - meja kerja dan kursinya masing - masing. Di setiap meja pun ada monitor komputer, sementara PCnya disembunyikan di bawah meja masing - masing.

Bangunan kantor itu hanya satu lantai. Tapi atapnya dicor sekujurnya, untuk mempersiapkan diri, siapa tahu kelak harus dibangun dua atau tiga lantai.

Tapi pada dasarnya aku tidak ingin bangunan kantor yang mencolok. Karena kalau kantor baru itu terlalu megah, belum apa - apa bisa didatangin orang pajak. Maka biarlah kelihatannya sederhana dari luar, tapi kalau sudah masuk ke dalamnya akan kelihatan modernnya kantor perusahaanku ini.

Pemasangan meja, kursi, lemari dan sebagainya diatur sedemikian rupa supaya serba praktis. Tapi untuk menata semuanya itu butuh waktu dua minggu.

Yang sangat menyenangkaqn adalah semangat Nike itu, tidak kenal lelah. Seharian di kantor baru itu untuk menata ini - itu, dibantu oleh beberapa buruh harian.

Nike tidak perlu selalu bersamaku lagi. Karena dia sudah kubelikan mobil baru, sesuai dengan keinginannya. Mobil yang harganya di bawah 300 juta. Tapi Nike tampak senang sekali, karenaa sedan merah maroon metalic itu sudah lama diidam - idamkannya, meski menurutku kurang aduhai. Maklum sedan matic yang harganya tidak seberapa.

Sementara itu kakak sepupu Nike yang suka dipanggil Chichi Sui itu sudah tinggal di rumahku sejak seminggu paska hari pernikahanku dengan Nike. Waktu itu Nike bilang, bahwa nama kakak sepupunya itu Nyung Sui. Tapi Nike membiasakan memanggilnya Chi Sui saja. Setahuku Chichi itu berarti kakak perempuan, sementara kakak lelaki suka dipanggil Koko.

Karena itu aku pun memanggilnya Chichi saja, terkadang juga memangilnya Chi Sui. Ikut - ikutan pada Nike saja.

Memang Chi Sui itu rajin orangnya. Enak pula masakannya. Karena itu aku berjanji di dalam hati, untuk memberikan gift atau reward pada suatu saat kelak. Sebagai tanda besarnya hatiku menyaksikan keuletan, kerajinan dan ketrampilannya di rumah baru ini.

Sejak menikah dengan Nike, aku jadi selalu menginap di rumah baru yang sudah kuhadiahkan untuk Nike itu. Entah kenapa, rasanya hatiku nyaman sekali tinggal di rumah baru ini. Meski keadaannya tidak semewah di rumahku, namun hatiku nyaman, karena berada di dekat pendamping hidupku.

Sebenarnya aku sudah mengajak Nike untuk berbulan madu di luar negeri. Tapi Nike menolaknya secara halus dengan kata - kata, “Gak usahlah Sayang. Kita kan sedang siap - siap untuk membuka kantor baru itu. Kalau mau ngajak tour ke luar negeri, nanti aja setelah kita santai.”

Meski tawaranku ditolak oleh Nike, aku justru tambah kagum padanya. Karena semua yang dikatakannya itu benar. Bahwa saat ini kami sedang sibuk - sibuknya menata kantor baru itu. Kalau memperturutkan kata hatinya, tentu saja Nike akan menyetujuiku untuk berbulan madu di luar negeri. Tapi dia mengutamakan perusahaan dulu.

Mudah - mudahan saja Nike bisa memimpin perusahaanku (yang sebenarnya perusahaan Tante Aini, tapi secara hitam di atas putih akulah ownernya). Walau pun Nike masih sangat muda, tapi dia itu istriku. Maka wajarlah kalau aku mengangkatnya sebagai dirut. Karena sebagai “owner” aku tidak bisa duduk sebagai dsirut.

Tapi sebelum perusahaan itu berjalan secara sehat, tentu saja aku akan terus - terusan membimbing Nike, agar jangan mengeluarkan kebijakan yang tidak menguntungkan bagi perusahaan.

Ohya, ada yang terlupakan ditulis di sini. Bahwa dua hari setelah akad nikahku, Tante Aini mengirim berita via WA. Isinya hanya sekadar laporan, bahwa beliau telah melahirkan anak laki - laki, yang lalu diberi nama Abdullah oleh “ayahnya”. Beliau juga memberitakan tentang kegembiraan suaminya karena sudah mendapatkan “anak” cowok dari Tante Aini.


Bahkan ketika bangunan kantor baru itu baru diserahkan oleh kontraktornya, datang pula berita dari Mbak Susie. Bahwa ia tengah mengandung anakku juga.

Berarti tanpa nikah pun aku sudah punya anak dua, dari Mamie dan Tante Aini. Kemudian anakku bakal jadi tiga orang kalau Mbak Susie sudah melahirkan nanti.

Hahahaaaa… siapa suruh aku jadi pejantan? Mereka sendiri yang menginginkannya kan?

Namun tentu semua ini sudah tertulis dari sananya. Bahwa aku ditakdirkan untuk menjadi seorang pejantan…!

Untuk menyatakan kebahagiaannya, Mbak Susie mentransfer sejumlah dana ke rekening tabunganku. Bahkan kalau dihitung - hitung, yang membelikan mobil Nike itu bukan aku, melainkan Mbak Susie. Karena jumlahnya lebih besar daripada harga mobil baru untuk Nike itu…!

Sementara itu aku sudah menempatkan adik Mamie yang bernama Anna itu seperti yang sudah kujanjikan. Dijadikan kepala gudang dan menempati rumah kecil yang tak jauh dari gudang itu.

Anna tampak senang sekali mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar itu. Tapi ketika kutanyakan apakah ia masih berminat menjadi istri mudaku, Anna menjawab, “Gak usah resmi - resmian deh. Karena setelah dipikir - pikir, kasihan sama Nike itu. Tampaknya dia sangat tulus mencintaimu Chep. Biarlah tak usah menikah denganku secara resmi.

Adik Tante Irenka yang bernama Anastazie itu pun mengatakan hal yang serupa ketika kutawarkan untuk menjadi istri keduaku. Hanya bahasanya saja yang berbeda, namun kesimpulannya Zie menolak. Lagian menurutnya, di Eropa sudah biasa anak muda melakukan hubungan sex tanpa harus menikah.

Aku sih tidak mau memaksa orang yang ragu, apalagi yang menolaknya secara halus. Nikah atau tidak, nothing to loose buatku. Karena keperawanan yang dipecahkan bukan ada di dalam fisikku. Tadinya aku hanya ingin mempertanggungjawabkannya, makanya aku mau menikahi Anna dan Anastazie. Tapi kalau mereka menolak dengan berbagai macam alasan, terserah merekalah.

Karena itu biarlah aku konsen pada Nike saja sebagai satu - satunya istriku. Dan Nike memang istri yang patut kucintai dengan segenap perasaanku.

Tapi godaan itu datang dari dalam rumah yang sudah kuhadiahkan kepada Nike ini.

Padahal tadinyha aku tak pernah memperhatikannya. Tak pernah punya pikiran yang aneh -p aneh kepada sosok yang satu itu.

Lalu terjadilah sesuatu yang tak pernah kurencanakan di suatu pagi.

Aku bangun kesiangan, karena semalam habis bagadang di depan laptopku. Biasa, habis mengerjakan program kerja karyawan setelah kantor baru itu dibuka nanti.

Aku takkan ke kantor yang sudah hampir siap ditata itu. Ingin istirahat saja di rumah Nike ini atau di rumahku sendiri.

Setelah mandi kukenakan celana pendek dan baju kaus serba putih. Lalu keluar dari kamarku.

Kulihat Chi Sui sedang masak di dapur. Dan tidak menyadari kalau aku sudah berada di belakangnya.

Pada saat itulah aku baru menyadari bahwa tubuh Chi Sui yang gempal itu tampak sangat seksi kalau dilihat dari belakang. Karena bokongnya itu… gede sekali.

Saat itu ia mengenakan kimono wetlook berwarna abu - abu. Begitu ketatnya ikatan kimono itu, sehingga dari belakangnya ini aku bisa melihat bentuk bokongnya yang… aaaah… diem - diem si joni mulai bangun, karena otakku membayangkan bentuk Chi Sui dalam keadaan telanjang bulat. Seperti apa ya?

Lalu sambil berjalan mengendap - endap aku mendekati belakang tubuh Chi Sui. Dan… kupegang dan kuremas bokong wanita 36 tahunan itu.

Chi Sui terperanjat dan memutar badannya jadi berhadapan denganku. Dan mencubit perutku sambil menggerutu, “Bikin kaget aja iiih… !”

“Kalau mau nyubit jangan perut… coba cubitnya yang di bawah perutku,” sahutku sambil tersenyum - senyum.

“Yang mana? Yang ini?” tanyanya sambil menggenggam celana pendekku persis di bagian si joni yang sedang ngaceng. “Iiih… lagi tegang gini… !”

“Iya,” sahutku sambil memegang bahu Chi Sui, “gara - gara megang bokong Chichi barusan. Soalnya Chichi seksi banget sih.”

“Udah punya istri cantik begitu masih aja merhatiin perempuan lain. Kalau ketahuan sama Nike nanti gimana?”

“Gak apa - apa. Nike udah ngijinin aku polygami kok.”
“Terus Nike mau dimadu gitu?”

“Nggak ah. Tadinya sih pengen punya istri dua atau tiga orang. Tapi setelah dipikir - pikir, kasian Nike.”

“Nah, makanya itu… kenapa barusan remas - remas pantatku?”
“Karena Chiochi seksi abis.”
“Nikke kurang cantik apa coba? Kok masih…”

Belum selesai Chi Sui bicara, kupotong, “Nike memang cantik. Tapi badannya tinggi semampai. Sedangkan aku dari dulu seneng perempuan setengah baya yang bodynya semok kayak Chichi gini.”

Ucapan itu kuikuti dengan pelukan erat di pinggang Chi Sui.

“Matiin aja dulu kompornya Chi. Terus ikut ke kamarku yok.”
“Mau ngapain Boss?”
“Pengen gumulin Chichi sampai sama - sama basah…”

Chichi Sui tertunduk, seperti memikirkan sesuatu.

“Itu juga kalau Chichi mau kusayangi. Kalau nggak sih, aku gak bakal maksa.”

Tiba - tiba Chi Sui yang mendekap pinggangku sambil berkata lirih, “Sangat mau… tapi takut ketahuan Nike… bisa - bisa aku diusir dari sini nanti.”

“Yang penting kita harus rapi Chi. Kalau ada Nike kita saling cuek aja.”

Chi Sui menatapku dengan sorot mata jinak. Lalu mematikan semua kompor. Dan menurut saja ketika kuajak menuju kamarku.

Tapi setelah berada di dalam kamarku, Chi Sui berkata, “Sebentar… pintu - pintunya mau dikunciin dulu semua. Supaya kalau Nike tiba - tiba pulang takkan bisa menangkap basah kita.”

“Iya, silakan Chi,” sahutku sambil mencolek bibir saudara sepupu Nike yang bodynya bohay habis itu.

Chi Sui pun keluar dari kamarku. Sementara aku tersenyum sendiri, karena merasa kemenangan sudah di ambang pintu.

Chichi Sui tidak cantik. Tapi jelek pun tidak. Tampangnya biasa - biasa saja. Tapi bodynya itu membuatku silap. Membuat penasaran yang amat sangat. Ingin tahu seperti apa rasanya tubuh janda setengah baya itu.

Tak lama kemudian dia kembali lagi ke dalam kamarku, dengan sikap yang semakin jinak. Dan berkata, “Sejak ditinggal mati suami, aku tak pernah disentuh lelaki Chep.”

Dengan penuh gairah kuraih tangannya ke atas bed. Sambil berkata, “Makanya aku ingin berbagi rasa denganmu Chi.”

Setelah berada di atas bed, Chi Sui berkata sambil melepaskan ikatan tali kimononya, “Aku sih gak mau munafik… aku masih membutuhkan sentuhan lelaki. Tapi tadinya gak pernah mikir akan mendapatkannya dari suami adik sepupuku.”

“Aku juga tak mau munafik, sudah lama aku ini penggila wanita setengah baya seperti Chichi. Makanya ngepas deh… kita saling membutuhkan ya?” ucapku seraya mengusap - usap perut Chi Sui yang sudah celentang dalam keadaan tinggal beha dan celana dalam saja yang masih melekat di tubuh sintalnya.

“Iya… “Chi Sui tersenyum sambil menatapku yang tengah melepaskan baju kaus dan celana pendekku, “Mau jam berapa Chepi berangkat ke kantor?”

“Hari ini aku ingin istirahat. Ingin menikmati waktuku bersama Chichi. Sekalian untuk menyiapkan fisik, karena lusa kantor baru itu akan dibuka.”

Ketika tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku, Chi Sui pun menanggalkan beha dan celana dalamnya. Sehingga tubuh tinggi montok itu tak tertutup apa - apa lagi.

Begitu menggiurkan tubuh Chi Sui di mataku. Bahkan menurutku, Chi Sui lebih seksi daripada Mama Esther

(Setelah aku menikah dengan Nike, aku memanggil Mama kepada ibunya Nike itu. Tidak pakai istilah Tante lagi).

Tentu saja. Karena Chi Sui lebih muda daripada Mama Esther.

Tubuh montok berbokong dan bertoket gede itu seolah menantangku untuk diterkam. Maka dengan nafsu yang semakin merajalela, kuterkam tubuh wanita setengah baya itu.

Aku mulai dengan mengemut pentil toge kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket gede kanannya. Spontan suhu tubuh Chi Sui mulai menghangat. Terlebih setelah aku menciumi dan menjilati lehernya, sementara tangan kiriku tetap meremas - remas toket kanannya, sambil sesekali memelintir pentilnya.

Seperti biasa, setelah puas dengan wilayah dadanya, aku pun melorot turun. Sehingga wajahku berhadapan dengan memek Chi Sui yang bersih dari jembut. Memek yang membangkitkan gairahku untuk menjilatinya.

Memek tembem itu memang lebar belahannya, tapi sepintas pun kelihatan bahwa liangnya tidak lebar. Membuatku yakin rasanya pasti enak sekali.

Chi Sui tampak mengerti apa yang akan kulakukan. Ia merentangkan sepasang paha gempalnya selebar mungkin, sambil mengangakan mulut memeknya. Maka aku pun langsung menyapu - nyapukan ujung lidahku ke bagian yang berwarna kemerahan dan sudah dingangakan itu.

Begitu asyik aku menjilati memek Chi Sui yang terasa empuk dan lengkap ini. Sesekali kujilati kelentitnya yang tampak menonjol dan menegang itu.

Chi Sui pun mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas bahuku. Dan mulai mendesah - desah ketika aku sudah fokus untuk menjilati kelentitnya disertai dengan isapan - isapan kuat, sehingga kelentit yang sebesar kacang kedelai itu tampak “mancung” karena tegangnya.

Belasan menit aku mengoral memek kakak sepupu istriku itu.



Sampai akhirnya ia merintih lirih, “Sudah Chep… masukin aja kontolnya… memekku sudah basah sekali nih…”

Kuturuti saja permintaannya. Dengan sigap kulepaskan celana dalamku.

Dan Chi Sui terduduk dengan mata terbelalak sambil berseru tertahan, “Astagaaa… gak salah nih? Kontol Chepi itu… gila… panjang dan gede sekali… !”

Kudorong dada Chi Sui agar celentang lagi sambil berkata, “Dibandingkan dengan kontol negro sih masih kalah Chi.”

“Tapi kontol almarhum suamiku sih tidak sepanjang dan segede ini,” sahut Chi Sui sambil ikut memegang kontolku yang sudah diletakkan di mulut memeknya.

Lalu kudorong kontol ngacengku sekuat tenaga. Dan… mulai melesak masuk ke dalam liang memek perempuan tinggi montok itu… blesssssssss… diiringi rintihan Chi Sui, “Ooooooh… kontol sepanjang dan segede gini sih bisa membuatku ketagihan nanti Chep… ooooh udah masuk semuaaaa… gila…

Aku tidak menanggapinya, karena aku sudah sering mendengar ucapan yang sama dari perempuan lain.

Dan kini aku mulai mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Chi Sui.

Ternyata meski tubuhnya tinggi gempal begitu, Chi Sui sangat atraktif di atas ranjang.

Bokong gedenya mulai bergoyang memutarf - mutar dan meliuk - liuk. Membuatku semakin semangat untuk mengentotnya.

Maju mundur dan maju mundur terus tongkat kejantananku di dalam cengkraman liang memek Chi Sui yang terasa empuk - empuk legit ini.

Aku pun melengkapinya dengan jilatan dan gigitan - gigitan kecil di leher Chio Sui yang mulai lkembab oleh keringat. Sementara memek Chi Sui terasa membesot - besot terus, karena bokong gedenya bergeol - geol erotis terus.

Maka ketika aku sedang mengentot memeknya sambil menjilati lehernya, tanganku pun mulai merambah sepasang toket gede itu. Kuremas - remas terus toket gede itu. Sementara kontolku semakin gencar mengentot liang sanggamanya. Chi Sui menanggapinya dengan mempergencar goyang pinggulnya, yang dengan sendirinya makin gencar pula liang memeknya membesot - besot kontolku.

Gila… tak kusangka memek Chi Sui seenak ini. Sehingga aku bertekad di dalam hati, bahwa hubungan rahasiaku dengannya harus dijalin terus sampai kapan pun.

Empuk tapi sangat legit. Itulah rasa liang memek Chi Sui.

Sementara Chi Sui pun melontarkan rintihan yang bernada serupa. Bahwa kontolku ini enak sekali rasanya. “Aaaaah… aaaaaaah… Cheeeepiiii… kontol Chepi ini… luar biasa enaknya Cheeeep… aaaaaah… Cheeeeep… iyaaaaaaa… iyaaaaa… entot terus Cheeeep… entoooot… entoooottttt…

Enaaaak sekaliiii… aaaaah… Chepiiiiii… gak nyangka kontol Chepi seenak iniiii… aaaaah… Cheeeepiiii… entot terussss Cheeeep… entooottttt… entoooottttttt… entooooootttttt… tetekku remas agak kuat Cheeeeep… ooooohhhhh… Chepiiii… aku bakal ketagihan sama kontol Chepiii nantiii…

Kelihatannya Chi Sui sangat membutuhkan sentuhan lelaki. Sementara aku sendiri seorang cowok yang menggilai memek wanita setengah baya. Sehingga kami jadi sepasang manusia yang saling membutuhkan, lalu seolah menjadi sepasang harimau yang sedang naik birahi. Saling gumul, saling terjang dan saling lumat.

Tapi aku berusaha untuk tetap tangguh, karena ingin menikmati sedapnya liang memek Chi Sui yang stabil dan legit ini.

Chi Sui sudah dua kali orgasme, tapi kontolku masih tabah untuk menggenjot liang memeknya yang empuk dan licin ini.


Hebatnya, Chi Sui masih mampu menggeol - geolkan bokong gedenya. Bahkan minta bertukar posisi menjadi WOT. Lalu ia seperti penunggang kuda yang sedang beraksi. Bokongnya naik turun, sementara liang memeknya membesot - besot kontolku yang masih mengacung ke atas ini.

Cukup lama ia beraksi di atas seperti itu. Sampai akhirnya ia memekik lirih, “Cheeepiiii… aaaaakuuu lepas laaaagiiiii… aaaaaaaaah…”

Lalu dia ambruk di atas perutku, dengan tubuh bermandikan keringat yang sudah bercampur baur dengan keringatku.

Kudiamkan dulu dia terkapar di atas perutku. Dan terdengar suaranya lirih, “Oooh… belum pernah aku merasakan dientot segila ini. Sampai lepas tiga kali, sementara Chepi masih belum ngecrot juga ya?”

“Iya Chi. Aku sengaja bertahan, karena ingin berlama - lama merasakan nikmatnya memek Chichi. Bagaimana kalau sekarang lanjutkan di posisi doggy?”

Chi Sui menatapku sambil tersenyum. Lalu mengangguk sambil mengangkat bokongnya, sehingga kontolku terlepas dari liang memeknya.

Sesaat kemudian Chi Sui sudah merengkak dan menungging. Sehingga dengan mudah aku bisa membenamkan kontolku sambil berlutut di depan pantat gede wanita 36 tahunan itu. Blesssssssss…

Sambil berpegangan pada sepasang buah pantat yang aduhai itu, aku pun mulai mengentotnya lagi.

“Sambil kemplangin pantatku Chep… biar lebih enak…” ucap Chi Sui yang sedang menungging sambil memeluk bantal guling.

Aku memang pernah melakukan hal itu dengan… Mama kandungku.

Maka dengan trampil aku bisa melakukannya kepada Chi Sui sekarang. Mengentotnya sambil berlutut, sambil mengemplangi pantat gede kakak sepupu Nike yang usianya sekitar 3 tahun lebih muda daripada Mama itu.

Plaaaaakkkk… plaaaaaakkkk… plaaaaaak… plaaaaaak…

Sedangkan kontolku sangat lancar mengentot liang memek Chi Sui yang sudah tiga kali orgasmne ini.

Terdengar suara Chi Sui yang wajahnya tidak kelihatan, “Oooooh… Chepiiii… aaaaah… aaaaahhh… kemplangin terus Cheeep… dudududuuuuuh… ini enak sekali Chepiiiiii… entot terus sambil kemplangin pantatku Cheeeep…”

Aku pun semakin bersemangat untuk mengentotnya segencar mungkin, sambil mengemplangi bokong gede itu.

Cukup lama aku bertahan di posisi doggy ini.

Sampai akhirnya Chi Sui ambruk lagi… sehingga kontolku terlepas dari liang memeknya.

Lalu ia celentang lagi sambil berucap lirih, “Bener - bener edan… aku sudah empat kali lepas Chep… ooooh… Chepi memang luar biasa perkasanya…”

Padahal aku sudah tiba di detik - detik krusial tadi. Tapi gara - gara kontolku lepas dari liang memek Chi Sui, detik - detik krusial itu menjauh lagi.

Tapi kini aku ingin mencapai puincak kenikmatanku. Maka dengan tak sabaran, kubenamklan lagi kontolku sambil menghempaskan dadaku ke atas sepasang toket gede Chi Sui.

“Nanti lepasin di mana Chi?” tanyaku.
“Di dalam aja. Aman kok,” sahutnya.

Tanpa banyak bicara aku mulai mengentot Chi Sui lagi dalam posisi missionary ini.

Keringatku pun semakin membanjir, bercampur aduk dengan keringat Chi Sui.

Chi Sui pun mulai menggeol - geolkan pinggulnya lagi. Luar biasa enerjiknya wanita bertubuh tinggi gempal ini. Padahal dia sudah 4 kali orgasme. Tapi dia bisa tetap aktif untuk menggoyangkan bokong gedenya.

Bahkan ia masih sempat berkata terengah, “Nan… nanti kalau mau lepas, kita barengin ya. Biar nikmat…”

“Iii… ikyaa Chi… ini udah deket - deket kok…”

“Oooooh… tahan dikit… biar bareng…” ucap Chi Sui sambil mengubah goyangan pinggulnya jadi menukik - nukik.

Aku tahu apa tujuannya dengan goyangan seperti itu. Agar kelentitnya bergesekan terus dengan kontolku. Dengan cara seperti itu, dia akan cepat meraih orgasmenya lagi.

Maka aku pun membalasnya dengan mempergencar entotanku, sambil menjilati lehernya yang sudah basah oleh keringat, disertai gigitan - gigitan kecil.

Dan akhirnya aku berhasil menciptakan detik - detik yang teramat sangat indah ini.

Bahwa ketika aku menancapkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memek Chi Sui… liang memek wanita itu pun terasa berkedut - kedut kencang.

Kami saling remas, saling lumat bibibr… sementara kontolku mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crotttt… croooottttt… crottttt… croooottttt… croot.. crottt… crooootttt…!

Aku terkapar di atas perut Chi Sui, sementara ia pun terlemas- lemas sambil mendekap pinggangku.

Lalu ia membuka matanya. Menatapku dengan sorot puasnya birahi seorang wanita. Dan terdengar suaranya lirih, “Ini pengalaman pertama bagiku… sampai lima kali lepas… luar biasa. Aku bisa ketagihan kalau begini sih nanti Chep…”

“Aku juga bakal ketagihan. Nanti setelah kantor dibuka, Nike kan harus bekerja tiap hari. Tapi kalau aku kan bebas. Bisa aja kita mengambil kesempatan seperti sekarang ini,” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek Chi Sui.

Chi Sui pun bangkit. “Waaah… kain seprainya harus diganti. Takut Nike lihat bekas kita nanti,” ucapnya.

Kubiarkan saja Chi Sui menarik kain seprai dan menggantinya dengan yang baru. Kemudian ia mengenakan pakaian dalam dan kimononya. Dan menggulung kain seprai yang sudah kecipratan keringat kami dan air maniku itu.

“Aku mau lanjutkan masak ya Chep,” kata Chi Sui sebelum keluar dari kamar.

Aku cuma mengangguk sambil tersenyum. Lalu masuk ke kamar mandi. Dan… mandi lagi sebersih mungkin.

Selesai mandi, kukenakan pakaian casualku. Celana jeans dan baju kaus impor*(yang kualitasnya tidak lebih baik daripada produksi lokal)*.

Kemudian aku keluar dari kamar menuju dapur.

Tampak Chi Sui sedang melanjutkan masak sambil memasukkan handphonenya ke dalam saku daster biru tuanya. Dia sudah tidak mengenakan kimono lagi rupanya.

“Masak apa Chi?” tanyaku setelah berada di belakangnya.

“Bikin ayam kuluyuk, udang goreng tepung dan capcay tuh,” sahutnya.

Kudekap pinggang Chi Sui dari belakang sambil berbisik, “Masakan Chichi kusukai semua. Memek Chichi juga aku suka sekali.”

“Tapi kalau ada Nike, kita harus saling cuek aja ya Chep.”
“Iya. Aku ngerti. Permainan kita harus rapi.”
“Ohya… memangnya Nike ngijinkan Chepi kawin lagi?”
“Iya. Hal itu malah diucapkannya sebelum kami menikah.”
“Lalu kapan Chepi mau nikah lagi?”

“Gak tau. Mungkin juga gak jadi. Yang tadinya minta dikawini itu adik ibu tiriku dan adik istri pamanku. Tapi setelah mereka hadir di aca akad nikahku, entah kenapa mereka jadi menolak secara halus.”

“Tapi kira - kira ijin Nike itu masih berlaku nggak?”

“Nike sih pasti setuju aja kalau aku mau kawin lagi. Asalkan dia tetap jadi istri pertamaku. Emangnya kenapa? Chi Sui mau nikah denganku?”

“Iiih… gaklah. Aku kan sudah tua. Aku sih ingin jodohkan Chepi sama anak tunggalku.”
“Ohya?! Perasaan aku belum pernah lihat anak Chichi.”

“Nggak kalah cantiklah sama Nike juga. Usianya juga hanya beda bulan - bulanan sama Nike. Kalau gak salah usia anakku tiga bulan lebih muda daripada Nike,” sahut Chi Sui sambil menampilkan foto - foto di layar handphonenya. Lalu memperlihatkan foto anaknya yang tampil di layar hapenya, “Ini anakku.

Kujemput handphone itu dari tangan Chi Sui.
Maaaak… memang cantik sekali anak Chi Sui yang bernama Narita itu…!

“Memang cantik di fotonya sih,” ucapku sambil mengembalikan handphone itu pada Chi Sui.

“Dalam kenyataannya lebih cantik lagi. Sebentar juga dia datang ke sini. Biar Chepi bisa menilainya sendiri.”

“Lho… seandainya Narita itu jadi istriku, hubungan kita gimana?” tanyaku sambil mengusap - usap pipi tembem Chi Sui.


“Bisa jalan terus, asalkan rapi seperti Chepi katakan tadi. Justru Nike itu yang harus Chepi pikirin. Mau gak dia menerima Narita sebagai istri kedua?”

“Nike sih dijamin takkan menghalangi. Bahkan mungkin dia lebih suka kalau istri keduaku masih ada hubungan darah dengannya.”

“Narita itu keponakan Nike. Tapi usia mereka hanya beda tiga bulan.”
“Sekolahnya gimana?”
“Sama juga seperti Nike. Hanya tamat SMA. Lalu sekarang nganggur.”
“Cewek secantik Narita tentu sudah punya pacar Chi.”

“Justru dia belum pernah pacaran sama sekali. Apalagi setelah ayahnya tewas dalam kecelakaan itu, dia semakin menjauh kalau ada cowok mendekatinya. Dia takut salah pilih, katanya. Terus dia bilang, kalau ada yang serius berminat padanya sih datang aja ke rumah dan minta sama mama. Gak usah pake pacaran segala.

“Lalu kenapa Chichi ingin menjodohkannya denganku?”

“Pertama, waktu Chepi nikah dengan Nike itu, kan Narita juga datang. Pulangnya dia bilang, kalau sama cowok setampan suami Nike sih, aku mau jadi istrinya. Berarti dia sudah punya rasa simpati sama Chepi,” ucap Chi Sui.

“Alasan yang kedua sehingga mau menjodohkannya denganku apa?” tanyaku.

“Aku mikirin masa depannya Chep. Dan aku yakin, kalau jadi istri Chepi, pasti masa depan Narita terjamin. Aku… aku sangat menyayangi anakku satu - satunya itu.”

“Kalau aku nikah dengan Narita, berarti aku harus manggil Mama dong sama Chichi. Hahahaaaa…”

“Nggak apa. Pokoknya di depan Narita aku akan bersikap seperti mertua kepada menantunya. Tapi di belakang Narita dan Nike… memekku ini sudah menjadi milikmu juga Chep. Aku takkan ijinkan lelaki lain menyentuhku. Hanya Chepi yang boleh menggauliku.”

“Narita sama sekali belum pernah pacaran?
“Iya. Dia sih setiap pulang sekolah di rumah terus. Gak pernah terbawa arus pergaulan yang gak bener.”
“Berarti dia masih perawan dong Chi.”
“Iya. Soal itu sih kujamin. Bahkan ciuman sama cowok aja belum pernah… !”
“Terus… tadi Chichi bilang dia mau datang ke sini sekarang?”

“Iya. Tadi aku suruh dia ke sini. Tapi aku belum ngomong apa - apa sama dia. Pokoknya aku ingin agar Chepi kenalan aja dulu dengan Narita. Nanti sama - sama pertimbangkan mau ke mana arah selanjutnya.”

“Memangnya dia bakal mau dijadikan istri kedua?”
“Pasti mau lah. Nanti aku yang akan memberi pengarahan padanya.”

Aku terdiam. Tapi benakku berputar terus. Memikirkan sesuatu yang tak pernah kurencanakan itu.

Dalam perjalanan menuju villa kepunyaan Tante Aini itu, aku menyempatkan diri membeli makanan untuk bekal di villa nanti. Aku pun menyempatkan diri untuk menelepon Nike.

Suaranya sengaja di keluarkan lewat speaker hapeku. Agar Narita ikut mendengarkan, Lalu :

Nike :-Hallo Bang. -
Aku :-Sibuk?-

Nike :-Iya. Tapi besok pagi juga semuanya selesai. Jadi lusa benar - benar bisa grand opening. Abang mau ke kantor hari ini? -

Aku :-Nggak. Ini justru udah di luar kota. Mau ke Jakarta. Ada urusan bisnis yang harus diselesaikan. -
Nike :-Owh… mau nginep?-
Aku :-Iya. Kalau pulang hari gak kuat lah nyetir sendiri gini. -
Nike :-Tapi maksimal besok malam harus sudah pulang Bang. -
Aku :-Ya iyalah, Kan lusa kita akan grand opening kantor. -
Nike :-Hihihi… kirain lupa. -
Aku :-Oke deh. Aku lagi nyetir nih. See you Beib. -

Setelah hubungan seluler ditutup, aku memegang tangan Narita yang berada di sampingku, “Beres kan? Udah ada ijin dari sang permaisuri.”

“Kirain tadi mau ngomongin masalah aku,” sahut Narita.

“Pelan - pelan dulu dong. Kalau sekarang kami sedang dalam hari - hari sibuk. Karena lusa kantor baruku akan dibuka.”

“Sekarang kita benar - benar mau ke Jakarta?”
“Nggak. Sebentar lagi juga nyampe. Tadi bilang mau ke Jakarta, supaya ada alesan untuk nginep.”

Tak lama kemudian mobilku sudah memasuki pekarangan villa punya Tante Aini yang dipercayakan padaku untuk merawatnya. Bahkan Tante Aini membolehkanku untuk memakainya pada saat - saat tertentu, seperti sekarang ini.

“Waduh… villanya keren banget Bang. Ini villa punya Bang Chepi?” tanya Narita setelah turun dari mobilku.

“Punya tanteku. Tapi kita bebas melakukan apa pun di sini. Mau telanjang bulat seharian juga gakpapa,” sahutku sambil menggandeng pinggang Narita masuk ke dalam villa.

“Hihihiii… masa telanjang seharian,” ucap Narita sambil balas menggandeng pinggangku juga, “Ohya… mau nyobain gaun - gaun baru yang Abang belikan tadi ya.”

“Iya… sekalian ingin lihat kamu telanjang,” sahutku.

“Malu dong telanjang di depan Bang Chepi,” ucap Narita sambil mengeluarkan salah satu gaun baru dari kantong plastik besar yang diletakkannya di atas meja makan villa.

“Kamu kan calon istriku. Tapi aku harus tau tubuhmu mulus gak. Siapa tau banyak bekas kudis atau boroknya.”

“Amit - amit. Tubuhku mulus Bang. Tapi toketku kecil… hihihiii…”
“Soal toket sih gak masalah. Yang penting kamu masih perawan. Masih kan?”
“Masih Bang. Dijamin soal itu sih. Pacaran aja belum pernah.”
“Tapi kamu naksir aku duluan kan?”
“Hihihiii… kata siapa? Paling Mama yang ngomong gitu sama Abang ya.”

“Jawab dulu pertanyaanku. Setelah kamu jabatan tangan denganku di acara akad nikahku dengan Nike itu, kamu jatuh hati padaku kan? Jawab secara jujur dong.”

“Iya Bang. Makanya aku bilang sama Mama, kalau punya calon suami seperti Bang Chepi sih, aku mau.”

“Berarti kamu cewek yang jujur. Aku suka itu. Aku paling benci pada cewek yang suka membohong. Ayo bukalah baju dan celana panjangmu. Kan mau nyobain gaun.”

Tanpa banyak bicara lagi Narita melepaskan celana jeans dan baju kaus biru mudanya.

Tadinya kupikir tidak ada pakaian lagi di baliknya, kecuali celana dalam dan behanya. Tapi ternyata tidak. Masih ada pakaian dalam berbentuk rompi dan rok mini berwarna hijau tosca. Aku masih ingat, foto Narita yang diperlihatkan oleh Chichi Sui di hapenya. Narita mengenakan rompi hijau tosca itu di fotonya.

Mungkin pakaian Narita masih terbatas, karena belum bekerja. Sementara ibunya sendiri sekarang mengandalkan Nike dan aku.

“Waktu dengan Nike, Abang test dulu keperawanannya sebelum menikah?” tanya Narita ketika tinggal bra dan celana dalam yang masih melekat di tubuh putih mulusnya.

“Iya,” sahutku, “Nanti boleh ditanyakan sama dia setelah urusan kita clear sekarang. Kalau aku bohong, silakan ludahi mukaku nanti.”

“Jadi sekarang Abang mau ambil keperawananku, kemudian kita menentukan hari pernikahan kita, begitu?”

“Iya.”

“Hihihiiii… aku gak pernah pacaran. Sekalinya ketemu sama Abang langsung mau diambil keperawananku.”

“Kalau kamu keberatan, silakan kenakan lagi pakaianmu, kemudian kita pulang ke rumah masing - masing,” ucapku dengan nada agak jutek.

Narita memegang kedua pergelangan tanganku, lalu berkata dengan nada memohon, “Jangan marah dong Bang. Aku sangat serius mencintai Abang. Kalau Abang merajuk atau marah, aku jadi sedih.”

Mendengar itu aku tersenyum. Lalu berkata lembut, “Makanya jangan ada keraguan sedikit pun. Kalau ternyata kamu memang masih perawan, kamu akan mendapat tempat istimewa di dalam hatiku. Oke?”

Kuraih lengan Narita dan membiarkan dia masih mengenakan bra dan celana dalam. Lalu kutarik badannya agar duduk di atas kedua pahaku. “Memang tak usah terburu - buru. Waktu kita kan banyak,” ucapku sambil menengadahkan wajah cantik Narita. Sementara wajahku menunduk di atasnya. Kuamati dengan seksama wajah anak Chi Sui itu.

Kalau aku harus menilainya secara jujur dan objektif, Narita adalah cewek tercantik di antara cewek - cewek yang pernah kukenal. Karena itu aku agak terburu - buru ingin memilikinya. Dan siap untuk mempertanggungjawabkannya kepada Nike kelak.

“Kenapa nama kecilmu Nay?” tanyaku sambil membelai rambut Narita yang agak panjang dan lurus hitam.

Narita menjawab, “Waktu kecil aku suka dipanggil Nar. Tapi aku belum bisa nyebut R. Jadi aku suka membahasakan diri Nay… akhirnya aku dipanggil Nay saja oleh ortu.”

“Orang chinese Singapore Naynay itu panggilan untuk nenek. Kalau Tata panggilan untuk kakek.”
“Masa sih?! Makanya Abang jangan manggil Nay dua kali ya. Hihihiii…”
“Aku mau manggil Nar aja. Kamu juga udah bisa nyebut R sekarang kan?”
“Iya… terserah Abang aja.”

“Sekarang aku ingin melihat sekujur tubuhmu dalam keadaan telanjang bulat. Wajar kalau orang mau memiliki sesuatu harus tau dulu keadaannya seratus persen kan?”

Narita spontan menanggalkan behanya sambil berkata, “Sebenarnya aku malu memperlihatkan toketku. Karena… toketku kecil Bang.”

“Aku justru suka toket kecil gini. Karena dengan satu tangan bisa tergenggam semua. Lagian kalau toket kecil, sampai tua juga takkan kendor dan menggelayut ke bawah,” sahutku sambil memegang toket kecil Narita yang tergenggam oleh satu tanganku.

“Iya… kata orang sih kalau toket gede cepat lembeknya ya Bang.”
“Hahahaaaa… itu betul. Pokoknya toket kecil dan toket gede punya kelebihan masing - masing.”

“Toket Mama tuh gede,” ucap Narita membuat batinku tersentak. Karena terbayang lagi apa yang sudah terjadi di antara mamanya Narita denganku.

“Masa sih?!” cetusku pura - pura belum tahu keadaan sekujur tubuh Chi Sui.

“Betul. Toket Mama sih gede. Tapi gak nurun sama aku. Mungkin karena aku banyak menuruni gen almarhum Papa juga.”

“Iya. Seorang anak kan hasil campuran chromosome ayah dan ibu, lalu dibagi dua.”
“Bukankah itu untuk menentukan IQ seorang anak Bang?” tanya Narita.
“Heheheee… kamu ternyata cerdas juga ya.”

“Aku di sekolah ranking satu terus Bang. Hanya saja gak punya biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Makanya cuma punya ijazah SMA.”

“Nike juga cuma punya ijazah SMA. Gampang kalau mau kuliah sih, nanti setelkah punya anak juga bisa aja kuliah. Aku sendiri sekarang sedang cuti kuliah setahun.”

“Kalau Abang kan karena sibuk bisnis.”

“Kok tau sih kalau aku sibuk bisnis?!” ucapku sambil mendekatkan bibirku ke bibir sensual Narita. Lalu mencium bibirnya dengan mesra.

Narita seperti kaget. Tapi lalu membiarkanku melumat bibirnya.

“Ini untuk pertama kalinya aku merasakan dicium oleh cowok Bang…” ucap Narita sambil tersipu - sipu.

Tanpa banyak bicara lagi kubopong tubuh langsing Narita ke atas bed. Di situlah aku menarik celana dalamnya sampai terlepas dari sepasang kaki putih mulusnya. Dan tubuh cewek jelita itu sudah telanjang bulat di depan mataku kini.

Sikap Narita tampak sudah pasrah sekali. Sementara aku pun melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Hanya celana dalam yang masih kubiarkan melekat di tubuhku.

Batinku memang sudah bulat. Untuk membuktikan keperawanan Narita.

Posting Komentar untuk "Fantasi Hayalan Sedarah Yang Jadi Kenyataan ( Bagian 5 )"