Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Kontak Maulidya Rina

Cinta Sedarah Bersemi Kembali ( Bagian 4 )


Dengan perasaan terharu kukecup bibir Liza disusul dengan bisikan, “Telan dulu pil kontrasepsinya nih.”

“Iya Cinta…” sahutnya dengan suara lirih. Lalu mengeluarkan sebutir pil kontrasepsi dari blisternya. Dan menelannya, didorong oleh air mineral yang kuberikan.

“Gimana perasaanmu sekarang?” tanyaku sambil mengusap - usap pipinya yang terasa masih keringatan.

“Makin mencintai Abang,” sahutnya sambil bangkit, “Aku mau mandi dulu ah. Badanku lengket - lengket gini sama keringat.”

“Silakan. Aku sih udah barusan.”
“Abang barusan mandi?”
“Nggak. Cuma dilap pakai handuk basah aja. Mandi mulu, takut luntur…”
“Hihihiii… Abang bisa aja. Pakai luntur segala. Apanya yang bisa luntur? Tampannya?”
“Iya… hahaahaa…”

Lalu Liza turun dari bed dan melangkah gontai ke arah kamar mandi. Sementara aku mengeluarkan celana pendek dan baju kaus serba hitam dari dalam tas pakaianku. Lalu mengenakannya.

Keesokan paginya, kuantar Liza ke rumah kosnya. Untuk mengambil pakaian dan barang - barangnya. Sambil pamitan kepada ibu kos, sekaligus menyelesaikan uang kos yang belum dibayar. Tentu saja dengan bantuan dariku.

Liza sudah bertekad bulat untuk meninggalkan Jakarta dan pindah ke kotaku. Untuk bekerja di perusahaanku, sambil mempersiapkan diri untuk menjadi calon pendamping hidupku.

Setibanya di kotaku, Liza tidak langsung dibawa ke rumah yang disediakan untuknya di belakang kantor perusahaanku itu, melainkan kubawa ke rumah peninggalan almarhum Papa itu.

Rumah itu senantiasa dijaga oleh satpam dan dilayani oleh pembantu. Sehingga aku tenang meninggalkan Liza sendirian di rumah itu.

Sementara itu aku harus memutasikan dulu Mbak Wien, sekretarisku.

Aku tidak mau memutasikan Mbak Wien dengan meninggalkan perasaan sakit di hatinya. Tapi aku harus menempatkan Liza sebagai sekretaris pribadiku.

Karena itu aku harus berusaha “menjinakkan” wanita 38 tahun yang berbadan tinggi montok dan berkulit kuning langsat itu.

Dan aku tahu cara yang paling jitu untuk menjinakkan janda setengah baya yang manis dan murah senyum itu.

Maka keesokan harinya lagi, aku memanggil Mbak Wien ke lantai dua. Ini adalah pertama kalinya Mbak Wien menginjak lantai dua, karena dia tahu kalau lantai dua itu adalah lantai pribadiku.

Di lantai dua, Mbak Wien kuterima di ruang tamu. Seperti biasa, sikapnya selalu hormat padaku. Dia hanya menunduk di sofa, sementara aku duduk di depannya.

“Begini,” kataku membuka pembicaraan, “Dua hari lagi akan kedudukan direktur utama akan dijabat oleh Ibu Kaila. Tentu saja dia harus didampingi oleh sekretaris yang sudah menguasai seluk beluk perusahaan ini. Dan satu - satunya orang yang cocok untuk mendampingi beliau, adalah Mbak. Jadi Mbak Wien mulai besok akan menjadi sekretaris dirut.

“Siap, bersedia Big Boss.”

“Tapi sudah pasti menjadi sekretaris dirut akan lebih sibuk nanti Mbak.”

“Siap. Saya memang suka pada kesibukan.”

“Nah… inilah yang aku suka pada Mbak. Senantiasa easy going. Tidak pernah ada complain masalah tugas,” kataku sambil berdiri, lalu duduk di samping kanan Mbak Wien. “Setelah bertugas menjadi sekretaris dirut, secara diam - diam Mbak juga harus bisa jadi pengawas. Kalau ada kebijaksanaan yang kurang tepat, Mbak harus melapor padaku.

“Siap.”

Tiba - tiba kupegang tangan kanannya, “Sebelum Mbak bertugas sebagai sekretaris dirut… aku ingin berterus terang pada Mbak… bahwa aku ini pengagum wanita setengah baya seperti Mbak ini.”

“Ma… masa sih?” Mbak Wien mengerling sambil tersenyum malu - malu.

“Serius Mbak. Sejak Mbak Wien menjadi sekretarisku, diam - diam aku sering mengamati Mbak. Pokoknya aku suka sama Mbak,” ucapku sambil mencium tangannya yang sedang kupegang ini.

“Ra… rasanya saya seperti sedang bermimpi. Masa Big Boss yang tampan dan masih sangat muda ini bisa suka sama saya yang jauh lebih tua.”

“Kan udah kuakui tadi, bahw aku ini pengagum wanita setengah baya. Jadi… sebelum Mbak menjadi sekretaris dirut, aku ingin melakukan sesuatu sebagai pegangan bahwa Mbak akan menjadi orang kepercayaanku nanti. Mbak tau kan kenapa aku ingin bicara di lantai dua yang merupakan lantai pribadiku?”

“Samar - samar Big Boss. Takut salah prediksi.”

“Di situ ada kamar Mbak,” kataku sambil menunjuk ke arah pintu kamar utama, “kita akan melakukannya di sana. Deal?”

“Hihihiii… saya jadi merinding Boss.”

“Kenapa merinding? Ngeri?”

“Bukan ngeri. Saya… saya kan sudah tiga tahun hidup menjanda. Dan sekarang… aaah… saya mau mengikuti apa kata Big Boss aja deh.”

“Nah begitu dong,” kataku perlahan, disusul dengan pagutan di bibir Mbak Wien.

Ternyata Mbak Wien menyambut dengan melumat bibirku, dengan suhu badan yang mulai menghangat.

Memang aku selalu mudah mendapatkan wanita. Apalagi Mbak Wien ini anak buahku langsung. Dan dengan kepala tertunduk ia mengikuti langkahku, masuk ke dalam kamar utama yang tiga hari lalu kujadikan tempat untuk menggumuli calon ibu mertuaku.

Dan kini Mbak Wien pasrah saja ketika aku melepaskan blazer putihnya.

“Maaf Big Boss… ini serius? Saya serasa kurang percaya pada pendengaran saya bahwa saya diinginkan oleh Big Boss yang masih sangat muda begini.”

“Pokoknya Mbak ini manis dan seksi di mataku. Sudah lama aku menginginkan ini. Tapi baru sekaranglah saat yang kurasa paling tepat,” sahutku sambil memperhatikan Mbak Wien yang sedang mencopoti kancing - kancing blouse abu - abu mudanya.

Aku pun melepaskan jas dan dasiku. Kemudian melepaskan kemeja tangan panjangku dan menggantungkan semuanya di kapstok. Kemudian sambil duduk di pinggiran bed kulepaskan sepatu dan kaus kakiku. Disusul dengan pelepasan celana panjangku.

Sementara Mbak Wien sudah melepaskan blouse dan spanrok putihnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam serba putih yang masih melekat di tubuh montok berkulit kuning langsat itu.

Aku sendiri tinggal mengenakan celana dalam. Dan langsung meraih Mbak Wien ke atas bed. Mbak Wien pun menelungkup, seolah memintaku agar melepaskan kancing behanya sekaligus memamerkan bokongnya yang… gede banget…!

Maka kutepuk - tepuk bokong gede itu… plakkk… plakkk… plakkk… sambil berkata, “Ini antara lain yang aku suka sama Mbak.”

“Hihihihiii… ternyata Big Boss suka bokong gede ya…” ucapnya sambil membiarkanku melepaskan kancing kait behanya.

Kemudian Mbak Wien menelentang sambil melepaskan behanya. Sepasang toket berukuran sedang terpampang di depan mataku. Toket yang kupegang dan terasa masih lumayan kencang padat. Belum kempes. Belum kendor.

“Toketnya seperti belum pernah menyusui,” ucapku sambil meremas toket Mbak Wien.

“Saya memang belum punya anak, Boss.”

“Ohya?! Asyik dong… memeknya pasti masih mrepet rapet.”

“Hihihi… gak tau. Nanti kan Boss akan merasakannya sendiri.”

“Sebentar… mau kuukur dulu ya,” kataku sambil menarik celana dalam Mbak Wien sampai terlepas dari sepasang kakinya. Kemudian kulepaskan celana dalamku sendiri. Dan kupukul - pukulkan penis ngacengku ke memek Mbak Wien yang bersih dari jembut.

Yang mengagumkan lagi pada diri Mbak Wien itu, adalah pinggangnya yang kecil ramping, meski bokongnya gede sekali.

Dan.. Mbak Wien terperanjat setelah melihat penisku. Lalu spontan bangkit dan memegang penisku sambil berkata, ““Big Boss…! Wow… punya Boss segini gede dan panjangnya…!”

“Kenapa? Takut sama kontol gede?”

“Takut ketagihan, hihihiiii…” sahut Mbak Wien disusul dengan ciuman dan jilatannya di leher dan kepala penisku.

“Nanti setelah Mbak jadi sekretarfis dirut, hubungan kita malah akan semakin dekat. Kalau aku lagi kepengen, pasti Mbak akan diuajak ke kamar ini. Kalau Mbak yang merasa kangen, tinggal kirim sms atau WA aja. Pasti kuladeni.”

“Pasti saya bakal sering kangen. Hmmm… mimpi aja belum pernah. Gak taunya bisa sedekat ini sama Big Boss.”

“Kalau sedang berduaan gini sih panggil nama aja, gak usah boss - bossan.”

“Gak berani ah manggil nama langsung. Kan biar bagaimana Big Boss orang nomor satu di perusahaan ini.”

“Tapi hubungan kita jadi kaku kalau manggil Big Boss dalam suasana seperti sekarang ini.”

“Manggil Mas aja ya. Biar sama yang jauh lebih muda manggil Mas juga, sebagai tanda menghormati.”

“Bolehlah panggil Mas, meski aku bukan orang Jawa.”

Mbak Wien tidak menyahut lagi, karena mulai memasukkan penis ngacengku ke dalam mulutnya. Lalu terasa ia mulai mempermainkan lidah di dalam mulutnya. Membuatku menahan - nahan nafas juga. Karena ternyata Mbak Wien pandai sekali mengoral penisku.

Namun pada dasarnya aku ini senang menjilati memek, tapi kurang suka penisku dioral pasangan seksualku. Karena kalau kelamaan dioral seperti ini, bisa cepat ejakulasi pada saat mengentot liang memeknya nanti.

Tampaknya Mbak Wien juga sama. Ketika aku menarik penisku dari dalam mulutnya, lalu mendekatkan mulutku ke memeknya, Mbak Wien mencegahku, “Jangan dijilatin Mas. Memek saya udah basah. Keburu horny sih. Nanti malah jadi gak bisa merasakan montoknya penis Mas.”

“Oke deh,” sahutku sambil berlutut dan meletakkan moncong penisku di mulut memek tembem wanita 38 tahunan itu.

Mbak Wien pun merenggangkan kedua belah pahanya sambil memegangi leher penisku. Lalu mencolek - colekkannya ke mulut vaginanya.

Kemudian ia memberi isyarat, pertanda arah moncong penisku sudah tepat.

Maka kudesakkan tongkat kejantananku sekuat tenaga. Dan… sedikit demi sedikit membenam ke dalam liang memek Mbak Wien.

Mbak Wien pun memejamkan matanya sambil menlontarkan suara, “Ooooo… oooo… oooooohhhh… masuk Massss… terasa sekali gedenya punya Mas Ini… seret sekali… luar biasa Masss…”

“Mbak sekarang mau ngapain?” tanyaku bercanda, setelah batang kemaluanku masuk lebih dari separohnya.

“Mau dientot sama punya Mas.”

“Punyaku? Telunjukku?”

“Sama titit Mas… hihihiii…”

“Titit sih buat anak kecil. Kalau punyaku apa namanya dalam bahasa keseharian?”

“Sama… ko… kontol Mas… hihihihihiiii…”

“Kalau punya Mbak di dalam bahasa daerah Mbak sendiri disebut apa?”

“Tempik Mas.”

“Jadi apa jelasnya yang mau kita lakukan ini?”

“Tempik saya mau dientot sama kontol Mas Donny… hihihihiii… maaf saya jadi kasar ngomongnya. “ Pada saat itulah aku mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju mundur di dalam liang memek Mbak Wien.

Wanita separoh baya itu pun mulai mendesah dan mengerang perahan, “Maaaas… ooooh… Maaassss… oooooh… kontol Mas ini… oooooh… terasa sekali gesekannya Maaaas… eeee… enak sekali Maaaassss…”

Ternyata Mbak Wien tak kalah atraktif jika dibandingkan dengan Tante Agatha sekali pun. Begitu batang kemaluanku mengentot liang memeknya, bokong gede Mbvak Wien mulai bergoyang memutar - mutar, meliuk -liuk dan menghempas - hempas. Sehingga batang kemaluanku laksana kapal laut yang diombang - ambingkan ombak di tengah samudera.

Tapi kalau diibaratkan kapal laut, batang kemaluanku laksana kapal perang, bukan sekadar kapal pencari ikan. Maka ombak sedahsyat apa pun kuhadapi dengan teguh.

Alat kejantananku selalu siap untuk mendobrak ayunan bokong gede Mbak Wien.

Akibatnya malah rintihan Mbak Wien semakin menggila, “Maaaasss… oooo… oooooohhhhh… Maaaasss… selama menjanda saya baru sekali ini mendapatkan sentuhan pria… ooooh… ini luar biasa nikmatnya Maaaaasss… luar biasaaaa… silakan entot sekehendak hati Mas… entot yang kencang juga silakan…

Aku mulai mengerti bahwa Mbak Wien ini senang dientot dengan pola hardcore. Karena itu kuayun batang kemaluanku sekeras mungkin, sehingga moncong penisku terus - terusan menyundul dasar liang memek Mbak Wien.

Sementara itu mulutku pun mulai beraksi. Ketika tangan kiriku sedang asyik meremas - remas toket kanannya, mulutku bersarang di leher Mbak Wien, untuk menjilatinya disertai dengan gigitan - gigitan kecil.

“Duuuh… ini lebih enak lagi Massss… “rintih Mbak Win ketika jilatanku di lehernya mulai kugencarkan, “Cupangin sebanyak mungkin juga silakan Masss… cupangin dong Maaasss…”

“Nan.. nanti ada bekasnya… gakpapa?” tanyaku tanpa menghentikan entotan hardcoreku.

“Nggak apa - apa Maaaas… saya kan bawa syal… nanti leher saya bisa ditutupi… cupangin Massss… sebanyak mungkin… biar saya pulang membawa kenang - kenangan indah di leher sayaaaa…”

Mungkin Mbak Wien menganggap peristiwa yang sedang terjadi ini sebagai sesuatu yang luar biasa. Bahwa seorang big boss yang masih sangat muda “berkenan” menyetubuhinya. Sehingga dia ingin ditbuatkan kenang - kenangan segala di lehernya.

Tanpa buang - buang waktu, aku lakukan itu. Kusedot - sedot leher jenjang Mbak Wien dengan sedotan yang sangat kuat. Sehingga dalam tempo singkat saja leher wanita separoh baya itu bertotol - totol merah kehitaman, semerah bekas kerokan.

Mbak Wien terpejam - pejam sambil tersenyum. Seperti sedang menikmati cupangan - cupanganku di lehernya.

Dan ketika bibirku menggamit bibir sensualnya, Mbak Wien menyhambut dengan lumatgan dan isapannya. Terutama ketika aku menjulurkan lidah, dia menyedotnya ke dalam mulutnya. Kemudian menggelutkan lidahnya dengan lidahku. Maka begitu juga ketika ia menjulurkan lidahnya, cepat kusedot ke dalam mulutku.

Diam - diam aku pun mulai meghayati persetubuhan yang tengah terjadi ini. Tak kuduga sebelumnya, ternyata Mbak Wien ini luar biasa enaknya. Enak memeknya, enak goyangan bokong gedenya dan enak segalanya. Berarti satu nama lagi harus kucatat di dalam hatiku. Satu nama yang harus kupertahankan hubungankju dengannya.

Maka semakin gencar juga aku mengentot memek Mbak Wien, sementara tangan berpindah - pindah sasaran terus. Bahkan pada suatu saat tangan kiriku asyik meremas - remas toket kanannya lagi, sementara mulutku nyungsep di ketiak Mbak Wien yang harum deodorant impor. Kujilati ketiak yang sudah basah oleh keringat itu, sementara tangan kiriku makin asyik meremas - remas buah dada kirinya.

“Adududduuuuh… Massss… Massss… sa… saya mau lepas nih Massss… “Mbak Wien menatapku dengan sorot panik.

“Mau orgasme? Ayo lepasin aja sampai tuntas,” sahutku yang kulanjutkan dengan mencium dan melumat bibir Mbak Wien, sambil menggencarkan entotanku… makin cepat dan makin cepat… sampai akhirnya kutancapkan batang kemaluanku di dalam liang memek Mbak Wien yang sedang menggeliat dan berkedut - kedut erotis.

Mbak Wien masih kejang… kemudian melepaskan nafasnya yang tertahan beberapa detik, “Aaaaaah… luar biasa nikmatnya… terima kasih Mas… indah sekali …”

Aku belum apa - apa. Tapi kubiarkan penisku “direndam” di dalam liang memek yang terasa sudah basah dan hangat ini.

“Mas belum ejakulasi?” tanya Mbak Wien lirih.

“Belum,” sahutku sambil memperhatikan sepasang pipi Mbak Wien yang mengkilap oleh keringatnya. Memang benar kata orang. Wanita yang habis orgasme suka terbit aura kecantikannya.

“Mau ganti posisi Mas?” tanya Mbak Wien sambil mengendurkan dekapannya di pinggangku.

“Boleh,” sahutku, “ngentot perempuan berbokong gede seperti Mbak sih enaknya main di posisi doggy.”

“Hihihiii… Mas belum nikah tapi udah banyak pengalaman ya, “cetus Mbak Wien sambil tersenyum.

“Iya… tapi aku hanya mau menyetubuhi perempuan baik - baik. Kalau perempuan gak bener sih takut bekal HIV di badannya,” sahutku sambil mencabut penisku dari liang memek Mbak Wien.

Dengan sigap Mbak Wien merangkak dan menunggingkan bokong gedenya.

Wow… bentuk bokong sekretarisku itu menggiurkan sekali…!

Ambil mengusap - usap memek tembemnya yang muncul di antara kedua pangkal pahanya. Lalu… dengan mudahnya aku bisa membenamkan batang kemaluanku… blessss… langsung masuk semuanya.

Sambil berpegangan pada kedua buah pantat Mbak Wien, aku pun mulai mengayun penisku di dalam liang memek yang lumayan becek itu. Sambil menampar - nampar bokong gede Mbak Wien… plak… plak… plakkk… plakkk… plakkkkkk…!

Spontan terdengar suara Mbak Wien, “Iiii… iyaa Mas… dikemplangin gitu pantatnya… enak Masss… kemplangin aja sekuatnya Masss…”

Kuikuti saja apa yang diinginkan oleh Mbak Wien. Karena hubungan sex itu harus mengandung “take and give”. Maka kutampar - tampar bokong kanan dan kiri yang gede sekali itu… sehingga dalam tempo singkat saja buah pantat Mbak Wien mulai merah. Makin lama makin merah.

Tapi Mbak Wien tidak mengeluh kesakitan. Bahkan suara rintihan erotisnya mulai riuh lagi, “Aaaaaa… aaaaahhhhh… aaaaaa… aaaaaah… entot terus Massss… sambil kemplangin pantat saya Massss… ooooohhhh… Maaaassss… enak sekali Massss… entot teruys Masss… entooot… kemplangin teruuuussss…

Aku pun sangat menikmati persetubuhan dalam posisi doggy ini. Sehingga tubuhku mulai bermandikan keringat. Karena selain mengentot, aku pun terus - terusan mengemplangi buah pantat Mbak Wien. Dan itu membutuhkan tenaga. Bahkan kedua telapak tanganku mulai terasa panas, sehingga akhirnya aku hanya berpegangan di pinggang ramping Mbak Wien, sambil menggencarkan entotanku.

Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Karena Mbak Wien ambruk telungkup tiba - tiba… sehingga batang kemaluanku terlepas dari liang memeknya. Rupanya dia orgasme lagi…!

Mbak Wien pun mengakuinya. Bahwa ia orgasme lagi. Kemudian meminta untuk melanjutkannya dalam posisi missionary lagi.

Maka dalam posisi MOT (Man On Top), kubenamkan lagi penisku dengan mudahnya ke dalam liang memek Mbak Wien yang semakin becek ini. Lalu kuentot lagi wanita separuh baya yang manis dan seksi itu.

Lebih dari setengah jam aku mengentot Mbak Wien. Maka keringatku pun semakin membanjir. Bercampur aduk dengan keringat janda tanpa anak itu.

Sampai pada suatu saat aku mulai merasa sudah berada di detik - detik krusial. Maka kubisiki telinga Mbak Wien, “Aku sudah mau ngecrot Mbak… lepasin di mana?”

Spontan Mbak Wien menyahut, “Di dalam tempik saya aja Mas. Saya juga mau lepas lagi… barengin aja yuuuk…”

“Iyaaaaa…” ucapku sambil mempercepat gerakan entotanku. Maju mundur maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya.

Sampai pada suatu saat, ketika Mbak Wien sedang terkejang - kejang sambil mendekap pinggangku erat - erat, aku pun sedang menancapkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sambil memeluk leher Mbak Wien yang sudah basah oleh keringat itu.

Lalu… liang memek Mbak Wien menggeliat dan berkedut - kedut lagi, bertepatan dengan saat penisku mengejut - ngejut sambil menembak - nembakkan lendir maniku.

Croooottttt… croooottttt… crotttcrootttt… crooooootttt… crooootttt… crooootttttt…!

Kami sama - sama terkapar di puncak kenikmatan dan kepuasan. Lalu sama - sama terkulai lunglai. Dengan batang kemaluan masih menancap di dalam liang memek Mbak Wien yang semakin becek.

Tiba - tiba handphoneku yang kuletakkan di atas meja kecil berdenting. Pertanda ada WA masuk. Kucabut batang kemaluanku dari liang memek Mbak Wien dan kubuka WA yang masuk itu.

Ternyata dari Tante Agatha yang isinya :- Donny Sayang, tante sudah mencairkan semua cek itu di Bangkok. Papanya Gayatri tampak gembira sekali, karena bisa terhindar dari kebangkrutan perusahaannya. Dia juga mengijinkan tante untuk tinggal dan berbisnis di Indonesia. Tunggu aja tanggal mainnya ya Sayaaaang. Cinta dan kasih sayangku untukmu seorang.

-Oke. Kutunggu-

Balasku singkat. Karena takut kalau chat dariku terpantau oleh ayahnya Gayatri.

Chat itu membuatku tercenung sesaat. Memikirkan bagaimana cara mengaturnya kalau Tante Agatha telah berada di kotaku ini. Membuatku teringat pada Cici Mei Hwa, broker properti yang sudah janjian mau menemuiku hari ini.

Setelah meletakkan kembali hapeku di atas meja kecil, aku melangkah ke kamar mandi, untuk kencing dan bersih - bersih. Kemudian keluar lagi dari kamar mandi, memperhatikan Mbak Wien yang masih menelungkup di atas bed.

Kutepuk pantat gede sekretarisku itu sambil berkata, “Tepar nih yeee…”

Mbak Wien bergerak menelentang. Lalu duduk bersila.

“Mas… kalau saya hamil nanti gimana?”

“Ya rawat aja kehamilannya sebaik - baiknya. Aku yang akan membiayainya. Emang kenapa?”

“Saya bercerai dengan suami, saking inginnya punya anak. Karena saya sudah memeriksakan diri ke dokter. Dan dokter bilang, saya ini normal. Tapi setelah perkawinan kami bertahun - tahun, tidak juga bisa hamil. Makanya kami bercerai secara baik - baik. Mantan suami saya malah sudah menikah lagi dua tahun yang lalu.

Aku jadi ingat Teh Nenden, kakak kandungku yang tinggi badannya 180 centimeter itu (5 centimeter lebih tinggi dariku). Ya… aku masih ingat benar bahwa setelah aku “rajin” menyetubuhinya, Teh Nenden memberitahuku lewat hape. Bahwa dia mulai hamil. Bahkan berbulan - bulan kemudian Teh Nenden meneleponku lagi, “Anakmu sudah lahir Don.

Aku menghela nafas. Karena sampai saat ini aku belum pernah ketemu lagi dengan Teh Nenden. Tapi biarlah, semoga dia dan anak dariku itu sehat - sehat saja. Karena aku merasa berada di dalam kedudukan yang serba salah. Datang ke rumahnya tidak berani, meski aku sudah rindu juga kepada Teh Nenden.

“Kok malah jadi ngelamun Mas?” tanya Mbak Wien membuyarkan terawanganku. Lalu ia memegang batang kemaluanku sambil bertanya, “Mas masih mau menyetubuhi saya?”

“Bukannya gak mau. Tapi sebentar lagi bakal datang orang properti. Jadi sebaiknya Mbak bebenah dulu di ruang kerja sekretaris dirut. Soalnya mungkin saja calon dirut itu besok juga bakal datang.”

“Siap Mas. Ruang kerja saya berdampingan dengan ruang kerja dirut di lantai empat kan?”

“Iya. Mandi dulu gih. Biar seger badannya. Mandi di situ aja,” kataku sambil menunjuk ke pintu kamar mandi, “Handuk - handuk baru ada di situ. Ambil saja satu buat Mbak. Ohya… tunggu sebentar…”

Aku melangkah menuju meja tulkis di sudut kamar utama ini. Kuambil segepok uang dari laci meja tulisku. Lalu kumasukkan ke dalam amplop besar. Dan kuberikan amplop itu kepada Mbak Wien sambil berkata, “Ini buat beli baju baru ya Mbak.”

“Hihihihiii… terimakasih Mas Boss.”

“Kita harus tetap menjalin hubungan rahasia, ya Mbak. Untuk itu, Mbak akan mendapat uang belanja dariku, di luar gaji dari perusahaan.”

“Siap Mas…”

“Sebenarnya aku sudah punya calon istri. Karena itu aku takkan bisa menikahi Mbak.”

“Gak apa - apa Mas. Dijadikan simpanan Mas juga saya mau. Bahkan mengandung anak Mas juga saya mau.”

“Iya… sekarang mandi dulu gih. Biar tambah cantik dan segar.”

“Iya, iya…” sahut Mbak Wien sambil memasukkan amplop berisi uang itu ke dalam tas kecilnya. Kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi.

Seorang wanita setengah baya, mengenakan sweater merah dan celana legging hitam memasuki ruang kerjaku, diantar oleh petugas security. Dia adalah Mei Hwa yang biasa kupanggil Cici saja, mengingat usianya yang sudah 40 tahunan, jauh lebih tua dariku. Tapi kalau dilihat secara seksama sekali pun orang yang belum kenal dia takkan menyangka kalau usianya sudah 40 tahun.

Cici Mei Hwa aktif sebagai broker properti yang independen (berdiri sendiri, tidak berlindung pada corporation mana pun). Dia baru saja berhasil menjual rumah yang super besar padaku, di atas tanah seluas 5000 meter persegi (setengah hektar). Rumah tiga lantai yang dikelilingi oleh taman dan lapangan rumput untuk bermain anak - anak itu, tadinya kubeli untuk Gayatri dan Mamanya (Tante Agatha).

Waktu selesai melakukan transaksi rumah super besar itulah Mei Hwa menawarkan sesuatu padaku. Menyarankan agar aku menjadi seorang developer. Sedangkan tanahnya bisa beli lewat dia. Tapi aku belum memutuskan apa - apa saat itu. Dan menyarankan agar hal itu dirundingkan di kantorku pada hari ini. Ya, Cici Mei Hwa datang ke ruang kerjaku ini adalah untuk melanjutkan pembicaraan dua minggu yang lalu itu.

Setelah duduk di ruang tamu, Cici Mei Hwa mengeluarkan berkas fotocopy surat - surat dan gambar tanah yang akan dijual itu sambil berkata, “Ini letaknya sekitar limabelas kilometer dari batas kota, “katanya, “Luas keseluruhan duaratuslimapuluh hektar Boss. Jadi, bisa dibikin perumahan besar, dengan view yang sangat indah di sekitarnya.

“Almarhum papaku juga usahanya antara lain jadi developer di Thailand, Ci,” kataku.

“Nah kalau gitu kan hitung - hitung mengikuti jejak papanya Boss.”

“Tanah seluas itu berapa harga per meternya?”

“Saya mau kasih harga mati aja ya.”

“Silakan.”

Kemudian wanita berdarah chinese itu menyebutkan harga yang luar biasa murahnya menurutku. Tapi sebagai seorang pebisnis, aku tidak memperlihatkan kekagetanku.

“Mungkin harus disurvey dulu ke lokasi ya?” ucapku sambil melirik ke arah jam tanganku yang menunjukkan pukul sebelas siang.

“Boleh,” sahut Cici Mei Hwa, “Saya siap untuk mengantarkan Boss ke lokasi. Makanya saya pakai sepatu kayak gini. Gak jauh kok, tidak sampai limabelas kilometer dari batas kota. Dari sini sejam juga nyampe. Tapi kalau bisa bawa jaket Boss. Di sana udaranya dingin.”

“Oke. Jaket sih ada tuh menggantung di kapstok. Ohya, Cici pakai apa ke sini?”

“Pake taksi Boss. Belum punya mobil sih.”

“Terus duit profit dari properti dipakai apa aja?”

“Cuma buat makan dan biaya rumah sakit suami Boss.”

“Lho… suaminya sakit apa?”

“Kena stroke berat. Sudah enam bulan di rumah sakit, sampai sekarang masih dalam kondisi koma.”

“Ohya?! Yang nunggu di rumah sakit siapa? Anak Cici?”

“Hehehe… saya belum punya anak Boss.”

Aku terlongong. Masalahnya sudah lama aku menyimpan perasaan suka menyaksikan keseharian Cici Mei Hwa yang senantiasa rapi dalam berpakaian, tidak berlebihan dalam memake up wajahnya, sehingga tampak kharismatik di mataku.

Dan… diam - diam otak kotorku membayangkan, seperti apa ya rasanya Cici Mei Hwa ini? Seperti apa bentuk tubuhnya kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?

Hahahaaa…!

Ketika dia sudah berada di dalam mobilku yang kukemudikan ke arah luar kota, pikiran itu tetap saja bersemayam di dalam benakku. Bahkan makin lama makin ngeres.

“Jadi Cici belum pernah melahirkan?” tanyaku di belakang setir.

“Belum Boss,” sahut Cici Mei Hwa yang duduk di samping kiriku.

“Terus suaminya sudah enam bulan koma?”

“Iya Boss. Kalau secara akal sehat sih sudah hopeless.”

“Santai aja Ci,” kataku sambil memegang tangan kanannya, “aku siap kok memberi nafkah batin sama Cici kalau suaminya sudah hopeless gitu.”

“Hihihihiii… kayak yang iya aja Big Boss bisa memberi nafkah batin pada saya yang sudah tua ini.”

“Ci… aku pengagum wanita setengah baya kok. Cici belum tua lho. Kalau sudah menopause, baru bisa disebuit tua.”

“Masih jauh menopause sih. Paling cepat juga limabelas tahun lagi.”

“Berarti libido Cici masih normal kan?

“Masih lah,” sahutnya sambil balas meremas tangan kiriku, “Tapi hari ini masih ngedrop libidonya.”

“Kenapa?”

“Lagi merah. Mungkin dua hari lagi baru bersih.”

“Hahahaaaa… gak apa - apa Ci. Yang penting aku booking dulu dari sekarang ya,” ucapku dengan senyum getir.

“Saya nggak pernah selingkuh lho.”

“SIM Ci.”

“SIM apa? SIM A apa C?”

“Selingkuh Itu Mengesankan.”

“Hihihiii… Boss bisa bercanda juga ya.”

“Kalau dengan wanita cantik aku suka bercanda.”

“Boss ini punya daya tarik yang luar biasa. Baru sekali ini saya tergoda oleh cowok yang bukan suami saya.”

“Masa sih?”

“Berani sumpah, biasanya saya selalu profesional Boss. Gak pernah mikir macem - macem. Tapi sayang sekarang saya belum bersih.”

“Sekarang kan hari Senin. Berarti Rabu udah bersih?” tanyaku.

“Mudah - mudahan… tapi yang sudah pasti benar - benar bersih sih Kamis.”

“Kalau gitu kita ketemuan hari Kamis aja ya. Di rumah yang baru kubeli dari Cici itu.”

“Iya.”

Mobilku meluncur terus ke luar kota.

“Nanti kalau tanah yang mau dilihat itu deal, Boss mau turun sendiri sebagai leadernya?”

“Cici mau kalau jadi leadernya?”

“Mungkin bagusnya adek saya, karena dia sudah S2 manajemen. Kalau saya kuliah juga DO. Karena keburu jadi IRT.”

“Cici punya adek juga?”

“Punya, ya itu yang saya tawarkan untuk membantu Boss memimpin perusahaan developer. Adek saya cantik lho. Nanti Boss malah kepincut sama dia.”

“Umurnya berapa tahun?”

“Mmm… duapuluhtujuh.”

“Duapuluhtujuh tahun udah S2 ya.”

“Iya. Tekun sih Lingling itu.”

“Lingling?! Namanya?”

“Iya. Nama adik saya itu Lingling.”

“Tapi aku sukanya sama wanita setengah baya seperti Cici ini.”

“Hihihi… yang bener?!”

“Bener Ci.”

“Maaf… di depan belok ke kiri Boss.”

“Iya,” sahutku sambil mengurangi kecepatan mobilku. Kemudian belok ke kiri seperti yang diarahkan oleh Cici Mei Hwa. Mobilku mulai menginjak jalan yang belum diaspal. Masih berbatu - batu kerikil. Suasananya pun sepi sekali. Tidak kelihatan orang atau pun kendaraan lewat.

“Nah di sebelah kanan itu… yang ada pohon pisangnya itu mulai masuk perbatasan tanahnya Boss. Terus ke atas, lumayan jauh.”

“Wah… sebagian besar masih hutan gitu ya Ci,” kataku sambil menghentikan mobilku. Karena makin ke dalam makin banyak batu - batu besarnya.

“Iya. Makanya mau dijual dengan harga yang sangat murah juga, karena masih banyak pohon - pohonnya. Itu pohon - pohon kayu bagus Boss. Bukan hutan sembarang hutan. Kayunya bisa dimanfaatkan untuk bahan bangunan nantinya. Mau turun ke luar?”

“Gak usah. Nanti aja menjelang transaksi kita survey secara teliti. Surveynya harus dibantu oleh orang teknik sipil.”

“Boss… tanah yang mau dijual ini sudah ada master plannya. Ijin - ijin pun sudah lengkap. Makanya kalau Boss gak mau pusing lagi, tinggal jalanin master plan yang sudah ada aja.”

“Emang tadinya mau dibuat apa?”

“Perumahan juga. Ada rencana untuk bikin sekolah dari SD sampai SMA. Ada rencana bangun ruko - ruko juga. Pokoknya seolah bakal jadi kota kecil yang mandiri Boss.”

“Lalu kenapa gak dilanjutkan rencananya?”

“Keburu bangkrut perusahaannya Boss. Orangnya juga sudah pindah ke luar negeri.”

“Orang Indonesia?”

“Iya.”

“Terus siapa pemilik tanah itu sekarang?”

“Masih punya dia. Tapi sudah dikuasakan kepada saya untuk menjualnya.”

“Surat - surat aslinya ada sama Cici?”

“Iya Boss. Semuanya ada sama saya. Surat kuasanya juga dibuat di notaris. Jadi nanti Boss seolah mau transaksi dengan saya aja.”

“Sudah lama surat kuasa itu dibuat?”

“Kurang lebih tiga bulan yang lalu. Masih berlaku kok. Surat kuasa itu berlaku selama setahun.”

“Jadi nanti transaksinya di notaris itu juga?”

“Betul Boss.”

“Fee yang akan Cici dapatkan pasti banyak sekali ya?”

“Cuma dua persen Boss. Fee dari jual beli tanah mana bisa gede - gede?!”

“Dua persen dari transaksi milyaran kan jadi gede juga. Ayo kita turun Ci,” kataku sambil turun dari mobil dan bergegas membukakan pintu kiri depan, untuk membantu turunnya Cici Mei Hwa, karena mobilku lumayan tinggi, takut dia jatuh pula nanti.

Tapi pada waktu Cici Mei Hwa mau turun, aku sekaligus mendekap pinggangnya, lalu mengangkatnya sambil mendorong pintu mobilku dengan kakiku, sampai tertutup lagi. Sementara Cici Mei Hwa masih terangkat dengan dekapanku di pinggangnya.

Dan… begitu dia kuturunkan, bibirnya langsung menyergap bibirku.

Ternyata dia agresif juga. Atau hanya padaku dia berperilaku agresif? Entahlah.

Yang jelas kubalas ciumannya itu dengan lumatan. Tapi aku tak berani berlama - lama melumat bibirnya, karena takut ada orang lewat nanti.

Lalu kami melangkah ke arah hutan pohon kayu rasamala itu.

Sebenarnya aku juga tidak tahu untuk apa aku memasuki hutan pepohonan kayu yang katanya termasuk bagus buat bangunan itu. Mungkin aku hanya ingin melakukan sesuatu dengan Cici Mei Hwa. Tapi bukankah dia sedang menstruasi?

Ya, kalau sekadar memeluk dan menciuminya, kan bisa saja.

Dan setelah berada di tengah hutan yang lengang itu, aku pun mendekapnya dari belakang. “Udah gak sabar nunggu Cici bersih.”

“Lusa pasti saya kasih Boss. Tapi tanah ini pasti jadi dibeli oleh Boss kan?”

“Harganya benar - benar sudah mati segitu?” tanyaku sambil menyelinapkan tanganku ke balik mantel merahnya… menyelinap terus sampai menemukan payudaranya yang tidak besar tapi hangat sekali.

Tapi sesaat kemudian dia menepiskan tanganku dari balik behanya, “Sebentar Boss… saya mau pipis dulu… dingin sekali sih udaranya kan?”

“Iya. Aku juga mau pipis,” sahutku, sambil mengikuti langkah Cici Mei Hwa menuju bukit yang tidak terlalu tinggi. Bukit itu gundul, tidak ada pepohonan besar, hanya ditumbuhi oleh rerumputan liar.

Celana legging hitam itu pun dipelorotkan. Cici Mei Hwa mengeluarkan softex dari balik celana dalamnya, “Tuh lihat, takut Boss nyangka saya bohong, saya pakai ini karena sedang mens.”

“Tapi penutup datang bulannya bersih Ci? Gak kelihatan ada darahnya setitik pun,” kataku.

Dia memperhatikan softex itu dengan seksama sambil bergumam, “Iya sih… apa mungkin sudah bersih mulai hari ini ya?”

Aku jadi semakin bersemangat. Kusembulkan batang kemaluanku, lalu kencing sambil membelakangi wanita yang tampak seperti di bawah 30 tahunan itu. Setelah kencing, kudekatkan penisku yang agak ngaceng tapi belum ereksi total itu ke dekat Cici Mei Hwa yang sedang kencing sambil berjongkok.

“Hahahaaa… berarti nasibku bagus kan Ci. Sekarang kontolku bisa dimasukkan ke dalam memek Cici kan?”

“O my God!! Kontol Boss luar biasa panjang dan gedenya gini… !” serunya sambil memegangi penisku dengan tangan agak gemetaran. Sementara aku mengamati memeknya yang berjembut agak lebat itu.

“Iya Ci… gimana? Kita ngewe aja di sini sekarang?”

“Jangan di sini Boss. Memang di sini sepi sekali. Tapi kadang - kadang suka ada orang yang melintas ke sini. Ada juga yang suka menyabit rumput untuk makanan kambing atau kerbau di sini.”

“Kalau gitu di rumah yang baru kubeli dari Cici aja yuk.”

“Nah… kalau di sana sih boleh. Tempatnya nyaman dan serba mewah lah.”

“Sekarang kita langsung menuju ke sana yuk.”

“Emangnya Boss sudah puas melihat lokasi untuk perumahan ini?”

“Puas deh. Lokasinya indah sekali. Tapi nanti harus banyak yang diratakan tanahnya.”

“Zaman sekarang perumahan elit malah banyak yang berbukit - bukit tanahnya Boss. Malah banyak rumah mewah yang letaknya di pinggir tebing, lalu membuat lantai pertama di bawah, sekalian untuk menikmati keindahan di luarnya.”

“Iya. Nanti aku mau konsultasi dulu dengan arsiteknya.”

Lalu kami menuruni bukit itu sambil bergandengan. Lenganku melingkar di pinggangnya, lengan Cici Mei Hwa pun melingkar di pinggangku.

Rumah yang kubeli lewat Cici Mei Hwa itu besar sekali. Dibandingkan dengan rumah peninggalan almarhum Papa di Bangkok juga masih besaran rumah ini. Rumah ini terdiri dari tiga lantai. Berdiri di atas tanah 5000 meter persegi. Dan tanah seluas itu hampir habis oleh bangunan rumahnya. Tak cuma itu, di belakang rumah besar ini ada tanah kosong seluas 1 hektar yang ikut dijualkan oleh Cici Mei Hwa juga.

Rumah besar itu memang miring sekali harganya. Karena Cici Mei Hwa mendapatkan penawaran dari bank yang menyita rumah yang lengkap dengan segala peralatannya tersebut. Menurut keterangan Cici Mei Hwa, rumah tersebut disita dari seorang pengusaha besar yang macet kreditnya selama bertahun - tahun. Dengan sendirinya aku membeli rumah tersebut dengan harga lelang.

Tadinya aku ingin menyediakan rumah ini untuk Gayatri dan mamanya (Tante Agatha). Tapi setelah aku memiliki hubungan dengan Liza, pikiranku jadi penuh keraguan. Biarlah rumah besar itu akan kujadikan semacam investasi saja. Untuk apa - apanya, nanti saja kupikirkan lagi.

Memang membingungkan punya rumah yang terlalu besar begitu. Kamarnya saja ada 14 buah. Di lantai dasar ada 6 kamar. Di lantai dua, 4 kamar, di lantai tiga empat kamar.

Kalau aku punya anak selusin, barulah rumah itu akan kujadikan tempat tinggalku.

Belum lagi tanah yang di sehektar di belakangnya itu. Mau dijadikan apa?

Entahlah.

Yang jelas aku sedang berada di jalan menuju rumah besar itu, sambil membawa Cici Mei Hwa di dalam mobilku.

Tiga orang pembantu yang dahulu dipekerjakan oleh majikan lama mereka, kurekrut lagi. Mereka hanya ditugaskan untuk membersihkan dan membereskan rumah besar itu, masing - masing satu lantai. Sementara di luar rumah pun harus selalu dibersihkan oleh mereka bertiga.

Cici Mei Hwa kubawa langsung ke lantai tiga, agar lebih nyaman dan tidak ada gangguan.

“Rumah ini mau diapakan nantinya Boss?” tanya Cici Mei Hwa setelah berada di kamar pilihanku pada lantai tiga.

“Untuk sementara hanya akan kuanggap sebagai investasi saja. Belum ada rencana apa - apa,” sahutku sambil memeluk wanita setengah baya yang kelihatan masih sangat muda itu.

“Maaf Boss, boleh saya ke kamar mandi dulu sebentar?”

“Mau ngapain? Kedinginan lagi dan mau pipis lagi?”

“Ingin yakin dulu bahwa saya sudah bersih. Takut diem - diem ada flex darah lagi.”

“Oh, iya iyaaa. Silakan.”

Cici Mei Hwa pun masuk ke dalam kamar mandi. Tiba - tiba handphoneku berdering. Haaaa…! Dari Teh Sheila… kakak seayahku yang telah membeli sebagian besar asset almarhum Papa di Thailand itu…!

“Sehat. Donny kok lama banget gak ke Bangkok lagi?”

“Aku masih sibuk melanjutkan beberapa perusahaan ayah angkatku di Indonesia Teh. Ohya… apakah Teteh masih berminat untuk membeli rumah di Indonesia?”

“Iyalah. Aku kan ingin juga punya asset di tanah air.”

“Nah… kebetulan Teh. Ini ada rumah yang megah dan besar sekali. Tanahnya pun limabelasribu meter persegi.”

“Wow…! Bagus itu. Aku sekalian ingin buka perusahaan juga di tanah air. Coba fotoin setiap bagian pentingnya ya Don. Sekaligus cantumkan harganya. Kalau cocok, aku akan secepatnya terbang ke tanah air. Sekaligus ingin ketemuan sama Donny. Emangnya Donny gak kangen sama aku?”

“Kangen sekali Teh. Nanti kalau kita ketemu lagi, habisin perasaan kangen kita ya.”

“Iya Don. Aku malah ingin sekali hamil sama Donny. Tempo hari gak jadi skih. Padahal saat itu aku sedang berada di masa subur.”

“Para suami istri yang tiap hari hidup bersama juga kan gak langsung hamil semua. Ada juga yang terlambat… setelah beberapa tahun menikah, baru bisa punya anak.”

“Iya sih. Oke… kirimin foto - foto rumah itu, ya Don. Ini aku mau terima tamu bisnis dulu.”

“Iya Teh. Semoga bisnisnya sukses terus yaaa…”

“Amiiiin…”

Baru saja hubungan seluler dengan kakak seayahku itu ditutup. Datang lagi call dari… Imey…!

Kasihan juga anak Tante Ratih yang sudah dijodoh - jodohkan denganku itu. Dia sering nelepon dan menanyakan kapan bisa ketemuan. Tapki jawabanku cuma ntar… ntar… aku masih sibuk. Padahal apa salahnya kalau kuajak saja ketemuan di suatu tempat.

Lalu :

“Hallo Mey? Apa kabar?”

“Sakit.”

“Sakit apa?”

“Sakit hati. Aku sangat ingin ketemu, tapi Donny sibuk terus.”

“Memang begitulah keadaanku Mey. Aku kan sedang mengurus perusahaan baru. Nanti kalau sudah tiba saatnya, pasti aku akan datang untuk menjemputmu.”

“Kalau aku datang ke kantor Donny boleh nggak?”

“Sekarang aku sedang berada di luar kota Sayang. Nanti kalau sudah pulang akan kukasihtau.”

Setwlah hubungan seluler dengan Imey ditutup, aku jadi tersenyum sendiri. Rasanya belakangan ini aku sibuk ngurusin memek mulu. Tapi gak apalah. Mumpung masih muda. Yang penting bisnis jangan diterlantarkan.

Cici Mei Hwa pun muncul dari kamar mandi.

“Memang saya sudah bersih Boss,” kata wanita setengah baya bermata sipit itu.

“Sukurlah, “sambutku sambil meraih pinggangnya ke arah sofa. Lalu kududukkan dia di atas pangkuanku.

Tentu saja bukan sekadar mendudukkannya di atas pangkuanku. Karena aku pun muilai melepaskan baju sweater merahnya. Sehingga kelihatan bahwa di balik sweater merah itu masih ada kaus singlet wanita. Dan kaus singlet itu pun kulepaskan, sehingga tinggal beha putih yang masih melekat di dadanya.

Meski beha itu belum dilepaskan, aku sudah bisa melihat bahwa payudaranya kecil. Untuk membuktikannya, kulepaskan juga beha putih itu.

“Hihihi… toket saya kecil Boss. Kalau toket adikku memang gede tuh,” ucapnya sambil tersenyum malu - malu.

“Toket kecil gini malah enak menggenggamnya. Dengan satu tangan saja bisa tergenggam semua,” sahutku sambil mengenggam toket kirinya.

Mei Hwa pun menyergap bibirku ke dalam ciuman ketat dan hangatnya. Sementara tanganku sudah berpindah tempat, menyelusupp ke balik celana leggingnya, untuk meremas bokongnya yang lumayan gede. Lalu menyelusup lagi ke balik celana dalamnya, sampai menemukan “sesuatu” yang berambut lebat. Mencari - cari di antara kerimbunan jembut itu, sampai menemukan celahnya yang hangat dan agak basah serta licin.

Jemariku menyelidik sampai masuk ke dalam liangnya… hmmm… jemariku menemukan liang yang masih kecil. Maklum dia belum pernah melahirkan.

Mei Hwa tetap asyik melumat bibirku. Tapi tangannya pun ikut beraksi. Menarik ritsleting celana panjangku. Lalu menyelundup ke balik celana dalamku. Menggenggam batang kemaluanku yang masih agak lemas ini. Namun berkat remasan lembutnya, penisku pun mulai ngaceng. Bahkan sudah siap tempur.

Lalu terdengar suara Mei Hwa, “Sudah ngaceng nih. Masukin aja kontolnya Boss. Saya sudah horny berat…”

“Ayo, di sana aja,” sahutku sambil menunjuk ke arah bed.

Mei Hwa mengangguk. Lalu mengikuti langkahku menuju bed. Di situlah ia melepaskan celana legging hitam dan celana dalam putihnya. Sehingga jadi telanjang bulat di depan mataku.

Aku pun menanggalkan busanaku sehelai demi sehelai sampai benar - benar telanjang bulat, seperti Mei Hwa.

Sesaat kuperhatikan tubuh Mei Hwa yang langsing tapi berbokong gede itu. Lalu kuterkam dia dengan penuh nafsu.

Mei Hwa menyambutku dengan ciuman dan lumatan hangat di bibirku. Dengan lengan melingkari leherku. Sementara aku mulai giat mencolek - colekkan moncong penisku di mulut vagina Mei Hwa yang terintangi jembutnya ini. Namun akhirnya aku menemukan celah memeknya. Dan kudorong penisku sekuat tenaga.

Akhirnya penisku berhasil menerobos liang memek wanita setengah baya itu.

Blesssssssss… melesak masuk ke dalam liang sempit tapi sudah licin ini.

Mei Hwa menatapku dengan sorot jinak. Dan berkata, “Gak nyangka Boss mau sama saya yang sudah tua ini.”

“Aku ini penggemar wanita setengah baya Ci. Apalagi kalau wanitanya secantik Cici ini,” sahutku sambil mengayun penisku perlahan - lahan. Makin lama makin cepat, sampai pada kecepatan normal.

“Dudududuuuuuuh… Booossss… kontol Boss ini bukan hanya gede tapi juga panjang sekali. Sampai terasa nyundul - nyundul dasar liang memek saya Boss…”

Mata Mei Hwa kadang terbeliak kadang ter[ejam erat - erat. Sementara mulutnya tiada henti merintih dan mendesah. “Booossss… ooo… ooooohhhhhhh Bosss… ini entotan paling enak di sepanjang hidupku Bosss… kontol Boss luar biasa enaknyaaaa… entot terus Bosss… entoooottttt… entooooootttttt…

Terlebih ketika mulutku mulai beraksi untuk menjilati lehernya, menciumi bibirnya, meremas toket dan mengemut pentilnya sementara entotanku semakin kugencarkan. Semakin meraung - raung pula Mei Hwa dibuatnya.

“Bosss… makin lama makin enak Bosssss… entot terus Bossss… ooooh… gilaaaa… ini enak banget Bosss… entooot teruuusss… entooootttt… entooooottttt… entoooottttttt Bosss… entoooooootttttttt… !”

Ketika tangannya terjulur ke atas kepalanya, aku pun memagut ketiaknya, lalu menjilatinya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Sehingga Mei Hwa semakin klepek - klepek dibuatnya.

Namun kali ini aku melihat gelagatnya berbeda. Gelagat Mei Hwa akan mencapai orgasme. Mei Hwa berkelojotan dengan rintihan panik, “Boss… saaaa… sayaaaa… mau lepas Bossssss… Bosssss…”

Aku tetap gencar mengentotnya. Bahkan ketika tubuh Mei Hwa mengejang tegang, aku tetap mengentotnya dengan gencar.

Mei Hwa menekan pantatku agar jangan bergerak dulu, “Stop dulu Boss… saya ma… mau lepas neeeehhhh… aaaa… aaaaaaahhhhhh…”

Mei Hwa menggelepar dan melenguh… lalu terkulai lunglai. Dengan keringat membasahi tubuh dan leher serta pipinya.

“Sudah orgasme?” tanyaku sambil mengelus rambut Mei Hwa.

“Iya… sudah lama memek saya nganggur. Sekalinya dapet yang enak banget… terima kasih Boss… indah sekali…”

Aku cuma tersenyum dan membiarkan Mei Hwa menciumi sepasang pipiku.

Tapi aku belum apa - apa.

Maka kulanjutkan lagi ayunan penisku. Bermaju mundur di dalam liang memek yang sudah becek ini.

Tapi aku pun tidak berniat untuk menyiksa Mei Hwa. Karena mungkin fisiknya tidak siap untuk kuentot secara berkepanjangan. Maka diam - diam aku mulai berkonsentrasi pada enaknya memek wanita setengah baya yang memeknya sudah becek ini. Kugencarkan entotanku sambil menciumi bibirnya, menjilati leher jenjangnya diiringi dengan gigitan - gigitan kecil.

Keringat pun mulai membasahi tubuh kami. Dalam gairah yang makin lama makin menggila.

Agak lama kulakukan semuanya ini. Bahkan terkadang mulutku nyungsep di puncak toketnya, untuk mengulum dan menyedot - nyedot pentilnya.

Lalu… ketika Mei Hwa mulai berkelojotan, aku pun menggencarkan entotanku dalam kecepatan tinggi. Dan ketika Mei Hwa mengejang tegang, aku pun menancapkan penisku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.

Pada saat itulah Mei Hwa menahan nafasnya, dengan mata terpejam erat - erat. Sedetik kemudian terasa liang memeknya berkedut - kedut kencang lagi. Pada saat itu pula penisku mengejut - ngejut diiringi dengus - dengus nafasku di puncak kenikmatanku… crottttt… crooootttttttt… croootcrooottt…

Kami sama - sama menggelepar, lalu sama - sama terkapar di pantai kepuasan. Dengan keringat semakin membanjir.

Namun semuanya itu seolah pembukaan saja. Seolah awal dari sesuatu yang baru. Karena keesokan harinya Mei Hwa datang ke kantorku bersama seorang cewek tinggi tegap, berkulit putih kekuningan dan berwajah… ya cantik ya manis sekali…!

Apakah aku ini ditakdirkan berbakat untuk mengoleksi perempuan - perempuan cantik? Entahlah. Yang jelas cewek itu diperkenalkan oleh Mei Hwa sebagai adiknya itu. Adik kandungnya yang bernama Lingling dan sudah S2 di bidang managemen serta siap untuk memimpin perusahaan developerku itu.

Memang kemaren Mei Hwa berkata, bahwa sebagai perempuan bersuami, ia takkan mungkin bisa menghabiskan waktunya untuk meladeniku. Biar bagaimana Mei Hwa senantiasa berharap agar suaminya sembuh lagi seperti sediakala, meski sekarang masih dalam keadaan koma. Sedangkan adiknya kebetulan masih menganggur, masih lajang pula.

Tidak berlebihan kalau aku menilai Lingling itu ya cantik ya manis dan seksi pula…!

Sehingga kalau dibandingkan dengan Gayatri dan Liza sekali pun, Lingling bisa kuanggap sejajarf dengan kedua cewek yang akan kujkadikan istriku itu. Bahkan kalau sedang tersenyum, lesung pipit di sepasang pipinya itu membuat Lingling punya nilai plus.

Dan yang jelas pendidikannya sesuai dengan keinginanku. Usianya pun masih tergolong muda sekali. Baru 24 tahun tapi sudah S2. Hanya 3 tahun lebih tua dariku, tapi dia sudah S2, sementara aku… S1 pun belum.

Tapi banyak orang bilang, sebagai owner suatu perusahaan, pendidikanku takkan dihitung orang. Seperti ada seorang kopral yang bernasib baik dan memiliki sebuah perusahaan besar, namun kepala bagian security-nya seorang pensiunan kolonel. Di situlah uang mengalahkan segalanya.

Maka aku pun tak ragu menyebut nama langsung kepada adik Mei Hwa itu :

“Jadi Lingling siap untuk memimpin sebuah perusahaan developer?” tanyaku.

“Siap Boss,” sahutnya sopan dan manis.

“Sebagai langkah awal, aku akan membangun perumahan di atas tanah duaratuslimapuluh hektar yang segera dibeli lewat Cici Mei Hwa. Jadi ada imbas positif juga kepada Cici Mei Hwa. Bahwa Cici akan mendapatkan fee dari penjualan tanah di luar kota itu kan?” ucapku sambil menoleh kepada Mei Hwa yang duduk di samping Lingling.

“Betul Boss,” sahut Mei Hwa, “Lalu adik saya pun takkan nganggur lagi.”

“Maaf… nanti kantornya di mana Boss?” tanya Lingling.

“Nantinya bikin kantor managemen di lokasi perumahannya saja langsung. Tapi sebelum kantor itu selesai dibangun, ngantor di sini aja. Di depan kan masih banyak ruangan kosong. Silakan aja pakai sesuai kebutuhan.”

Lingling mengangguk - angguk. Dengan senyum manis dihiasi lesung pipitnya lagi. Wow… Cici Mei Hwa memang bukan hanya pandai dalam memasarkan rumah dan tanah, tapi juga pandai menjodohkan orang. Karena aku langsung merasa cocok dengan Lingling itu. Tinggal menunggu orangnya saja, apakah dia juga suka padaku atau tidak.

Tiba - tiba Cici Mei Hwa berkata, “Maaf Boss. Saya harus ke rumah sakit dulu, karena sudah ditunggu oleh dokter yang merawat suami saya. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada saya. Soal Lingling silakan saja Boss rundingkan segalanya dengan dia sekarang. Soal tanah yang sudah disurvey itu, saya siap untuk melakukan transaksi di notaris.

“Iya. Terimakasih Ci ya,” sahutku.

Setelah Mei Hwa berlalu, aku mengajak Lingling pindah ke lantai dua. Lantai pribadiku.

Lingling menurut saja. Mengikuti langkahku menuju ke lantai dua.

Setibanya di family room, kupersilakan Lingling duduk di sofa. Aku pun duduk di sampingnya sambil berkata, “Soal job selesai sudah.”

Kemudian kusebutkan nominal gaji yang akan diterimanya sebagai direktur perusahaan developer itu. Pasti dia kaget karena aku akan menggajinya lebih dari gaji - gaji direktur pada umumnya.

“Selain daripada itu, Lingling akan mendapatkan mobil inventaris nanti. Kalau soal rumah, Ling masih tinggal bersama orang tua kan?”

“Betul Boss. Jadi saya akan mendapat mobil inventaris pula? Terima kasih Boss. Saya memang sangat membutuhkan kendaraan. Terutama untuk mobilitas menuju lokasi proyek itu.”

“Sudah tau di mana letak lokasinya?”

“Baru dengar saja dari Cici Hwa.”

“Nanti kita tinjau lokasinya ya. Tapi selain masalah job, aku mau bicarakan masalah pribadi nih. Soalnya Ci Mei Hwa sudah banyak bicara mengenai Lingling.”

“Iya. Cici juga sudah banyak bicara mengenai Boss.”

“Apa aja yang dikatakannya kepada Lingling?”

“Hihihiii… malu nyebutinnya.”

“Kok malu? Katakan aja sejelasnya. Biar aku pun akan menanggapinya secara jelas dan terperinci.”

“Anu… Cici mau men… menjodohkan saya dengan Boss.”

“Dan setelah kita berjumpa begini, Lingling setuju?”

“Saya orang chinese yang gak punya Boss. Yang hidup serba pas - pasan.”

“Aku tidak mengharapkan harta Lingling serupiah pun. Dan yang jelas, begitu melihat Lingling tadi, aku langsung merasa cocok. Lingling memenuhi kriteria yang kuinginkan.”

Lingling menatapku dengan senyum manis dengan lesung pipit di sepasang pipinya. “Saya juga merasakan hal itu Boss,” ucapnya perlahan.

Lega hatiku mendengar ucapan Lingling itu. Lalu kupegang tangannya sambil berkata, “Jadi selain Lingling akan kuangkat sebagai direktur perusahaan developer itu, mulai sekarang kita jadian, oke?”

Lingling mengangguk sambil tersenyum. Lagi - lagi hatiku bergetar melihat senyum manisnya itu.

“Ohya… mengenai agama Lingling bagaimana? Bisa melebur dengan agamaku kan?”

“Saya kan belum punya agama. Cuma mengikuti tradisi chinese aja Boss.”

“Confucius?”

“Betul. Menurut saya Confucius itu bukan agama. Hanya melanjutkan tradisi nenek moyang saja.”

“Jadi Lingling bersedia menjadi mualaf?”

“Bersedia,” sahut Lingling sambil mengangguk.

“Kalau begitu, masalah pribadi kita kuanggap sudah sukses dalam tempo yang sesingkat - singkatnya.”

“Hihihiii… sesingkat - singkatnya. Kayak teks proklamasi aja.”

“Jujur, begitu melihat Lingling tadi, aku merasa harus secepatnya memiliki dirimu yang cantik sekaligus manis ini,” ucapku sambil meremas tangan Lingling yang halus dan hangat.

“Boss juga tampan sekali…”

Tiba - tiba pertanyaanku nyelonong ke sisi lain, “Sudah punya pengalaman berhubungan dengan cowok?”

“Sama sekali belum pernah Boss. Soalnya saya takut salah pilih. Baru sekali inilah saya merasa yakin dan nyaman, bahwa saya tak salah pilih.”

“Jadi Lingling masih perawan?”

“Ya iyalah. Soalnya saya masih sangat tradisional Boss. Menurut orang - orang tua, seorang gadis yang tidak perawan lagi lalu menikjah dengan seorang pria, maka di surga dia takkan dipersatukan dengan suaminya. Karena itu saya takut sekali melakukan hal - hal yang menyimpang dari tradisi tionghoa.”

Dunia dan alam pikiranku seolah tengah dialihkan ke satu titik, lalu melupakan yang lain untuk sementara.

Aku pun seolah digugahkan untuk memiliki mobil yang nyaman, jangan sekadar untuk gagah - gagahan. Tapi aku tetap memilih showroom mobil second yang dahulu kupilih untuk membeli jeep 5000 cc itu.

Kali ini pilihanku jatuh pada sebuah sedan built up Jerman. Dengan harga lebih murah 50%…! Padahal sedan hitam itu baru dipakai tiga bulan, sudah dijual lagi.

Aku merasa beruntung mendapatkan sedan yang masih 99% baru dengan harga setengah dari harga barunya itu.

Sebenarnya aku mampu membeli mobil termahal di dunia sekali pun. Tapi aku ingat indoktrinasi dari almarhum Papa angkatku. Bahwa hidup ini jangan terlalu menonjolkan diri, lebih baik hidup sederhana agar hal - hal positif berdatangan sendiri kelak.

Lewat biro jasa aku pun berhasil membeli rumah di Singapura. Karena aku malas tinggal di apartment.

Padahal punya rumah pribadi di Singapura sudah merupakan suatu kemewahan. Karena pada umumnya orang lebih memilih tinggal di apartment.

Aku memang punya rencana untuk memfokuskan usahaku di Singapura. Sebagian untuk meneruskan perusahaan - perusahaan peninggalan Papa, sebagian lagi untuk membuka jalan bagi perusahaan baru yang sudah kubentuk belakangan ini.

Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang jauh lebih kupentingkan. Tentang Lingling yang cantik dan manis dan seksi dan berpendidikan tinggi itu.

Lingling yang sudah sering kuajak jalan - jalan atau makan - makan. Tapi kubiarkan dulu dia membenahi kantornya yang untuk sementara menggunakan ruangan p- ruangan kosong di kantor perusahaanku. Kelak kalau perusahaan developer itu sudah berkembang, aku akan membangun kantor khusus yang dipimpin oleh si cantik Lingling.

Sampai pada suatu saat… ketika Lingling sedang duduk di sebelah kiriku, dalam sedan hitam baruku, aku berkata, “Bagaimana perasaanmu setelah jadian denganku Ling?”

“Nyaman sekali Boss.”

“Lingling… sudah berkali - kali aku minta agar jangan manggil boss lagi padaku. Kalau sedang berduaan begini, panggil namaku aja langsung.”

“Biar gimana aku ini kan masih anak buah Boss. Karena itu aku tetap tak berani manggil nama langsung. Kesannya seperti lancang pada majikanku sendiri,” sahut Lingling sambil tersenyum.

“Kalau sedang ada orang lain, boleh Lingling panggil boss padaku. Tapi kalau sedang berduaan begini, panggil namaku aja, please…”

“Iya deh. Aku akan membiasakan manggil Donny aja ya.”

“Nah begitu dong. Jadi rasanya lebih mesra. Tidak terikat masalah status job kita masing - masing.”

“Tapi biar lebih mesra lagi, kenapa janji Donny belum ditepati juga?”

“Lho janji yang mana?”

“Janji untuk membuktikan keperawanankju. Kan biar hati Donny makin yakin bahwa aku ini hanya akan memasrahkan kesucianku pada Donny, sebagai tanda cintaku pada Donny. Yang penting aku jangan habis manis sepah dibuang aja.”

“Lalu kenapa Lingling yakin bahwa aku akan mempertanggungjawabkan semuanya kelak?”

“Karena aku percaya, Donny ini orang baik dan bertanggungjawab.”

“Jadi Lingling memang sudah ingin dieksekusi?”

“Hihihiii… istilahnya dieksekusi… kayak orang mau dihukum mati aja.”

“Lho… dalam bisnis juga ada istilah eksekusi kan? Di dalam bisnis, istilah eksekusi itu positif artinya.. Misalnya mau mengeksekusi lahan yang akan dibeli, mengeksekusi pabrik yang akan dibeli dan sebgaainya.”

“Iya deh. Eksekusilah aku please… biar Donny tidak meragukan lagi diriku.”

Tadinya aku akan mengajak Lingling ke lokasi lahan yang sudah kubeli itu. Lahan untuk proyek perumahan itu. Tapi setelah mendengar keinginan Lingling, kubelokkan sedan hitamku ke arah lain. Menuju villa yang baru dibeli sebulan yang lalu itu.

Uniknya villa itu berada di pinggir tebing yang sangat curam, sementara bagian daratannya kebun buah - buahan yang sangat lebat dan rimbun. Maka setibanya di villa itu, Lingling langsung memelukku dari belakang sambil berbisik, “Sepi dan romantis sekali villa ini, Sayang.”

“Iya,” sahutku, “mau membuktikan keperawananmu di luar juga bisa tuh. Takkan ada seorang pun melihatnya.”

“Hihihi… jangan outdoor dong Sayang. Di dalam aja, biar tenang melakukannya.”

“Tapi aku ingin melihatmu telanjang di sini. Mau kan?”

“Malu Sayang. Aku kan belum pernah telanjang di depan siapa pun kecuali di depan kedua orang tuaku.”

“Nanti di dalam kamar juga kan bakal telanjang. Apa salahnya kalau kamu telanjang dulu di sini, lalu kita masuk ke dalam. Coba buktikan deh bahwa Linglingku akan selalu mengikuti keinginanku.”

“Apakah semua cowok keinginannya suka yang aneh - aneh gitu?” tanya Lingling dengan nada bingung.

“Entahlah. Yang jelas aku ingin melihatmu telanjang di luar sini. Coba perhatikan tuh keadaan di sekeliling kita. Ke sebelah selatan, jurang terjal. Ke utara, barat dan timur kebun buah - buahan semua. Kebun itu pun milikku semua. So… siapa yang berani masuk ke sini?”

“Oke deh. Demi Donny tercinta aku akan melakukannya. Sedikit demi sedikit dulu ya, “Lingling melepaskan beha dari balik blouse putihnya, tanpa melepaskan gaunnya. Kemudian ia menanggalkan spanroknya yang juga putih bersih.

Dalam keadaan tinggal mengenakan blouse putih dan celana dalam yang juga putih, Lingling berjongkok sambil menurunkan ritsleting blouse putihnya, sehingga sepasang toket gedenya kelihatan jelas. Lalu ia berjongkok di depanku sambil berkata, “Toketku kegedean gak sayang?”

“Ngepas dengan kriteriaku Ling,” sahutku sambil menyaksikan sepasang toket gede yang tergantung indah di belahan blousenya itu.

Aku belum pernah menyentuh sepasang toket gede yang luar biasa indahnya itu.

Kemudian Lingling melepaskan blouse dan celana dalamnya yang serba putih itu, sambil merangkak di atas batang pohon yang sudah dijadikan asesori villa ini. Dalam keadaan telanjang bulat.

“O my God! Tubuhmu indah sekali Cinta,” ucapku sambil memegang pergelangan tangan Lingling, kemudian membawanya masuk ke dalam villa.

Langsung membawanya ke dalam kamar. Karena aku ingin agar dia merasa nyaman senyaman mungkin pada waktu aku mengkesekusinya.

Dengan sikap canggung Lingling duduk di pinggiran bed, memandangku yang tengah menanggalkan busanaku sehelai demi sehelai, sampai tinggal celana dalam yang kubiarkan masih melekat di tubuhku.

Dalam beberapa hari ini hubunganku dengan Lingling memang semakin dekat. Tapi aku hanya pernah mencium pipi dan bibirnya saja. Tak pernah lebih dari itu. Maka kini, ketika ia sudah telanjang bulat seperti itu, adalah suatu kejutan yang membangkitkan hasrat birahiku, tentu saja.

Padahal di dalam hati aku sudah bertekad, perawan atau tidak perawan lagi, Lingling tetap harus menjadi salah seorang pendamping hidupku. Namun tentu saja kalau ia masih perawan, jauh lebih baik lagi.

“Rasanya seperti mimpi… tiba-tiba kamu minta dientot…” ucapku sambil naik ke atas bed, tepatnya ke atas perut Lingling yang sudah seperti Hawa waktu pertama kalinya diturunkan ke dunia.

“Minta dibuktikan kesucianku, bukan minta dientot Don,” sahut Lingling sambil mencubit perutku.

“Iya, tapi cara membuktikannya yang memang harus lewat disetubuhi Sayang.”

“Iya deh terserah Donny aja. Boss kan selalu benar,” ucap Lingling sambil mendekap pinggangku erat - erat.

“Hihihiii… jangan suka cemberut gitu Sayang. Cantiknya jadi pudar nanti. Keep smile for me. Karena kalau kamu tersenyum, aku merasa seakan sedang melihat Dewi Kwan Im turun ke dunia.”

“Aku bangga bisa menjadi kekasih Donny. Dan ingin agar kita berdua menjadi suatu kesatuan yang tak terpisahkan lagi,” ucapnya dengan senyum manis. Senyum yang selalu menggetarkan sekujur batinku.

Dan aku jadi bingung sendiri, harus mulai dari mana. Karena tadinya aku belum pernah menyentuh payudaranya sekali pun. Lalu kini, tiba - tiba Lingling dalam keadaan telanjang bulat dan bersikap pasrah sekali.

“Aku tak mau kehilangan senyum manismu,” sahutku disusul dengan ciuman mesra di bibirnya. Yang disambutnya dengan lumatan hangat. Membuatku serasa melayang entah ke mana. Mungkin inilah surga terindahku di dunia ini. Surga yang membuatku tidak ragu untuk menciumi dan menjilati telapak kakinya beberapa saat berikutnya.

Lingling cuma terdiam pasrah. Begitu juga ketika aku mulai menjilati betisnya yang laksana padi membunting… menjilati pahanya yang begitu mulus dan licinnya… kemudian merayap ke selangkangan dan berpusat di kemaluannya yang tercukur bersih, bersih sekali.

Jujur, jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya ketika aku mulai menjilati memeknya yang sudah kungangakan selebar mungkin. Lalu tubuh indahnya mulai menggeliat perlahan, diiringi desahan - desahan erotisnya.

Begitu lahap aku menjilati bagian dalam kemaluannya yang berwarna pink itu. Bahkan setelah menemukan kelentitnya, kufokuskan untuk menjilati bagian yang sebesar kacang kedelai yang mengkilap itu.

Sementara desahan dan geliatan Lingling semakin menjadi - jadi. Tapi suaranya perlahan sekali, sehingga tidak menimbulkan suasana berisik di dalam kamar ini.

Cukup lama aku melakukan semua ini. Tentu saja dengan berusaha untuk mengalirkan air liurku sebanyak mungkin, agar liang memeknya basah sekali. Untuk mempermudah jalannya penetrasi nanti.

Sampai pada suatu saat, ketika aku mau melakukan penetrasi, Liling menurut saja ketika kedua paha putih mulusnya kurenggangkabn selebar mungkin. Kemudian kuletakkan moncong penisku di mulut memek Lingling yang sudah basah kuyup itu.

Tapi, jujur saja, ternyata mengambil keperawanan Lingling tak semudah biasanya. Bahkan boleh kukatakan, inilah “perjuangan menembus selaput perawan” yang paling sulit bagiku selama ini. Lebih dari setengah jam aku berusaha dengan segala cara, namun hasilnya masih nol. Moncong penisku meleset berkali - kali, sehingga aku jadi keringatan sendiri dibuatnya.

Namun dengan tekad yang kuat, akhirnya sedikit demi sedikit batang kemaluanku mulai menembus liang perawan Lingling.

“Udah masuk?” tanya Lingling perlahan.

“Sudah Sayang,” sahutku dilanjutkan dengan kecupan mesra di bibir sensualnya.

Bahkan beberapa saat kemudian aku mulai bisa mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Lingling yang luar biasa sempitnya ini.

Desahan perlahan Lingling pun mulai terdengar, “Aaaaa… aaaaah… aaaa… aaaah… aaaaaa… aaaaaah… aa… aaku benar - benar sudah menjadi milik Donny… aaa… aaaah…”

Aku masih sempat menyahutnya dengan bisikan di dekat telinganya, “Aku bangga bisa memiliki dirimu Ling… aku makin cinta padamu…”

“Aku juga… makin cinta padamu Don… oooohhhh… oooohhhh… rasanya seperti melayang - layang Dooon… Dooon… Doooon… aku cinta Donny… cinta sekali… ooooh…”

Wajar kalau Lingling mendesah dan merintih makin kerap, karena aku merasa liang memeknya sudah beradaptasi dengan ukuran penisku. Sehingga aku bisa mempercepat entotanku sampai pada batas standar. Batas normal. Bukan seperti kecepatan entotan di bokep - bokep yang terkadang membuatku heran dan bertanya - tanya, “Apa enaknya ngentot dengan kecepatan seperti mesin pompa begitu?

Aku selalu ingin melengkapi entotanku dengan aksi tangan dan mulutku. Itulah sebabnya aku mulai mengemut pentil toket Lingling yang sebelah kiri, sementara tangan kiriku mulai meremas toket gedenya yang sebelah kanan. Sementara entotanku tetap bergerak dalam kecepatan normal.

Karuan saja Lingling makin mendesah dan merintih. Tapi tetap dengan suara terkendali. Hanya terdengar laksana bisikan, “Doooon… ooooohhhh… makin lama makin enak Cintaaaa… rasanya semakin melayang - layang gini… saking enaknya Cintaaaa… ooooh… aku mencintaimu dengan segenap jiwaku Dooon…

Setelah puas meremas dan mengemut pentil toket Lingling yang lumayan gede itu, mulutku lalu nyungsep di leher jenjangnya.

Kujilati leher Lingling yang mulai keringatan itu, disertai dengan gigitan - gigitan kecil yang takkan menyakitkan. Ini membuat Lingling makin terlena. Rintihan - rintihan histerisnya terhenti sesaat. Lalu cuma desahan nafasnya yang terdengar, “Aaaaa… aaaaaaah… aaaaaa… aaaaah… aaaaa …

Sesaat kemudian, ketika tangan Lingling berada di dekat kepalanya, kujilati pula ketiaknya yang harum deodorant. Disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Bahkan terkadang disertai dengan sedotan - sedotan seperti ingin mencupang ketiak harumnya.

Lingling pun semakin klepek - klepek dibuatnya.

Bahkan pada suatu saat ia menatapku sambil berkata lirih, “Dooon… rasanya seperti ada yang mau keluar di dalam memekku… oooh Doooon… ada yang mau keluar… !”

Lingling berkelojotan. Tapi aku malah mempercepat entotanku sambil berkata terengah, “Itu tanda mau orgasme… lepasin aja Sayaaaang…”

Kelojotan Lingling terhenti. Lalu sekujur tubuhnya mengejang tegang. Sepasang matanya pun terpejam. Nafasnya tertahan.

Pada saat itu pula kutancapkan batang kemaluanku di dalam liang memek Lingling yang terasa sedang berkedut - kedut kencang.

Pada saat yang sama moncong penisku pun menembak - nembakkan lendir kenikmatanku. Crooootttt… crottt… croooottttt… crotcroootttttt… crooootttttt…!

Liang memek Lingling terlalu nikmat buatku. Sementara aku sudah agak lama tidak pernah bersetubuh dengan siapa pun. Sehingga aku tak bisa menahan ejakulasiku lebih lama lagi. Itu pun masih untung, bisa melepasnya berbarengan dengan orgasme Lingling.

Seperti biasa, setelah mencabut batang kemaluanku, kuamati darah di bawah memek Lingling yang tergenang di kain seprai. Benar - benar perawan Lingling itu sebelum kupenetrasi tadi.

Ini sangat kuhormati. Bahwa di usia 24 tahun Lingling masih mampu mempertahankan keperawanannya. Hal ini sesuatu yang langka di zaman sekarang.

Karena itu aku sangat menghormati keteguhan Lingling, dengan kecupan mesra… mesra sekali di bibir sensualnya. “Terima kasih Sayang. Aku sudah membuktikan kesucianmu. Hal ini sangat kuhormati dan kucintai,” ucapku setengah berbisik.

Aku memang sudah menjelaskan kepada Lingling, bahwa targetku akan memiliki istri 4 orang. Dan dua orang sudah siap untuk kuperistrikan, Liza dan Gayatri.

Lingling menerima kenyataan itu dengan tulus. Dan siap untuk menjadi mualaf, lalu menjadi istri ketigaku.

Lingling juga sudah tahu bahwa calon istri pertama dan keduaku adalah kakak beradik.

Sehingga Lingling mengajukan usul agar aku menikahi adiknya yang baru tamat SMA, untuk dijadikan istri keempatku. “Biar aku juga punya saudara sebagai sesama istri Boss,” kata Lingling saat itu.

“Jangan ah. Biar pendidikannya dilanjutkan dulu. Masa baru tamat SMA mau kawin?”

Ternyata punya banyak cewek juga bukannya membangkitkan semangat baru. Aku malah bingung sendiri, cewek mana yang akan kujadikan istri? Gayatri atau Liza atau Adelita atau Lingling atau siapa?

Berhari - hari aku memikirkan semuanya itu. Dan selama itu pula aku tidak menyentuh cewek mana pun. Karena gairah birahiku sedang menurun.

Walau pun begitu, aku selalu mentransfer dana buat mereka semua secara rutin tiap bulan. Dalam jumlah yang banyak pula. Agar mereka tidak kekurangan untuk kehidupan sehari - harinya.

Aku memang seperti kehilangan nafsuku untuk menggauli siapa pun, kecuali Bunda dan Donna yang secara rutin kugauli. Sementara yang lain - lain kubiarkan saja. Yang penting merekma jangan kekuarangan uang.

Satu - satunya jalan untuk mengobati perasaan galau ini adalah dengan berkonsentrasi ke arah bisnisku yang kelihatannya mengalami kemajuan pesat ini. Terutama bisnis di luar negeri. Tapi aku hanya memantaunya lewat internet. Karena yang aktif di luar negeri adalah orang - orang kepercayaan Papa almarhum, yang kini kupertahankan menjadi orang - orang kepercayaanku.

Dan pada masa galau inilah tiba - tiba aku menerima telepon dari Umi. Ya, tentu saja hanya ada satu orang yang kupanggil Umi, yaitu Umi Faizah. Ibunya Adelita.

Lalu :

Aku: “Hallo Umi… apa kabar? Umi sehat - sehat aja kan?”

Umi: “Sehat Sayang. Umi lagi ada di kotamu nih.”

Aku: “Haaa? Di mana Umi sekarang?”

Umi: “Di rumah adikku Sayang. Ke sini ya. Nanti kusmskan alamat lengkapnya.”

Aku: “Iya Umi. Setelah baca alamat lengkapnya, aku akan ke situ sekarang.”

Lalu kuterima sms berisi alamat lengkap rumah yang sedang Umi singgahi sekarang. Aku mengerutkan dahiku, karena alamat rumah itu berada di daerah paling elit di kotaku. Daerah yang harga tanahnya pun sudah selangit mahalnya.

Sesaat kemudian aku sudah berada di dalam sedan baruku, sedan putih bersih yang harganya biasa - biasa saja. Karena aku tak mau menonjolkan diri. Tak mau disebut orang kaya, apalagi disebut konglomerat muda. Aku selalu menghindari istilah - istilah yang akan dicatat oleh orang - orang pajak. Lagian bisnisku mayoritas di luar negeri.

Aku kalau sedang sehat lahir batin, suka menggunakan Grand Cherokee. Tapi kalau sedang galau selalu kugunakan sedan putih ini. Karena terasa lebih nyaman buat badanku. Suspensinya lebih lembut, tidak bikin sakit pinggang.

Aku memang sudah lama berniat mengunjungi rumah Umi di kampung yang tenang dan nyaman itu. Karena aku sudah kangen pada bodynya yang semok dan memeknya yang tembem. Tapi kegiatan bisnisku tidak memungkinkanku untuk meninggalkan kantorku terlalu jauh. Karena aku harus memantau terus laporan dari oprang - orang kepercayaanku di luar negeri.

Bahkan belakangan ini aku sedang mematangkan rencana untuk meluaskan bisnisku ke beberapa negara di Eropa. Tapi baru rencana. Jadi tidaknya, sang waktu yang akan menjawabnya kelak.

Beberapa saat kemudian sedan putihku sudah memasuki pekarangan luas sebuah rumah megah. Aku semakin yakin, pemilik rumah ini pasti orang tajir melintir.

Begitu sedanku terparkir, kutelepon Umi. Mengatakan bahwa aku sudah berada di depan rumah dengan memakai sedan putih.

Sesaat kemudian Umi muncul dari ambang pintu depan.

Di depan satpam yang menjaga rumah itu, kucium tangan Umi, lalu cipika - cipiki dengannya.

Kemudian dibawanya aku ke ruang keluarga yang lengang.

Aku duduk di sofa ruang keluarga. Umi pun duduk di sampingku.

“Ini rumah siapa Umi?” tanyaku.

“Rumah salah satu adik kandungku Don,” sahut Umi, “Dia membutuhkan pertolonganmu. Mudah - mudahan kamu berhasil menolongnya. Ketika masih remaja, dia bermukim di Lebanon. Lalu menikah dengan orang Austria tapi seagama dengan kita. Dia dibawa ke Austria oleh suaminya. Dan sekarang dia ingin beristirahat di sini.

“Lalu apa yang bisa kutolong olehku Umi?”

Umi menjawabnya dengan bisikan di telinganya, “Hamili dia Don.”

“Haaa?!” aku terperanjat.

Umi membisiki telingaku lagi, “Mau dikasih memek yang masih merepet rapet, masa Donny mau nolak?”

Aku menjawabnya dengan bisikan lagi, “Sttt… aku justru udah kangen sama memek Umi.”

Umi mencubit perutku sambil berkata perlahan, “Umi mah gampang. Disekap sebulan juga sama kamu gak apa - apa Sayang. Tapi tolong dulu adikku itu Don.”

“Tapi aku gak bisa berbahasa Arab, Umi.”

“Dia bisa bahasa Indonesia dengan baik kok. Kan dia lahir besar di Indonesia. Setelah remaja baru pindah ke Lebanon. Ingin mendapatkan jodoh orang kaya katanya. Dia berhasil mendapatkannya, tapi setelah lima tahun jadi istri orang Austria itu, sampai sekarang belum punya anak juga.”

“Sekarang mana orangnya?”

“Lagi mandi. Sebentar lagi juga pasti muncul ke sini.”

“Umi sudah bilang sama dia bahwa Umi akan mempertemukannya denganku?”

“Sudah. Pokoknya Donny sih tinggal nunggangi dia aja nanti. Hihihihiii… ohya… terimakasih ya, Adelita laporan bahwa dia sudah dibelikan rumah di Singapura. Sudah diangkat menjadi general manager pula, katanya.”

“Iya Umi. Aku memang kebingungan. Karena banyhak yang bvilang kalau aku dilarang menikah dengannya. Karena ayahnya adik ayahku. Jadi aku ini malah punya hak wali untuknya. Makanya sampai sekarang jadi bingung Umi.”

“Gak dinikahi juga gak apa - apa. Asalkan masa depannya terjamin Don.”

“Kalau masa depan sih sekarang juga sudah terjamin Umi. Karena dengan kedudukannya yang sekarang, dia punya gaji dan profit yang cukup besar.”

Tak lama kemudian muncul seorang wanita muda, mungkin usianya pun hanya selisih beberapa tahun denganku. Tapi yang membuatku bengong adalah bodynya itu. Lebih semok daripada Umi… Dan yang menyolok, pakaiannya tidak seperti Umi yang selalu berhijab. Tapi wanita muda itu mengenakan kerudung pun tidak.

“Wow… ada tamu…” ucapnya sambil tersenyum. Memang cantik orangnya sih. “Ini Donny itu Kak?”

“Iya. Tadinya dia mau menikah dengan Adelita. Tapi ternyata tidak dibolehkan, karena ayahnya dengan ayah Adelita kakak beradik kandung.”

Aku pun berdiri dan menjabat tangan wanita muda yang tampangnya memang kearab - araban itu.

“Zaina,” ucapnya memperkenalkan namanya.

“Donny,” sahutku.

Terdengar suara Umi di belakangku, “Zaina itu artinya sangat cantik Don. Adikku memang cantik kan?”

“Iya, “aku mengangguk, “Sangat cantik.”

Lalu aku duduk di sofa. Adik Umi yang bernama Zaina pun duduk di sampingku. Sambil memegang - megang lututku. “Donny juga tampan sekali. Boleh aku tahu umur Donny sekarang berapa?”

“Duapuluhdua.”

“Aku duapuluhempat tahun Don.”

Untuk menyenangkan hatinya aku menanggapi, “Tapi kelihatannya seperti di bawah duapuluh tahun.”

“Masa sih?!” cetusnya dengan senyum manis di bibibrnya.

Tiba - tiba terdengar suara Umi di belakangku, “Zaina… supaya leluasa mendingan bawa aja Donny ke kamarmu. Aku malah mau ke mall dulu, mau belanja oleh - oleh untuk pulang besok.”

“Pakai apa ke mall Umi?” tanyaku.

“Pakai mobil dan sopir Zaina aja,” kata Umi.

“Iya silakan,” ucap Zaina. Lalu Ia memegang pergelangan tanganku sambil berkata, “Ngobrolnya di kamarku aja yuk. Biar lebih bebas dan leluasa.”

Aku mengikutinya saja. Dan aku sendiri heran, kenapa aku jadi langsung tergiur menyaksikan body adik Umi ini? Entahlah. Mungkin karena pada dasarnya aku ini suka pada perempuan montok seperti Zaina ini.

“Katanya Donny ini anak Kang Rosadi ya?” tanya Zaina setelah kami berada di dalam kamarnya yang luas dan disekat - sekat oleh partisi kaca tebal, “Aku waktu masih kecil sering ketemu sama ayahmui Don.”

“Aku malah gak pernah lihat muka Ayah. Karena sejak bayi merah sudah diadopsi oleh Papa Margono, yang lalu membawa dan membesarkanku di Bangkok.”

“Iya, masalah itu pernah dengar dari Kak Faizah. Donny diadopsi oleh orang terkaya di antara orang - orang Indonesia yang bemukim di Bangkok ya.”

“Iya, tapi beliau sudah meninggal. Makanya aku ke Indonesia, untuk mencari ibu kandungku, berdasarkan surat wasiat dari Almarhum Papa Margono.”

Lalu hening sejenak.

“Don… kita saling panggil nama aja ya. Karena usia kita kan cuma beda dua tahun. Kamu kan udah tau, namaku Zaina. Kamu panggil aku Ina aja ya. Itu nama kecilku.”

“Iya,” sahutku sambvil duduk di sofa mahal dalam kamar Zaina.

Zaina pun lalu melepaskan gaun coklat mudanya, sehingga tinggal lingerie, sehingga sepintas pun tampak bahwa ia tidak mengenakan bra di balik lingerie tipis transparant berwarna pink itu. Bahkan kelihatan jelas, ada sepasang toket gede di balik lingerie itu.

“Kakakku sudah menceritakan apa maksudnya memanggil Donny kan?” tanyanya sambil memeghang tanganku dan meremasnya dengan lembut.

“Sudah. Dia minta tolong untuk menghamilimu. Tapi menghamili itu bukan perkara mudah Zain… eeeh… Ina… harus tekun… bukan sekadar satu kali ML.”

“Iya. Besok kakakku pulang ke kampungnya. Tapi Donny bisa datang lagi ke sini. Mau tiap hari juga boleh.”

“Aku kan punya kesibukan juga In.”

“Sempatkan ke sini sejam aja bisa kan? Pokoknya kalau aku hamil, rumah ini beserta semua isinya akan kuhadiahkan untuk Donny.”

Kalau orang lain mungkin akan melompat kaget. Karena kutaksir rumah beserta segala isinya ini akan laku dijual 50 milyar lebih. Tapi aku cuma tersenyum. Karena kalau aku mau, membeli 100 rumah senilai dengan rumah Zaina ini pun aku mampu. Maka kataku, “Lupakan masalah hadiah rumah segala. Aku mau melakukannya bukanm atas dasar ingin memiliki rumah ini.

Lalu atas dasar apa Donny mau melakukannya?”

“Karena Zaina sangat seksi di mataku.”

“Terima kasih Don… emwuaaaah…” ucap Zaina sambil mengecup bibirku dengan hangatnya.

“Di sana aja yok,” ujarnya sambil menunjuk ke bed luas tak jauh dari sofa yang kami duduki.

Zaina jadi tampak bersemangat sekali setelah mendengar “pengakuanku” bahwa dia sangat seksi di mataku. Tapi memang itu pengakuan yang sejujurnya dariku. Bahwa aku yang sedang berada di titik jenuh, seolah tak punya gairah lagi untuk menggauli siapa pun di dalam lingkaran kehidupanku. Tapi sewtelah menyaksikan bentuk fisik Zaina itu…

Terlebih ketika Zaina memamerkan keseksian bokongnya yang begitu gede… sehingga aku langsung membayangkan betapa nikmatnya kalau aku menyetubuhinya dalam posisi doggy. Bisa ngentot sambil spanking…!

Tapi Zaina sudah menelentang sambil melepaskan lingerie dan… celana dalamnya.

Dan… sebentuk kemaluan wanita yang bersih dari rambut, yang nyaris tertutupi oleh kegempalan pangkal pahanya, tampak seperti sesuatu yang cantik dan lucu, seolah tersenyum padaku. Membuatku tak sabar lagi. Membuatku menelanjangi diriku sendiri, lalu merayap ke atas perut yang serba empuk… laksana merayap ke atas kasur surgawi yang sudah terhampar untukku.

Aku tidak pasif lagi, karena nafsuku sudah mulai menggelegak. Kupagut bibir sensual wanita muda yang memang cantik sekali seperti kata Umi tadi. Lalu kulumat bibirnya sambil meremas toket gedenya yang empuk dan kenyal tapi masih cukup indah untuk diremas dengan lembut ini. Sementara kontolku terasa bertempelan dengan memeknya yang terasa hangat ini.

Zaina pun menyambut lumatanku dengan lumatan pula. Menyedot lidahku ke dalam mulutnya, lalu menggeluti lidahku dengan lidahnya. Sementara tangannya terasa memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini.

“Penismu international size Don… ereksinya pun sempurna. Punya suamiku kalah kalau dibandingkan dengan punya Donny ini,” ucapnya setelah melepaskan bibir dan lidahku dari mulutnya.

Aku tidak menanggapinya, karena sudah ingin melorot turun ke bawah perutnya.

Dan ketika wajahku sudah berhadapan dengan memeknya, spontan bibirku merapat ke memek imut - imut dan harum ini. Lalu menjilatinya dengan lahap… lahap sekali… laksana kafilah di tengah padang pasir menemukan oase, lalu minum sepuas mungkin… karena memang sudah berhari - hari aku tidak menikmati memek siapa pun.

Begitu gencarnya aku menjilati celah memeknya yang ternganga. Dengan nafsu semakin menggebu - gebu… kelentitnya pun tak lepas dari jilatanku, bahkan di bagian yang nyempil sebesar kacang kedelai ini kusertai dengan isapan - isapan kuat. Tentu saja secara spontan kualirkan air liurku ke dalam celah memek tembemnya itu.

Zaina pun semakin merenggangkan jarak sepasang paha gempalnya, sambil mengejang - ngejang… sambil meremas - remas bahuku dengan kuatnya.

Desahan - desahan nafasnya pun mulai terdengar.

Setelah memeknya terasa cukup basah, aku pun berlutut sambil memukul - mukulkan kontolku ke permukaan memek yang sudah ternganga kemerahan itu. Lalu kucolek - colekkan moncong kontolku ke celah memek Zaina, sambil mencari - cari arah yang tepat untuk dipenetrasi. Dan setelah merasa cukup tepat arahnya, kudoirong kontolku sekuat tenaga.

Zaina pun memegang sepasang pangkal lenganku ketika aku mulai mengayun kontol ngacengku dengan gerakan pelan - pelan dulu. Makin lama makin kupercepat, sampai pada kecepatan normal.

Desahan dan rointihannya pun mulai terdengar perlahan tapi jelas, “Dooon… oooooohhhh… ini enak sekali Dooon… semoga jadi anak ya Dooon… aaaaah… Dooonny… ini enak Dooon… oooohhhh… Dooony… aaaah… aaaaaaaah… entot lebih keras lagi Doooon… iyaaaaa… iyaaaaaa…

Aku pun mengikuti keinginannya, agar entotanku lebih keras. Sehingga dalam tempo singkat keringatku mulai bercucuran. Begitu juga Zaina, keringatnya mulai membasahi leher dan wajahnya. Bercampur aduk dengan keringatku. Namun aku tak peduli dengan hal kecil ini. Aku malah melakukan sesuatu yang belakangan ini kusukai.

Ini membuat Zaina semakin klepek - klepek. Sekujur tubuhnya bergeliang - geliut, seperti ular terinjak kepalanya. Bahkan beberapa saat kemudian terdengar suaranya di dekat telingaku, “Doooon… ooooooh… aku udah mau orga Dooon… oooooh… cepetkan entotnya Dooon… ooooohhh… aaaaaaah …

Lalu sekujur tubuh gempal sintal itu mengejang. Aku pun langsung membenamkan kontolku sedalam mungkin, karena ingin menikmati indahnya detik - detik pada saat pasangan seksualku orgasme.

Lalu… liang memek perempuan timur tengah itu terasa bergerak - gerak reflex. Duuuh… indahnya menikmati detik - detik beraroma surgawi ini…!

Kubiarkan dulu wanita timur tengah itu terkapar lemas dengan wajah pucat pasi. Namun kemudian kulihat wajahnya kemerahan lagi. Pada saat itulah kulanjutkan lagi entotanku yang belum selesai ini.

Mata Zaina terbuka lagi. Dan bertanya, “Mau nyobain posisi doggy?”

Aku pun menghentikan entotanku, “Hehehee… Zaina tau aja posisi kesukaanku,” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek tembem itu.

Kemudian Zaina menungging sambil menepuk - nepuk bokong gedenya sendiri.

“Boleh sambil spanking kan?” tanyaku sambil berusaha membenamkan kontolku sambil berlutut di depan bokong guedeee itu.

“Iya boleh. Aku malah seneng sambil dikemplangin pantat gitu. Sampai merah sekali juga boleh… ooooohhh… sudah masuk lagi Doooon… penismu kok enak banget siiih?!”

Dengan mudahnya kontolku memang sudah amblas ke dalam liang memek yang sudah terasa becek itu.

Lalu mulailah aku mengentotnya sambil mengemplangi sepasang buah pantat yang luar biasa gedenya itu.

Plllllaaaaakhhh… plooooookhhh… plaaaakkkkk… plooookkkk… plaaaaaakkkkk… ploooook… plaaaaak… ploooookkkk… plaaaakkkk…

Sementara itu gesekan antara kontolku dengan liang memek Zaina yang becek itu menimbulkan bunyi khas… crrrreeeekkk… sreetttttt… creeeek… sreeeet… crekkkkkk… sretttt… creeeekkkkkkk… sretttt…

Pantat gede yang kukemplangi terus itu mulai tampak merah - merah. Tapi aku tetap mengemplanginya dengan gairah yang semakin menggebu - gebu.

Memang nafsuku sedang agak aneh. Mengentot Zaina ini rasanya seperti menghadapi dua atau tiga cewek sekaligus. Sehingga keringat pun semakin membanjiri tubuhku. Namun aku tetap asyik mengentotnya dari belakang.

Tiba - tiba Zaina berkata, “Don… posisi missionary lagi aja Don. Soalnya aku sudah hampir orgasme lagi. Kalau bisa sih barengin sekalian ya.”

“Iya,” sahutku. Meski sebenarnya aku masih ingin berlama - lama menikmati pulennya liang memek wanita timur tengah yang lahir besar di nusantara itu.

Lalu kucabut kontolku dari liang memeknya. Zaina pun cepat menelentang sambil mengangkangkan kedua pahanya lebar - lebar.

Lalu… kujebloskan lagi kontolku ke dalam liang memek yang gurih dan legit itu.

Zaina menyambutku dengan pelukan dan bisikan, “Barengin ya… biar enak dan jadi anak…”

Aku mengiyakan saja. Sambil mengayun kontolku seolah sedang memompa liang memek wanita timur tengah itu. Sengaja kucepatkan dan kukeraskan gerakan kontolku, laksana gerkaan hardcore di bokep - bokep.

Saking keras dan cepatnya gerakan kontolku ini, sampai terdengar bunyi plak - plok plak - plok - plak - plok… itu bunyi kantung berisi biji pelerku yang sedang menepok - nepok mulut anus Zaina.

Zaina pun merintih dan mendesah erotis lagi. “Aaaaaah… Dooooon… aaaaaah… aaaaah… baru sekali ini aku merasakan kontol yang segini enaknya… entot terus Dooon… aku sudah hampir orgasme lagi… ooooooohhhhh… barengin yaa… barengiiin… iya Dooon… iyaaaaa… aku mau orga lagiiii …

Sebagai reaksi, aku pun mempercepat entotanku… menggenjot liang memek Zaina habis - habisan. Lalu ketika wanita timur tengah itu mulai mengejang sambil menahan nafasnya, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai menabrak dasar liang memeknya.

Detik - detik terindah itu pun terjadi. Bahwa ketika liang memek Zaina bergerak - gerak reflex… mengejut dan memutar seperti spiral… dibalas dengan kejutan - kejutan kontolku yang tengah memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crrrreeeettttt… croooootttt… croooottttt… crotttt… crooootttttttt… creettttttt… crooootttttttt…!

Terasa banyak sekali air maniku yang termuntahkan di dalam liang memek Zaina. Maklum sudah lebih dari sebulan aku disubukkan oleh bisnisku dan tidak menyetubuhi siapa pun.

“Jangan dicabut dulu Don,” ucap Zaina setengah berbisik. “Biar meresap ke dalam rahimku. Duuuh… banyak sekali spermamu yaaa…”

“Sudah lebih dari sebulan aku tidak menyetubuhi siapa pun.”

“Bagus itu. Sekarang aku sedang dalam masa subur pula. Semoga aku hamil ya.”

“Iya. Nanti anakku dibawa jauh ke Austria… hahahaaa…”

“Aku bakal sering datang ke sini. Kan ada bisnis di Surabaya dan di kota ini.”

“Ohya?! Hebat dong Zaina jadi wanita karier.”

“Begini Don… nanti seandainya kamu berhasil membuahiku, aku akan secepatnya terbang ke Austria. Di sana aku akan mengajak suamiku menggauliku. Supaya anak kita disangka anak dia.”

“Suami Zaina asli orang Austria?”

“Bukan. Dia berdarah Turki, tapi berkewarganegaraan Austria.”

“Seandainya dia minta test DNA gimana?”

“Kalau dia nyuruh test DNA segala, berarti dia sudah mencurigaiku. Kalau dia marah - marah, aku akan minta cerai aja dan langsung pulang ke Indonesia. Karena aku merasa tanah airku di sini. Bukan di Lebanon.”

“Lalu bagaimana dengan bisnisnya? Punya suami Zaina kan?”

“Bukan. Dia pegawai departemen perindustrian. Kalau di sini sih PNS lah. Bisnis itu semuanya bisnisku. Bukan bisnis dia.”

“Jadi kalau sampai terjadi perceraian, Zaina bisa langsung hengkang ke Indonesia ya?”

“Iya. Cuman sayangnya pusat bisnisku di Vienna, Austria. Kalau meninggalkan Austria entah bagaimana cara mengelolanya nanti. Di sini Vienna suka disebut Wina.”

“Tergantung siapa dulu yang nyebutinnya. Kalau wawasannya lokal, pasti nyebut Wina… bisa tertukar sama nama penyanyi dangdut. Hahahahaaaa…”

“Iya. Kalau bangsa kita mau tour ke Yunani, terus beli tiketnya di Eropa, bisa bingung nanti penjual tiketnya. Yunani… Yunani… mana ada bangsa lain menyebut Yunani untuk Greece.”

“Seperti menyebut Mesir untuk Egypt… Belanda untuk Nederland… kok jauh bener bedanya ya.”

Ketika hari sudah mulai remang - remang menuju malam, aku pun meninggalkan rumah Zaina. Dan berjanji akan datang lagi dua hari kemudian.

Aku pun menujukan sedan putihku ke rumah Bunda. Karena aku sudah kangen… kangen sekali kepada Bunda yang sudah agak lama tidak berjumpa denganku.

Setibanya di rumah Bunda, hari sudah semakin malam, karena tadi mengisi perut dulu disebuah café yang menyediakan nasi gorewng juga.

Aku langsung mencari Bunda ke kamarnya. Kebetulan Bunda baru selesai mandi dan sedang menggosok - gosok rambutnya dengan handuk.

“Keramas nih yeee…” ucapku sambil memeluk Bunda dari belakang.

“Iya. Bunda kan baru bersih mens. Makanya keramas,” sahutnya.

“Asyik dong… berarti sekarang memek Bunda sedang enak - enaknya.”

“Iya. Kamu kangen pengen numpakin bunda yang udah lama gak ditengok ya?”

“Iya Bun. Kangen berat. Café siapa yang nungguin?”

“Donna lah, siapa lagi kalau bukan dia. Kan tugas Bunda dari pagi sampai sore. Donna giliran dari sore sampai café tutup.”

“Dia tetap semangat nungguin cafe ya Bun,” ucapku masih memeluk Bunda dari belakang, tapi tanganku sudah kuselinapkan ke balik daster Bunda. Dan langsung menyentuh memek Bunda, karena seperti biasa, kalau sudah dekat waktunya tidur Bunda tak pernah mengenakan celana dalam mau pun beha. Ini membuatku semakin bernafsu untuk mencolek - colek dan mencolok - colok memek bunda yang selalu bersih dari jembut.

Meski aku berada di belakang Bunda, tapi aku sudah hafal di titik mana kelentitnya berada. Titik yang terpeka itulah yang digesek - gesek oleh jemariku.

Aneh memang. Tadi siang sampai sore aku habis - habisan menyetubuhi wanita muda montok dari Lebanon bernama Zaina itu. Tapi setelah berdekatan dengan Bunda, terlebih setelah menggerayangi memeknya begini, nafsuku jadi bergejolak lagi.

Mungkin “lesu darah”ku sudah sembuh lagi. Mungkin gara - gara mendapatkan Zaina yang montok sekali itu.

Tadi dengan Zaina aku hanya satu kali ngecrot. Tidak mau “nambuah sapiriang”. Karena dengan Zaina ada tujuan, ingin menghamilinya. Bukan sekadar melampiaskan nafsu syahwat.

Setelah berada di rumah Bunda inilah aku bisa disebut ingin melampiaskan nafsu syahwat semata. Karena tujuannya memang sekadar ingin “mengenyangkan” si johni, yang belum kenyang di rumah Zaina.

Lalu terdengar suara Bunda, “Dooon… kalau itil bunda udah digesek - gesek gini, pasti bunda langsung horny.”

Lalu Bunda melepaskan dasternya dan menarik pergelangan tanganku ke arah bednya.

Aku pun naik ke atas bed sambil melepaskan seluruh busanaku, lalu merayap ke atas perut Bunda yang sudah celentang dengan senyum beraroma birahi di bibirnya.

Tanpa kesulitan aku pun membenamkan kontolku ke dalam liang memek Bunda. Ya… Bunda senengnya begini. Tidak suka main jilat memek sebelumnya, karena “lezatnya” kontolku jadiu kurang terasa kalau dibikin basah kuyup dulu memeknya.

“Ooooohhh… udah masuk Don, “rintih Bunda setengah berdesah “Kamu sudah punya banyak cewek, tapi sama bunda tetap mau ya?”

Kusahut, “Bunda sayang… memang aku punya cewek banyak. Tapi biar bagaimana, Bunda jua yang paling mengesankan bagiku.”

Lalu aku mulai mengayun kontolku di dalam liang memek bunda yang sudah licin tapi belum becek.

Maka Bunda pun mulai menggeol - geolkan bokong gedenya, meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Membuat kontolku dibesot - besot dan dipilin - pilin oleh liang memeknya yang licin dan hangat ini.

Kalau dipikir - pikir, agak merinding juga aku dibuatnya. Dahulu, waktu aku dilahirkan, sekujur tubuh dan kepalaku dikeluarkan lewat liang memek Bunda ini. Dan sekarang hanya kontolku yang maju - mundur di dalam liang sanggama ini.

Tapi anehnya, ingatan itu malah membuatku semakin bersemangat untuk menyetubuhi Bunda dan Donna secara rutin.

Meski tadi siang sampai sore aku “disekap” di dalam kamar Zaina, kini aku masih mampu mengentot Bunda dengan keyakinan bahwa aku akan sangat lama menyetubuhi Bunda ini.

Tapi ketika aku sedang asyik - asyiknya mengentot Bunda, tiba - tiba terdengar suara Donna dari ambang pintu kamar Bunda yang lupa menguncinya. “Waaaah… malam weekend begini memang harus ada acara hot wikwik… kok aku gak diajak sih?”

Aku menoleh ke arah Donna yang masih mengenakan baju seragam café. blousedan sok serba putih, dengan blazer merah dengan logo café di dadanya. “Mandi dan ganti baju dulu. Nanti gabung aja ke sini.”

“Siap Boss. Aku mau mandi di kamar mandi Bunda aja ah. Memang badanku penuh keringat nih,” sahut Donna yang langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi Bunda.

Aku pun melanjutkan aksiku, menggenjot batang kemaluanku yang sedang “memompa” liang memek Bunda.

Bunda pun bereaksi dengan menggeol - geolkan lagi pantat gedenya. Demikian pandainya Bunda mengarahkan goyangan pinggulnya, dengan gerakan meliuk - liuk dan menghempas - hempas, sehingga pada wqaktu memeknya menukik, selalu bergesekan dengan kontolku. Hal ini menyebabkan Bunda cepat “selesai”. Bunda berkelojotan, lalu mengejang tegang di puncak orgasmenya.

Detik - detik terindah itu dirasakian oleh batang kemaluanku yang seolah dililit oleh ular, disusul oleh kedutan - kedutan kencang di dasar liang memek Bunda.

“Aaaaaaaaahhhh…” desah Bunda setelah puncak orgasmenya tercapai.

Pada saat yang sama Donna pun muncul dari kamar mandi, dengan hanya melilitkan handuk dibadannya, yang menutupi dari dada sampai ke pahanya. Tapi aku yakin di balik handuk itu Donna tidak mengenakan bra mau pun celana dalam.

Aku pun mencabgut kontolku dari liang memek Bunda, karena beliau sudah terkapar lemas sambil memejamkan matanya.

Pada saat itulah Donna naik ke atas bed sambil melepaskan belitan handuknya.

Donna langsung telanjang bulat. Dan aku tercengang karena menyaksikan sesuatu yang berbeda dengan biasanya.

Ternyata Donna selalu berusaha untuk mengikuti apa pun yang kuinginkan. Donna selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dalam pertemuanku dengan Donna sebelumnya, kukatakan bahwa aku sudah mulai jenuh dengan memek botak dan botak lagi.

Dan kini sesuatu yang berbeda telah tampak di mataku. Bahwa memek Donna jadi berjembut. Jadi trendnya seperti terbalik. Memek Bunda dicukur gundul, sementara memek Donna malah berjembut.

Sebenarnya aku akan menyetubuhi Donna dio samping Bunda yang sudah tertidur. Tapi sesaat kemudian Bunda membuka matanya dan berkata, “Donna… di kamarmu aja gih. Biar bunda nyenyak tidurnya. Nanti subuh kan mau belanja ke pasar.”

“Iya Bun,” sahut Donna sambil memberi isyarat padaku agar pindah ke dalam kamarnya.

Aku mengangguk. Tapi aku mencium bibir Bunda dulu, disusul dengan bisikan, “Aku mau ke kamar Donna dulu. Tapi nanti tidurnya sama Bunda di sini ya. Udah kangen bobo dalam pelukan Bunda.”

Bunda mengusap - usap rambutku sambil menyahut, “Nanti subuh bunda mau belanja ke pasar, untuk kebutuhan café. Kalau bunda kurang tidur, bisa sakit nanti. Bobo sama Donna aja ya Sayang.”

“Iya deh,” jawabku sambil menepuk - nepuk memek bunda yang masih telanjang. Lalu keluar dari kamar bunda sambil meraih pakaianku dan kubawa ke kamar Donna.

Pakaian itu kuilemparkan ke atas lemari pendek, lalu memperhatikan Donna yang sudah berada di atas bed dalam keadaan telanjang seperti aku.

Tadi aku sudah habis - habisan menyetubuhi Bunda. Tapi aku belum ejakulasi. Karena itu tentu saja “si dede” masih ngaceng dan menuntut dientotkan lagi di dalam liang memek.

“Kamu masih ikutan kabe Don?” tanyaku sambil naik ke atas bed.

“Masih lah.”

“Gak pengen punya anak dariku?” tanyhaku sambil mengusap - usap jembut Donna.

“Jangan dong. Kita memang incester. Tapi kita hidup di tengah masyarakat yang masih konservatif. Lagian kalau aku punya anak darimu, lantas setelah besar anaknya bertanya siapa ayahnya… pasti bingung aku menjawabnya kan?”

“Iya, kamu benar juga. Terus langkah kita selanjutnya bagaimana? Hubungan kita tetap akan berjalan seperti ini?”

“Mmm… pasti akhirnya kita harus kawin dengan orang lain. Tapi meski kamu sudah punya istri dan aku pun sudah punya suami, aku ingin agar hubungan rahasia kita tetap berjalan seperti biasa.”

“Oke. Kalau begitu aku setuju. Hmmm… padahal di salah satu provinsi di negara kita ada tradisi yang unik. Kalau anak kembar berlainan jenis kelamin, salah satu anaknya diberikan kepada orang lain. Tapi setelah besar dinikahkan, karena sudah membawa jodoh dari lahir katanya. Tapi gak tau apakah sekarang tradisi itu masih dilakukan atau sudah ditinggalkan.

“Iya, aku juga pernah dengar cerita tentang tradisi itu. Jodohnya sudah ada sejak kedua anak kembar itu masih dalam perut ibu mereka. Kalau di sini ada tradisi seperti itu, pasti kita sudah menjadi suami istri ya.”

Sambil menmyelusupkan jari ke dalam liang memek Donna, aku berkata, “Kalau sekadar ingin menikah, di louar negeri juga bisa kita lakukan. Tapi waktu pulang ke sini, malah bisa bikin heboh nanti. Ohya… kamu kan di café terus. Apakah ada cowok yang ngeceng kamu?”

“Ada yang serius sama aku. Dia seorang duda yang baru ditinggal mati oleh istrinya. Dia seorang pengusaha tajir. Terlihat dari mobil yang biasa dipakai pun mobil yang harganya milyaran.”

“Nah bagus itu. Terima aja cintanya, kan kita bisa tetap berhubungan secara rahasia.”

“Sudah tua Don,” sahut Donna, “Umurnya sudah limapuluh lebih.”

“Gak apa. Malah bagus kalau sudah tua. Dia bakal menerima kamu apa adanya.”

“Maksudmu apa adanya dalam hal apa?”

“Kamu kan gak perawan lagi. Kalau lelaki yang sudah berumur, pasti mau menerima kamu apa adanya.”

“Dia orang Belanda Don. DIa memang sudah jadi WNI, karena istrinya almarhumah orang Indonesia. Tapi agamanya… dia bukan mualaf Don.”

“Coba aja bujuk agar menjadi mualaf. Siapa tau dia mau.”

“Sudah kubilang begitu. Dia mau memikirkan dulu katanya. Eeeh… kamu mau kuoral?”

“Nggak ah. Aku waktu sama Bunda tadi kan belum ngecrot. Masih ngaceng gini ngapain dioral segala? Aku justru ingin jilatin memekmu. Pengen tau bagaimana rasanya menjilati memek berjembut begini.”

“Ya udah… jilatin deh memekku,” ucap Donna sambil celentang dan mengangkang.

Aku tersenyum sambil melorot turun dan berhenti setelah wajahku berada di atas memek Donna yang kini berjembut.

Kuusap - usap dan kusibakkan jembut Donna agar menjauh dari bagian yang akan kujilati. “Memekmu harum gini. Pakai parfum apa?” tanyaku, “Harumnya unik gini… seperti aroma pegunungan.”

“Pakai ramuan therapy. Kalau pakai parfum sih bisa panas memekku,” sahut Donna.

“Ooo… pantesan. Tapi mantap harumnya Don. Kamu boleh pakai terus ramuan itu.”

“Iya Donny sayang… apa pun akan kulakukan demi cintaku padamu.”

Lalu aku tidak bicara lagi, karena lidah dan bibirku mulai “sibuk” menjilati memek saudara kembarku. Semua bagian yang terjangkau oleh lidah, kujilati dengan lahap. Lahap sekali. Memang harum udara pegunungan yang begini natural membuatku sangat bersemangat untuk menjilati memek Donna.

Bahkan pada suatu saat, kuemut kelentitnya. Kujilat - jilat dan kuisap - isap dengan kuatnya.

Donna pun menggeliat - geliat sambil, meremas - remas rambutku. “Dooon… dudududuuuuh… kalau itilku yang dijilatin begini… aku pasti orgasme… aaaaaah… Doooon… aaaaaah… aku bisa cepat lepas Dooon… aaaaaaah… Doooniiii… jangan nakal gini dong… aku… aku mau lepasssssss…

Donna mengejang tegang, sementara akku malah semakin lahap menjilati kelentitnya, sambil memasukkan dua jari tanganku ke dalam liang memeknya pula.

Dan… jari tanganku bisa merasakan liang memek Donna mengejut - ngejut… disusul dengan basahnya liang sanggama saudara kembarku ini.

Donna terkulai lemas. Pada saat itulah kubenamkan kontolku ke dalam liang memeknya. Blessssss… kontolku bisa dengan mudah memasuki liang kemaluan saudara kembarku, karena dia baru mengalami orgasme.

Donna mendekapku erat - erat sambil berkata setengah berbisik, “Jangan dientotin dulu Sayang… aku baru orgasme… masih ngilu - ngilu.”

Kuikuti saja permintaannya. Kurendam kontolku di dalam liang memek Donna yang terasa hangat dan sangat basah ini.

“Enak orgasmenya barusan?” bisikku sambil merapatkan pipiku ke pipi Donna.

“Ya enaklah. Masa orgasme gak enak. Kamu nakal iiih… belum apa - apa aku udah orgasme jadinya.”

“Santai aja Sayang. Kan biasa juga kamu suka dua atau tiga kali orgasme kalau kusetubuhi.”

“Iya sih… mmm… ayo entotin Don. Sekarang udah hilang ngilu - ngilunya.”

Sesuai dengan permintaan Donna, aku pun mulai mengayun kontolku di dalam liang memek saudara kembarku.

Donna pun mulai mendesah - desah sambil menciumi bibirku bertubi - tubi.

Menyetubuhi Bunda dan Donna seolah sudah menjadi kewajibanku, untuk memberikan nafkah batin kepada mereka. Aku tak pernah memikirkan bagaimana seandainya Bunda menikah lagi dengan lelaki lain kelak. Juga tak pernah memikirkan hal yang sama pada diri Donna. Biarlah semua mengalir saja seperti air dari mata air yang mengalir terus ke muara.

Dan ketika aku sedang menyetubuhi Donna ini, aku mengherani diriku sendiri. Kenapa aku seolah kehilangan gairah untuk menggauli Gayatri, Liza dan Lingling? Tapi kenapa pada waktu menyetubuhi Donna ini aku merasa begini bergairahnya? Apakah pada dasarnya aku sudah menjadi incester?

Entahlah. Yang jelas pada waktu kontolku sedang menggenjot liang memek saudara kembarku ini, aku merasa benar - benar bebas menyetubuhinya.

Terlebih ketika Donna membisiki telingaku, “Donny… setiap kali dientot sama kamu, rasanya aku seperti sedang berada di surga… surga dunia. Rasanya di dunia ini hanya ada kita bertiga. Aku, kamu dan Bunda.”

Aku cuma tersenyum. Lalu menggencarkan entotanku sambil meremas toket kanannya dengan tangan kiriku, sementara mulutku sudah nyungsep di lehernya. Untuk menjilati leher jenjangnya, disertai gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan.

Donna memang paling suka diperlakukan seperti ini. Dientot habis - habisan sambil dijilati lehernya dan diremas - remas toketnya.

“Donniiii… ooooohhhhh… ini makin enak aja Dooon… bisa - bisa aku orgasme lagi nantiiii… “rintih sambil meremas - remas bahuku. Terkadang dia meremas - remas rambutku juga. Dan di saat lain dia meremas - remas bokongku. Sehingga aku semakin bergairah untuk mengentotnya habis - habisan.

Tubuhku pun mulai bersimbah keringat yang bercamnpur aduk dengan keringat Donna.

Tapi tiba - tiba Donna mengelojot, dengan perut agak terangkat ke atas dia pun mengejang. Sehingga aku semakin mempercepat entotanku. Karena aku pun sudah mau ejakulasi.

Lalu kurasakan nikmatnya mencapai titik puncak keindahan secara berbarengan ini. Bahwa aku dan Donna seolah sedang kerasukan. Kami saling remas dan saling lumat bibir.

Pada detik - detik terindah itulah terasa liang memek Donna berkedut - kedut kencang… pada saat yang sama kontolku pun mengejut - ngejut sambil melepaskanlendir pejuhku… jrooooooooottttttt… jrootttt… jroooottttttttt… jrooooootttt… jroootttt jrottttt… jrooootttt…

Setelah melepaskan ciumannya, Donna berkata lirih, “Terima kasih Don. Luar biasa nikmatnya.”

Setelah mencabut kontolku dari liang memek Donna, kukecup pipinya, lalu berbisik, “Bobolah sekarang ya Sayang. Besok kan harus jaga café.”

“Iya Don. Terimakasih yaaa…” sahut Donna sambil memeluk bantal guling dan memejamkan matanya.

Aku keluar dari kamar Donna dan masuk ke dalam kamarku. Langsung masuk ke dalam kamar mandi pribadiku. Lalu mandi dengan air hangat shower sampai bersih dari keringat bekas ngentot Bunda dan Donna tadi.

Selesai mandi, kuambil kimono yang terbuat dari bahan handuk putih yang masih bersih. Lalu kukenakan.

Tapi sesuai dengan ucapanku tadi, aku tidak tidur di kamarku. Aku ingin tidur di kamar Bunda. Entah kenapa, kalau tidur sambil dipeluk oleh Bunda itu rasanya nyaman sekali.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Hari demi hari berjalan dengan cepatnya, tanpa bisa dimundurkan. Sampai pada suatu hari terjadi sesuatu yang mengejutkan.

Aku tidak menyangka sedikit pun kalau hal itu akan terjadi.

Ya… pada suatu pagi aku mendapat call dari Tante Sin.

“Don… ini bagaimana nih… Gayatri muntah - muntah terus… dan aku yakin dia sedang hamil… !” kata Tante Sin di ujung sana.

“Hamil?! Sejak kapan dia kelihatan hamilnya?” tanyaku.

“Gak tau. Pokoknya Donny ke sini aja ya. Nanti bawa dia ke dokter biar jelas semuanya.”

Dengan perasaan kaget dan heran aku mengeluarkan sedan putihku. Lalu kujalankan ke arah rumah Tante Sin yang sudah lebih dari tiga bulan tidak kukunnjungi. Berarti aku pun sudah lebih dari tiga bulan tidak berjumpa dengan Gayatri.

Setibanya di rumah Tante Sin, aku langsung naik ke lantai dua. Ke pintu kamar Gayatri.

Kulihat Gayatri sedang menelungkup sambil menangis terisak - isak.

Kupegang dan kugoyahkan betis Gayatri. “Kenapa Tri? Kamu kena muntaber atau gimana?” tanyaku.

“Gak tau. Pokoknya aku mual - mual terus belakangan ini.”

“Kalau begitu ayo kita ke dokter sekarang. Biar semuanya menjadi jelas.”

Gayatri turun dari bednya dengan wajah dan rambut lusuh. Lalu keluar dari kamarnya sambil kupegangi pergelangan tangannya.

Gayatri menurut saja kubawa ke dokter langgananku. Seorang dokter wanita. Aku pun ikut masuk ke dalam ruang praktek dokter itu. Gayatri pun dibawa masuk ke balik partisi kain putih, sementara aku duduk di depan meja kerja dokter yang sudah kenal baik denganku itu.

Aku mendengar banyak tanya jawab antara dokter itu dengan Gayatri.

Dan yang sangat mengejutkan adalah ketika dokter itu duduk kembali di kursinya sambil berkata p;adaku, “Dia hamil sudah empat minggu Don.”

“Empat minggu?!” seruku tertahan.

“Iya. Kenapa Don?”

“Gak kenapa - kenapa Dok. Cuma kaget aja.”

Aku bilang gak kenapa - kenapa pada dokter wanita berwajah ayu dan anggun itu. Tapi masalah “empat minggu” itu serasa mau meledak dari dalam dadaku setelah berada di mobil kembali untuk mengantarkan Gayatri beli obat resep dokter.

Dari apotek menuju tempat tinggal Gayatri, aku tak bisa lagi menahan amarah yang serasa mau meledak ini.

“Siapa yang melakukannya Tri?” tanyaku.

Gayatri cuma menunduk sambil mendekap dadanya sendiri.

“Jawab aja sejujurnya. Kamu kan selalu jujur biasanya juga, “desakku.

Gayatri tetap membisu.

“Kamu sengaja tidak mau mengatakannya karena ingin melindungi cowok itu? Atau aku harus menyelidikinya sendiri ke tempat semua pergauloanmu, baik yang di rumah mau pun yang di kampus,” kataku lagi.

“Aku lupa minum pil anti hamil, makanya kebobolan.”

“Yang aku tanya siapa cowok yang telah menghamilimu itu? Yang pasti bukan aku! Hampir empat bulan aku sibuk terus sehingga gak sempat menjumpaimu. Sedangkan kehamilanmu berumur baru empat minggu. Berarti perbujatanmu dengan cowok itu di sekitar sebulan belakangan ini. Atau mungkin sebelumnya juga sering melakukannya, tapi terjaga oleh pil kontrasepsi.

“Aku mau sejujurnya bicara. Yang melakukannya teman kuliahku. Yang pertama kali, aku diperkosa olehnya. Tapi selanjutnya memang suka sama suka, karena aku merasa sudah kepalangan basah. Sekarang terserah Bang Donny. mau bunuh aku pun silakan. Aku sudah pasrah.”

“Aku pengusaha, bukan pembunuh. Aku hanya akan memberi keputusan yang tidak merugikan siapa pun. Hubungan kita putus sampai di sini. Dengan sendirinya dengan Liza pun aku putuskan. Karena aku takkan mengenal Liza kalau aku tak mengenalmu.”

Gayatri menangis terisak - isak. Biasanya hatiku luluh kalau menyaksikan cewek menangis. Tapi kali ini tidak. Aku bahkan membayangkan seperti apa kejadiannya yang tidak aku saksikan itu. Kejadian persetubuhan antara Gayatri dengan teman kuliahnya itu.

Ketika aku masuk ke dalam tempat tinggal Gayatri, Tante Sin seperti penasaran. “Bagaimana hasil pemeriksaan dokter Don?” tanyanya.

“Dia memang hamil. Baru empat minggu kehamilannya. Jelas bukan aku yang merlakukannya. Karena lebih dari tiga bulan aku tak pernah berjumpa dengan dia. Jadi… ini terakhir kalinya aku menginjak rumah Tante. Maafkan aku kalau selama ini melakukan kesalahan kepada Tante ya.”

“Ja… jadi siapa yang menghamilinya?” tanya Tante Sin.

“Tanyakan aja sendiri padanya Tante. Aku mohon pamit ya.”

Lalu kutinggalkan rumah Tante Sin. Dengan kobaran amarah yang belum reda bahkan semakin menjadi - jadi setibanya di rumahku.

Jadi… seperti itu kelakuan cewek yang sangat kusayang dan kupercayai dan tadinya akan kujadikan istri pertama itu?!

Tapi aku lalu mengatur nafas. Dan bermeditasi di dalam kamarku.

Esoknya aku berusaha memetik hikmah dari semua ini. Bahwa aku mendadak kehilangan gairah birahi selama berbulan - bulan, ternyata ada kekuatan tak terkalahkan untuk membuka rahasia Gayatri, bahwa diam - diam dia sering melakukan keserongan di belakangku. Kalau aku terus - terusan menggaulinya selama empat bulan belakangan ini, pasti aku takkan bisa membongkar rahasia itu.

Pantaslah orang- orang tua suka memberi wejangan, bahwa mencari calon istri itu harus mencermati dulu babat bibit dan bobotnya. Salah satunya adalah apa dan siapa orang tua dan keluarga besarnya.

Sedangkan Gayatri? Ibunya (Tante Agatha) seperti itu, tantenya (Tante Sin) seperti itu. Maka tidak terlalu mengherankan kalau Gayatri pun seperti itu. Karena buah itu takkan jatuh jauh dari pohonnya.

Sekarang mataku sudah terbuka. Dan selanjutnya aku harus waspada, jangan cepat percaya pada siapa pun. Kecuali kalau aku ini seorang lelaki cuckold… hahahaaa…!

Lalu calon istriku yang belum ternoda itu adalah Lingling. Semoga saja dia tidak seperti Gayatri. Kalau pun Lingling seperti Gayatri, ya sudahlah. Mungkin aku akan mencari calon istri di dalam keluarga besarku saja. Bukankah sejak pertama merasakannya dengan Mama angkatku sudah ada jiwa incest di dalam jiwaku ini?

Tiba - tiba aku teringat Imey, anak Tante Ratih yang digadang - gadang hendak dijodohkan denganku itu.

Aku memang selalu mentransfer dana pada rekening tabungannya, dalam jumlah yang tak sedikit pula. Karena ia sudah resign dari pabrik, atas anjuranku. Tapi aku baru satu kali saja berjumpa dengan dia di rumah ibunya yang adik Bunda itu. Sejak saat itu aku tak pernah berjumpa lagi dengannya, namun aku selalu mentransfer dana padanya, sebagai tanda keseriusanku.

Aku serasa mendapatkan ilham baru. Kemudian kupijat nomor ponsel Imey.

Mungkin anak Tante Ratih bernama Imey itu kaget, karena tiba - tiba saja aku menghubunginya lewat ponselku.

“Kok tumben duluan call? Biasanya kan harus aku dulu yang call.”

“Segala sesuatu ada waktunya. Kan ada yang bilang, sesuatu akan menjadi indah pada waktunya. Nah sekarang aku mau jemput ke rumahmu, gimana?”

“Mau ngajak ke mana?”

“Pengen ke pantai. Kamu mau kan diajak ke pantai Pangandaran?”

“Duh… aku seneng banget dengernya juga. Karena aku paling suka wisata ke pantai. Tapi Mama lagi di Surabaya Don. Di rumah gak ada siapa - siapa. Mendingan juga Kang Donny nemenin aku di rumah aja.”

“Ngajak aku nginep di rumahmu?”

“Iya, nginep juga boleh. Sampai Mama pulang dari Surabaya juga boleh. Aku sudah dapat ijin khusus kok dari Mama, kalau Kang Donny bertamu dan menginap di rumah, dibolehkan menginap.”

“Oke. Dalam sejam aku akan merapat ke rumahmu ya.”

“Silakan. Aku tunggu ya Kang.”

Aku pun langsung mandi sebersih mungkin. Sehingga badanku jadi terasa segar sekali.

Beberapa saat kemudian aku sudah melarikan sedan putihku. Menuju rumah Tante Ratih.

Rumah Tante Ratih tidak ada garasinya. Tapi aku bisa memarkir mobilku di pekarangannya yang lumayan luas. Imey pun muncul dan menghampiri mobilku.

“Mobilnya diganti?” tanyanya setelah bersalaman dan cipika - cipiki denganku.

“Ditambah, bukan diganti,” sahutku sambil tersenyum.

“Oh iya… aku lupa siapa Kang Donny ini… hihihiii… ayo masuk,” ucapnya sambil melangkah ke teras depan dan masuk ke dalam rumahnya.

“Lho… rumah ini sudah dirombak ya,” ucapku sambil melangkah terus ke ruang keluarga. Sambil memperhatikan dindingnya yang sudah dilukis sekujurnya. Lukisan seperti ombak dalam warna hitam abu - abu dan putih. Sungguh bagus nuansa dan coretannya.

“Iya… kan aku sudah resign dari pabrik. Daripada nganggur, kulukis aja dindingnya seperti ini. kamarku pindah ke belakang, ke tanah kosong itu. Bangunan kamar baruku dan semuanya ini dibiayai oleh transfer dari Kang Donny.”

“Jadi dinding ini Imey sendiri yang melukisnya?”

“Iya… hitung - hitung menyalurkan bakat terpendam aja Kang. Sekalian mengobati kangennya aku menunggu kedatangan Kang Donny yang lebih dari setahun gak muncul - muncul.”

Kudekap pinggang Imey dari belakang, “Ternyata kamu punya bakat melukis ya. Coretannya pun halus begitu. Mmm… aku kagum sama coretan di dinding itu, Mey. Coba lihat kamar barumu seperti apa?”

Dengan sikap manja Imey menuntunku menuju kamar barunya.

Kamar baru Imey ternyata lumayan modern, dengan peralatan serba kekinian. Kamar mandinya sudah menggunakan shower model baru, yang besar dan terbuat dari stainless steel, bahkan ada bathtub segala.

“Nanti kita mandi bareng di sini ya,” ucapku sambil meraih lehernya ke dalam pelukanku. Lalu kucium bibirnya dengan mesra. “Janjinya mau dilaksanakan sekarang kan?”

“Janji apa?” tanyanya. Aku yakin dia pura - pura tidak ingat janjinya yang p[ernah disampaikan lewat WA. Janji untuk membuktikan keperawanannya.

“Janji untuk membuktikan yang satu ini,” sahutku sambil menepuk bagian di bawah perutnya yang masih tertutup daster putihnya.

“Sekarang? Siang - siang gini?” tanyanya lagi.

“Iya. Mendingan juga siang, biar lekuk - lekuk tubuhmu jelas semuanya di mataku. Nanti malam sih bisa aja untuk ronde kedua dan ketiga.”

“Hihihiii… aku dengar pengantin di malam pertama sampai ada yang delapan kali ya.”

“Kita sih gak usah begitu. Santai aja. Paling juga tiga atau empat kali,” ucapku sambil melepaskan kancing - kancing daster putih Imey yang berderet di depan dari atas ke bawah.

“Gak mau dibikinin kopi dulu Kang?”

“Mmmm… boleh juga deh. Tapi jangan pakai gula ya.”

“Kopi pahit?”

“Iya. Kalau kopi, aku suka yang pahit. Tapi kalau cewek, aku suka yang manis. Kayak Imey.”

Imey tersenyum sambil merapatkan dadanya ke dadaku, “Kalau manis, sun bibirku lagi dong,” ujarnya dengan bola mata bergoyang perlahan.

Spontan kucium bibir Imey dengan kehangatan batinku. Ewuaaaaaaaaahhhhh…!

“Makaciiii…” ucap Imey setelah ciumanklu terlepas. Lalu bergegas ia keluar dari kamarnya.

Aku pun duduk di atas sofa merah dalam kamar Imey. Mungkin sofa inilah yang termasuk barang lama. Sementara yang lain - lainnya barang baru semua.

Senang hatiku, karena dana yang kutransfer dijadikan untuk membeli barang - barang baru. Kamarnya pun membangun baru, yang katanya dibiayai oleh duit dariku semua.

Aku dengan Imey memang selalu aktif berkomunikasi di WA. Bahkan sudah sangat “jauh” pembicaraannya. Termasuk mengorek pengakuan tentang keperawanannya. Di WA pun dia berjanji akan memberikan keperawanannya padaku, asalkan aku menikahinya kelak. Tapi di darat, inilah perjumpaanku yang kedua kalinya. Yang pertama, waktu diklenalkan oleh mamanya (Tante Ratih).

Aku pun sudah meminta nomor rekening tabungannya di bank. Dan tiap tanggal muda aku selalu mentransfer dana ke rekening tabungannya. Dalam jumlah yang jauh lebih besar daripada gajinya semasa masih bekerja di pabrik.

Sebenarnya aku diam - diam sedang membangun 4 pabrik. Semuanya dibangun di luar kota, tapi tak jauh dari kotaku. Letaknya terpencar dan berjauhan satu sama lain. Karena aku tetap ingin menyembunyikan identitasku yang sebenarnya. Kalau keempat pabrik itu berdekatan, terlalu mencolok. Pasti namaku jadi bahan gunjingan orang, meski gunjingannya positif.

Lalu untuk apa aku membangun empat pabrik itu? Aku sedang menyiapkan untuk diberikan kepada empat orang istriku, jika aku sudah menikah kelak.

Tapi sekarang, nama Gayatri dan Liza sudah kucoret dari daftar calon istri - istriku. Tinggal Lingling yang masih teguh akan kujadikan calon istri. Karena selkama ini aku tak pernah dikecewakan oleh sikap dan perilakuku.

Tak lama kemudian Imey muncul lagi dengan secangkir kopi panas dan sepiring croissant di atas piring yang semuanya itu diletakkan di atas baki.

Lalu didekatkannya secangkir kopi dan sepiring croissant itu ke depanku.

“Sebenarnya ada urusan apa mamamu ke Surabaya Mey?” tanyaku sambil menarik pergelangan tangan Imey agar duduk di samping kiriku.

“Ngurusin Tante Santi.”

“Emangnya ada apa dengan Tante Santi?”

“Dia cerai sama suaminya. Tante Santi kan deketnya sama Mama. Makanya mama dipanggil.”

“Untuk merujukkan kembali?”

“Bukan. Tante Santi justru yang mengajukan tuntutan cerainya juga. Dia ingin pindah ke sini. Makanya minta dijemput sama Mama.”

“Kapan mamamu berangkat?”

“Tadi subuh. Pakai kereta api. Mama kan takut naek pesawat terbang. Jadi sekarang mungkin masih di jalan. Belum sampai Surabaya. Padahal kalau pakai pesawat sih sejam setengah juga nyampe.”

Aku tidak menjawab, karena lengan kiriku mulai melingkari pinggang Imey, sementara tangan kananku mulai menyelinap ke balik daster putihnya. Ketika tanganku sudah tiba di celana dalamnya, Imey malah merenggangkan sepasang paha putih mulusnya. Seolah mempersilakanku untuk menggerayangi “sesuatu” yang berada di balik celana dalam itu.

Dan… ketika tanganku sudah menyelinap ke balik celana dalamnya, kusentuh memek berjembut. Tapi jembutnya sudah tergunting rapi. Lagipula jembutnya jarang dan halus sekali.

Terasa suhu badan Imey menghangat ketika aku sudah menyentuh memeknya. Bahkan ia bertanya setengah berbisik, “Aku harus telanjang?”

“Ya iyalah,” sahutku, “Biar leluasa kita melakukannya Sayang…”

“Sebentar… keluarin dulu tangannya,” kata Imey sambil menarik tanganku yang sudah berada di balik celana dalamnya.

Setelah kukeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya, Imey berkata, “Sebenarnya aku degdegan banget Kang. Tapi aku tak mau mengingkari janjiku yang pernah kuketik di WA tempo hari. Tapi aku minta Kang Donny juga mau berjanji untuk menikahiku nanti ya.”

“Iya. Tapi Imey akan kujadikan istri keempat. Istri termuda. Soalnya aku sudah punya tiga calon istri. Gak apa - apa kan?”

Imey tercengang dan berucap, “Wow… Kang Donny maju poligami?”

Imey tertunduk sejenak. Lalu berkata, “Gak apa - apa deh. Istri termuda sih biasanya dimanja kan?”

“Walau pun bukan dijadikan istri termuda, kamu ini saudara sepupuku Mey. Kakek nenekmu dari Tante Ratih, adalah kakek - nenekku dari Bunda. Tentu saja aku akan memanjakanmu dalam batas yang wajar.”

Imey mengangguk angguk sambil tersenyum manis. Lalu melepaskan daster putihnya, sehingga tinggal bra dan celana dalam yang masih melekat di badannya. Aku pun berdiri dan melangkah ke belakang Imey, “Pakaian dalammu biar aku yang melepaskannya,” kataku.

“Silakan, “Imey mengangguk.

Lalu akulah yang melepaskan beha mau pun celana dalamnya, sehingga tubuh telanjang yang sangat mulus dan seksi itu sudah terpamerkan di depan mataku.

Ooooh… betapa bodohnya aku selama ini. Tubuh sebegini mulusnya dan wajah sebegini cantiknya kuabaikan gara -[ gara Gayatri jahanam itu…!

Menyaksikan Imey sudah telanjang bulat, aku pun melepaskan busanaku sehelai demi sehelai, hanya celana dalam yang kubiarkan tetap melekat pada tempatnya. Aku pernah membaca bahwa lelaki paling sexy di mata wanita, adalah ketika masih mengenakan celana dalam. Bukan telanjang bulat. Jadi sebaiknya lelaki hanya telanjang pada waktu mau melakukan penetrasi.

Kemudian kuraih Imey ke atas bednya.

“Nama lengkap Imey apa sih?” tanyaku sambil menghimpit dadanya dengan dadaku.

“Imelda,” sahutnya, “Waktu masih kecil aku dipanggil Imel, tapi lidahku masih sulit menyebut Imel, lalu aku sendiri yang membahasakan namaku jadi Imey.”

“Sekarang kan sudah dewasa. Lebih keren Imel. Jadi mulai saat ini aku akan memanggilmu Imel aja ya,” kataku.

“Iya, terserah Kang Donny,” sahut Imey yang mulai saat ini akan kupanggil Imel, sesuai dengan nama lengkapnya Imelda.

Sebenarnya ada alasan kuat kenapa aku ingin mengubah nama Imey menjadi Imel. Karena aku memiliki “taman” yang namanya Mey Hwa dan biasa dipanggil Meymey terkadang dipanggil Imey juga. Karena itu supaya tidak rancu, kuubah saja nama Imey menjadi Imel.

Namun masalah nama itu tak lagi dibicarakan, karena aku sudah mulai menelungkupi Imel sambil memagut bibirnya ke dalam ciuman dan lumatanku. Awalnya Imel seperti kebingungan maenanggapi lumatanku. Mungkin pengakuannya benar. Bahwa pada waktu masih pacaran dahulu, hanya sebatas cipika - cipiki saja yang dilakukannya.

Karena itu aku tak terlalu menharap “tanggapan” Imel dalam soal kissing ini. Lagian sesaat kemudian aku mulai giat meremas toket kanannya sambil mengemut pentil toket kirinya. Sehingga suhu badan Imel pun makin menghangat saja rasanya.

Mungkin detik - detik paling mendebarkan bagi Imel, adalah ketika aku sudah melorot turun, sehingga wajahku jadi berhadapan dengan kemaluannya yang berjembut tapi tergunting rapi. Sehingga aku yakin takkan ada kendala bagiku untuk menjilati memek saudara sepupuku ini.

Lalu kungangakan memek Imel, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu tampak jelas di mataku. Bahkan kelentitnya pun tampak jelas, berada di bagian paling atas dalam “kompleks” kemaluan Imel ini. Pada saat inilah kuperhatikan bagian dalam memek Imel. Sambil membandingkan dengan foto - foto memek perawan (virgin vagina) yang sering kulihat dari situs kesehatan.

Dan… aku sudah yakin bahwa Imel memang masih perawan. Tinggal 1 hal lagi saja yang belum kubuktikan… darah perawannya.

Setelah mendorong kedua belah paha Imel agar terbuka wilayah “operasi”ku, aku pun mulai menyapu - nyapukan ujung lidahku di celah yang sudah kungangakan dan berwarna pink itu.

Imel tersentak dan bersuara, “Dududuuuuh… memekku diapain Kang?”

Aku pun menghentikan jilatanku, untuk menjawab pertanyaan lugu Imel itu. “DIjilatin. Supaya basah dan licin. Agar tidak sakit pada waktu kontolku dimasukkan ke dalam memekmu Sayang.”

“Owh… memangnya Kang Donny gak jijik jilatin memekku?”

“Kalau cinta sudah melekat, tai ayam juga rasa coklat Neng,” sahutku sambil menepuk - nepuk paha Imel.

Lalu Imel terdiam. Aku pun melanjutkan aksi oralku.

Imel pun terdiam pasrah. Tapi lalu ia menggeliat - geliat sambil memegangi sepasang bahuku. “Kaaaaang… oooooh… oooooohhhhh… Kang… rasanya kok kayak melayang - layang gini Kaaaaang… tapi… ini luar biasa enaknya Kaaaang… adudududuuuuh… apalagi kalau itilku dijilatin gini Kaaaang…

Aku memang semakin gencar mengoral memek Imel. Bukan cuma menjilati bagian yang berwarna pink itu, tapi juga kelentitnya kujilati dan kuisap - isap.

Aku pun emngalirkan air liurku sebanyak mungkin ke dalam celah memek Imel yang kemerahan itu.

Imel mendesah, merengek, menggeliat dan terkejang - kejang terus. Sampai akhirnya aku merasa sudah cukup banyak kualirkan air liurku ke dalam memek saudara sepupuku itu.

Dan akhirnya, kulepaskan celana dalamku. Sehingga kontolku yang sudah ngaceng berat ini tak tertutup apa - apa lagi.

Lalu kuletakkan moncong kontolku dengan cermat, pas di mulut liang sanggama Imel yang masih “malu - malu” (masih rapat dan seperti tersenyum).

Lalu dengan hati - hati namun disertai tenaga full, kudorong kontolku.

Jam terbangku dalam memasukkan kontoil kepada memek perawan memang sudah tinggi. Sehingga terasa kepala kontolku sudah membenam.

Baru “topi baja”nya saja.

Lalu kudorong lagi sekuatnhya. Uggggh… memang sempit sekali. Tapi aku berhasil memasukkan sampai lehernya.

Aku pun menghempaskan dadaku ke dada Imel.

“Udah masuk ya?” tanya Imel nyaris tak terdengar.

“Udah… tapi baru sedikit,” sahutku disusul dengan dorongan kontolku kembali dengan tenaga full lagi. Aaaaaaaaah… sedikit demi sedikit kontolku pun masuk setengahnya.

Lalu seperti biasa kutarik batang kemaluanku perlahan - lahan dan hati - hati, agar jangan sampai terlepas karena susah lagi masukinnya di liang memek sesempit ini.

Lalu kudorong lagi sambil mendesak agar masuk lebih dalam. Tarik lagi perlahan, dorong lagi semakin dalam, tarik lagi perlahan dan dorong lagi semakin dalam.

Akhirnya liang memek Imel terasa sudah bisa beradaptasi dengan ukuran penisku.

Imel pun mulai mendekap pinggangku erat - erat. Sambil menggeliat - geliat dan merintih - rintih histeris. “Kaaaaang… oooo… oooo… oooooohhhhh Kang Donny… aaaaaaah Kaaaaang… begini ya rasanya bersetubuh inmi Kaaaang… oooooh…”

“Sakit nggak?” tanyaku yang masih mengentotnya perlahan - lahan.

“Tadi ada sedikit… kayak digigit semut doang. Sekarang malah luar biasa enaknya Kaaaang…”

“Kita ini lagi apa?” tanyaku.

“ML,” sahutnya.

“Dalam bahasa sundanya apa?”

“Eeee… eweaaaan… aaaaah Kang Donny… jadi aja aku keceplosan ngomong kasar…”

“Kalau lagi beginian memang harus ngomong jorok sekali - sekali. Biar tambah merangsang eweannya.”

“Masa sih?”

“Iya. Kalau pakai bahasa halus terus, malah bikin kita cepat jenuh.”

“Ngentot juga berasal dari bahasa sunda ya Kang.”

“Iya. Asal katanya ngentod. Tapi karena banyak yang merasa kesulitan menyebut kata yang hurup akhirnya hurup D, maka jadi aja disebut ngentot. Seperti nekad malah disebut nekat. Tekad jadi tekat. Adududuuuuuh… heunceut Imel enak sekali Meeel…”

“Hihihihi… kontol Kang Donny juga enak sekali… bikin geli - geli enak begini…”

Lalu aku mulai serius menggenjot kontolku keluar masuk di dalam liang memek Imel yang luar biasa sempitnya ini.

Tak cuma mengentot liang memeknya. Aku pun menciumi bibirnya, menjilati lehernya, mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya yang lumayan gede ini. Sehingga Imel semakin menggeliat - geliat sambil merintih - rintih perlahan, “Kaaaang… ooooohhhh… Kaaaaang… oooooohhhh… Kaaaaang …

Ooooooohhhhh… Kaaaaaang… ooooh… makin lama… makin enak Kaaaang… ooooh… Kang Donny… cintaku padamu semakin dalam Kaaaang… aku lama - lama tidak dijumpai lagi Kang… aku mau hidup di samping Kang Donny terusssss… ooooh Kaaaang… ini luar biasa enaknya Kaaaaang… aaaaaahhh…

Meski suaranya tertahan - tahan, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Bahkan ketika keringhatku mulai menetes - netes, karena sudah cukup lama menyetubuhi saudara sepupuku ini… tiba - tiba ia berkelojotan, dengan mata melotot seperti panik. Aku pun mempercepat entotanku… makin lama makin cepat…

Lalu detik - detik paling indah pun kunikmati… bahwa ketika liang memek sempit Imel berkedut - kedut perlahan, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir surgawiku… croootttt… croooottttt… croooottttcrotttt… crooootttttttt… crotttcrottttt… crooootttttt…

Aku memang tidak seperti biasanya, buru - buru ejakulasi. Karena aku tak mau menyiksa Imel terlalu lama. Selain daripada itu, aku pun ingin melihat darah perawan Imel.

Maka setelah mencabut kontolku darilianr memek Imel, kulihatgenangan darah sebanyak 1 sendok teh di bawah memek Imel.

“Masih perawan kan aku?” ucap Imel sambil bangkit dan tahu kalau aku sedang memperhatikan darah perawannya.

“Iya Sayang,” sahutku sambil membelai rambut Imel, “Kamu memang masih perawan sebelum kusetubuhi tadi. Tapi sekarang bukan perawan lagi kan?”

“Iya, kan sudah kupersembahkan buat Kang Donny tercinta. Ohya… Kang… kudengar dari teman - temanku, pengantin di malam pertama itu bisa sampai delapan kali bersetubuh. Betul begitu Kang?”

“Ah… itu sih terlalu berlebihan. Kita jangan ikut - ikutan seperti itu. Memekmu kan harus dijaga dan dirawat. Jangan dirusak. Biar awet… sampai tua masih enak rasanya.”

“Kalau terlalu sering bersetubuh itu bisa merusak juga ya Kang.”

“Begini,” sahutku, “sekarang aja kamu bisa rasakan sendiri, ada darah dari dalam memekmu kan? Itu berarti ada luka di dalam memekmu. Meski bukan luka yang parah, kalau digasak untuk bersetubuh dan bersetubuh lagi, bisa tambah melebar lukanya kan? Bisa juga terjadi infeksi yang lalu menimbulkan keputihan dan sebagainya.

“Iya ya.”

“Nah… aku ingin agar memekmu tetap sehat dan enak. Karena itu aku harus bersabar menunggu sampai luka itu kering dan siap untuk dientot lagi.”

“Biasanya berapa hari luka ini kering dan ready for use lagi Kang?”

“Dalam tiga atau empat hari juga sembuh Mel. Kita ambil yang terbaik aja ya. Mmm… sekitar lima hari lagi kita lakukan lagi untuk yang kedua kalinya.”

“Iya Kang. Aku sih mau ambil jalan yang paling sehat aja.”

“Ohya… ada obat yang harus diminum,” ucapku sambil mengeluarkan dompetku dari saku jaket kulitku. Kemudian kukeluarkan 1 strip pil kontrasepsi. Dan kuserahkan kepada Imel.

“Apa ini Kang?”

“Baca aja di keterangan dan aturan pakainya.”

Imel membaca keterangan pil kontrasepsi itu di secarik kertas yang ada di dalam kotak tipisnya. “Ini obat anti hamil Kang,” ucapnya sambil membaca terus kertas dari pabrik obat yang mengeluakran pil kontrasepsi itu.

“Iya. Meski kita sudah nikah, aku sih ingin agar Imel jangan hamil dulu. Supaya leluasa untuk bergerak dan bekerja. Sekalian biar panjang bulan madunya.”

“Iya Kang… aku sih mau ikuti aturan Kang Donny aja. Mmm… ini harus segera diminum ya Kang.”

“Iya, “aku mengangguk sambil melangkah ke dalam kamar mandi. Cuma ingin kencing sekalian mencuci alat vitalku yang berlepotan spermaku sendiri, bercampur dengan lendir dari memek Imel.

Setelah kencing dan membersihkan alat kejantanan, aku pun keluar lagi. Tampak Imel sedang minum pil itu.

“Ohya… pabrik bekas tempat kerjamu itu memproduksi apa Mel?”

“Pabrik garment Kang. Produksinya ya pakaian semua.”

“Mmmm… kalau Imel diserahi jabatan untuk memimpin sebuah pabrik garment baru, sanggup?”

“Sangguplah. Ilmunya sudah tersimpan di otakku dari A sampai Z, Kang.”

Aku mengangguk - angguk sambil berpikir.

“Mmmm… kita keluar dulu yok. Nyari makanan.”

“Kang Donny lapar?”

“Iya… biasanya kalau sudah begituan suka lapar.”

“DI sini juga ada makanan. Tapi malu menyuguhkannya sama Kang Donny. Karena teman nasinya sederhana sekali. Cuma sop kacang merah dan peyek.”

“Aku suka kok sop kacvang merah. Tapi aku mau mengajakmu keluar untuk memperlihatkan sesuatu. Ayo kita mandi dulu, untuk membersihkan keringat. Biar makannya nikmat nanti.”

“Ayo, “Imel mengangguk sambil tersenyum manis.

Kemudian kami mandi bersama. Saling menyabuni secara bergantian dan sebagainya. Tapi aku berusaha untuk tidak melakukan apa pun kecuali mandi sebersih mungkin.

Beberapa saat kemudian Imel sudah berada di dalam mobilku, yang kutujukan ke arah barat.

Aku akan memperlihatkan salah satu pabrik yang baru selesai dibangun itu, yang letaknya di sebelah barat kotaku. Karena rumah Imel berada di daerah barat kotaku, maka aku pun akan menyerahkan pabrik yang disebelah barat kotaku, agak keluar kota sedikit. Supaya Imel tidak merasa kejauhan dari rumahnya kelak.

“Imel bisa nyetir mobil?” tanyaku ketika sedan putihku sudah melewati batas kota.

“Bisa,” sahut Imel, “tinggal melancarkan aja. Emangnya kenapa? Mau disuruh nyetir mobil ini?”

“Hanya ingin tau aja. Memang cewek zaman sekarang harus pandai nyetir. Jangan terlalu mengandalkan sopir.”

“Iya sih. Jangan kayak aku. Ke mana - mana cuma pakai motor.”

“Gampang, kalau soal mobil sih nanti kubelikan. Tapi di rumahmu belum ada garasi ya?”

“Iya sih. Padahal di sebelah kanan rumah ada tanah kosong, yang tadi dipakai parkir mobil ini.”

“Punya mobil harus punya garasi. Jadi sebelum ada mobilnya, bangun dulu garasinya. Nanti kutransfer duit untuk membangun garasinya.”

“Kang Donny serius nih?” tanya Imel sambil memegang pergelangan tangan kiriku.

“Aku gak pernah bercanda dalam masalah penting Mel,” sahutku sambil membelokkan sedan putihku ke pabrik yang sudah selesai dibangun itu.

“Kang… bangunan itu seperti pabrik baru ya?”

“Iya. Pabrik garment yang akan kamu pimpin nanti.”

“Haaaa?! Waahh… rasa ngimpi ngedengarnya juga.”

Seorang satpam menghampiri mobilku yang sudah diparkir di halaman depan pabrik itu. Setelah aku turun dari mobil, ia terkejut dan langsung bersikap tegak sambil berkata, “Selamat sore Big Boss.”

Aku mengangguk sambil tersenyum, sementara Imel sudah berdiri di sampingku.

“Instalasi listrik sudah dipasang semua?” tanyaku kepada satpam itu.

“Belum Big Boss. Kata instalatur, pemasangan instalasi sebaiknya dilakukan setelah mesin - mesinnya ada. Supaya instalasinya bisa mengikuti kebutuhan mesin - mesinnya.”

Sambil berjalan mengelilingi pabrik yang belum aktif itu, aku bertanya kepada Imel yang berjalan di sampingku, “Masih ingat mesin apa saja yang dibutuhkan untuk sebuah pabrik garment?”

“Masih ingat smeuanya. Tapi di pabrik tempatku bekerja itu, mesin - mesin gedenya hanya mesin tenun. Untuk membuat tekstil yang akan dijadikan bahan pakaian. Supaya pabrik bisa mengeluarkan pakaian dengan bahan dan corak yang belum ada di pasaran. Lalu yang sangat banyak sih mesin jahit Kang.”

“Jadi mayoritas buruhnya tukang jahit ya?”

“Iya. Yang mengoperasikan mesin tenun sih hanya duapuluh orang. Tukang jahitnya sampai ratusan.”

“Besar mana pabrik ini ini dengan pabrik bekas tempatmu bekerja?”

“Jauh besaran dan megahan bangunan pabrik ini Kang.”

“Di sini nanti kamu akan kujadikan direktur utamanya.”

“Wow! Aku dahulu di bagian produksi Kang. Kalau dijadikan dirut… mampu gak ya?”

“Nanti aku bimbing terus,” ucapku, “sebagai seorang dirut, kamu cukup duduk manis di ruang kerjamu. Yang bekerja kan manager - manager.”

“Iya… iyaaa…”

“Sebagai seorang dirut, tentu saja kamu harus punya mobil. Masa dirut cuma naik motor bebek. Tapi bangun dulu garasinya ya. Nanti dananya akan kutransfer.”

Imel memeluk lengan kiriku sambil merapatkan kepalanya ke bahuku, “Ini benar - benar surprise buatku Kang. Aku gak nyangka sedikit pun kalau akan mendapat anugerah setionggi ini. Terima kasih Kang. Aku akan laksanakan apa pun yang diminta oleh Kang Donny.”

“Beli buku - buku tentang managemen dan leadership sebanyak mungkin ya Mel. Lalu pelajari semua buku - buku itu.”

“Siap Kang. Aku memang harus banyak menimba ilmu secara informal. Jangan sampai kalah sama manager - manager nanti.”

Beberapa saat berikutnya, aku dan Imel sudah berada di dalam restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari bangunan pabrik yang akan kuserahkan kepada Imel untuk memimpinnya itu.

“Nanti aku akan memasang iklan. Untuk mencari beberapa orang calon manager. Kalau buruh biasa sih pasang iklannya setelah pabrik siap untuk beroperasi aja,” kataku sambil menyantap makanan yang sudah dihidangkan.

“Iya Kang.”

“Ohya… kamu kan punya bakat melujkis juga. Nanti bakatmu bisa disalurkan untuk membuat design kain bahan pakaiannya.”

“Iya Kang. Aku punya koleksi majalah impor. Majalah yang berisi tentang corak tekstil. Tadinya aku kan ingin kuliah di seni rupa. Tapi keburu jadi buruh pabrik. Hihihiiii…”

“Sekarang amu harus menyiapkan mental dan fisik untuk menjadi seorang pemimpin. Karena nanti kamu bukan hanya akan menjadi buruh biasa.”

“Iya Kang. Mudah - mudahan aku mampu melaksanakan amanat dari Kang Donny.”

Beberapa hari kemudian aku menerima panggilan Donna di ponselku.

“Donny lagi di mana sekarang?”

“Di rumah peninggalan Papa angkatku. Kenapa Donna?”

“Ini ada Tante Santi yang baru bercerai dengan suaminya. Dia ingin bekerja Sayang.”

“Tempatkan aja di cafému. Kasih gaji yang lebih dari semestinya.”

“Dia S2 manajemen Don. Kasian dong. Masa es-dua dijadikan waiter atau kasir di café?!”

“Es-dua?!”

“Iya.”

“Kalau gitu bawa aja ke rumahku sekarang. Aku lagi ribet nih.”

“”Aku juga lagi sibuk di café. Biar nanti kucariin taksi aja. Kan dia bisa pergi sendiri. Bukan anak kecil kok.”

“Ya udah terserah kamu. Alamatku aja kasih sama dia.”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku memanggil Bi Inah, pembokatku.

Setelah Bi Inah muncul, aku berkata, “Bi… beresin dan bersihin kamar yang di lantai tiga ya.”

“Siap Den. Mau ada tamu?”

“Iya. Tanteku dari Surabaya mungkin akan tinggal di sini selama beberapa hari.”

“Owh… iya Den. Saya mau bersihkan kamar yang di lantai tiga Den,” ucap Bi Inah sambil bergegas meninggalkan ruang kerjaku.

Sebenarnya aku sedang memantau perkembangan usahaku di luar negeri dari laptopku. Tapi konsentrasiku jadi buyar, karena akan datangnya tamu, adik Bunda yang bernama Santi itu.

Sebenarnya aku sudah pernah ketemu dengan Tante Santi di rumah Bunda. Tapi kali ini mungkin kedatangannya termasuk penting bagiku. Karena kudengar dari Donna tadi, Tante Santi itu sudah S2 di bidang manajemen pula. Bukankah aku membutuhkan assisten untuk mendampingi Bu Kaila?

Aku masih ingat benar, Bu Kaila yang saat itu sudah kutempatkan sebagai dirut di perusahaanku, mendatangi ruang kerjaku yang terpisah dari kantor. Saat itu Bu Kaila berkata padaku, “Makin lama perusahaan ini makin sibuk Boss. Mungkin saya membutuhkan seorang wakil yang sudah S2 di bidang manajemen. Supaya semua masalah bisa ditangani dengan cepat.

Dan aku masih ingat benar, bahwa aku sudah menunggu lama untuk mendapatkan kesempatan berbicara empat mata ini. Kalau kuhitung - hiotung, Bu Kaila sudah setahun menjabat dirut di perusahaanku.

Dan sejak awal berjumpa, aku sudah tergiur oleh bentuk tubuhnya. Tapi aku sangat berhati - hati, karena dia sangat kubutuhkan di perusahaan. Prestasinya memang sangat gemilang, sehingga dalam tempo setahun dia sudah membuat perusahaanku jadi berkembang dengan pesatnya.

Aku juga tahu bahwa dia sudah punya suami. Terkadang suaminya bahkan suka mengantarkan Bu Kaila pagi - pagi. Tapi suaminya tidak pernah menjemput pada waktu Bu Kaila sudah mau pulang.

Kesimpulannya, aku tidak boleh memperlakukan Bu Kaila seperti yang sering kulakukan kepada perempuan lain. Karena kalau dia merajuk, bisa gawat perusahaanku nanti.

“Soal wakil dirut sih nanti saja kita pikirkan Bu. Karena aku sudah punya calonnya. Tapi harus kuuji dahulu kemampuan dan terutama kejujurannya,” ucapku.

“Bagus itu Boss. Kalau saya sendiri yang mengajukan calonnya, takut dianggap mau KKN,” sahut Bu Kaila, masih dalam sikap formal. Seperti tidak ada celah untuk memancingnya.

Tapi aku tak kehilangan akal. Lalu kataku, “Aku percaya kok sama Bu Kaila. Prestasi Ibu sangat brilliant di mataku. Tapi sekarang aku ingin membahas sesuatu yang sangat pribadi sifatnya.”

“Masalah apa Boss?”

“Masalah Bu Kaila dan aku.”

“Maksudnya?” wanita 35 tahunan itu tampak bingung.

“Aku ingin mempererat hubungan baik di antara kita berdua. Supaya owner dan dirut kompak… sesolid - solidnya.”

“Dengan cara apa supaya owner dan dirut ini kompak dan solid Boss?”

“Aku mau nanya dulu. Secara pribadi, Bu Kaila memandang perlakuanku kepada bawahan seperti apa? Coba jawab sejujur mungkin, agar aku bisa self observasi.”

“Mmm… Boss masih sangat muda tapi bijaksana. Yang saya rasakan sih, selama saya memimpin perusahaan ini, Boss belum pernah memarahi saya satu kali pun. Sehingga saya merasa nyaman bekerja di sini.”

“Lalu secara fisik, dalam pandangan Bu Kaila aku ini seperti apa?”

“Boss masih sangat muda. Tampan dan baik hati,” sahutnya dengan senyum di bibir sensualnya.

“Di mataku, Bu Kaila ini manis dan seksi sekali.”

“Aaaah… masa sih Boss… “Bu Kaila tersipu - sipu.

“Beruntung suami Ibu, karena memiliki Ibu yang… hmmm… takkan pernah membosankan. Mmm… boleh aku bicara terus terang tentang apa yang pernah kualami dan menyangkut tentang Bu Kaila?” tanyaku.

Bu Kaila mengangguk sambil tersneyum.

Lalu aku berkata dengan suara agak dipelankan, “Bu… belakangan ini sudah lebih dari tiga kali aku mimpi bersama Bu Kaila. Sehingga aku bingung sendiri. Kenapa aku harus bermimpi tentang wanita yang sudah punya suami ya,” ucapku mengada - ada alias ngarang. Karena sebenarnya aku tak pernah bermimpi tentang dia.

Tapi Bu Kaila menyahut serius, “Masa sih Boss? Kok sama dengan mimpi saya ya?”

“Bu Kaila pernah mengalami mimpi bersamaku?”

“Iya Bos. Tapi cuma satu kali. Tidak sering seperti Boss.”

“Tapi minimal Bu Kaila pernah mimpiin aku kan?”

“Iya… mimpinya gak tau diri. Masa mimpiin Big Boss?! Maafkan mimpi saya ya Boss.”

“Gak ada yang perlu dimaafkan. Aku justru merasa ada kesamaan di dalam mimpi kita. Karena itu aku ingin mewujudkan mimpi itu dalam kenyataan.”

“Maaf Boss… memangnya mimpi Boss seperti apa?”

“Mimpi saling bagi rasa, bagi keindahan dan kenikmatan sebagaimana wajarnya seorang lelaki dengan seorang wanita. Bu Kaila sendiri seperti apa mimpinya?”

“Saya… hanya mimpi dicium oleh Boss… maaf…”

“Ya sudahlah kita wujudkan saja mimpi kita dalam kenyataan. Oke?”

“Tapi Boss… saya kan punya suami. Sedangkan suami saya sangat ketat menjaga saya dari segala kemungkinan. Kalau pulang telat sejam aja, pasti banyak pertanyaan ini - itu. Apalagi kalau semalaman…”

“Kalau nyari - nyari tempat dulu, tentu aja bakal lama. Mmm… Bu Kaila tau keadaan di lantai dua?”

“Belum tau Boss, “Bu Kaila menggeleng, “Saya hanya tau lantai tiga itu sering dipakai meeting room. Tapi kalau lantai dua kan ada tulisan private room dan dilarang masuk.”

“Ayolah kalau begitu Bu Kaila ikut aku ke lantai dua. Biar tau yang dimaksud private room itu bagaimana.”

Lalu aku berdiri dan melangkah ke arah tangga yang letaknya di belakang ruang kerjaku. Bu Kaila pun mengikutiku dari belakang.

Seperti yang sudah kuterangkan dahulu, lantai dua ini memang kujadikan rumah pribadiku. Ada ruangan yang luas yang sering kugunakan untuk fitness, ada kamar besar yang tak kalah lengkap seperti di rumah peninggalan almarhum Papa angkatku tercinta, bahkan ada kitchennya sekaligus ruang makanku.

“Seperti di dalam rumah Boss…” ucap Bu Kaila di sampingku.

Aku pun memberanikan diri melingkarkan lenganku di pinggang wanita yang sangat menggiurkan di mataku ini. “Di sini bisa kita bisa mewujudkan mimpi kita pada jam makan siang seperti sekarang ini. Tak usah sampai menghabiskan waktu semalaman. Bagaimana?”

Bu Kaila menatapku dengan sorot pasrah. “Iya. Saya mau ikut aja sama apa yang Boss pandang terbaik untuk kita berdua…” sahutnya perlahan, dengan suara agak bergetar.

“Senang hatiku Bu. Berarti kita berdua akan selalu kompak dan solid,” ucapku sambil melingkarkan lenganku di lehernya. Lalu memagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatanku.

Awalnya Bu Kaila hanya mendiamkan bibirnya kulumat dengan segenap kehangatanku. Tapi beberapa detik kemudian ia mulai membalas lumatanku dengan lumatan pula. Bahkan kedua lengannya mendekap pinggangku erat - erat, sementara suhu badannya terasa mulai menghangat.

Mencari perempuan untuk dijadikan pelampiasan hasrat biologisku tidaklah sulit bagiku. Namun aku hanya mau melakukannya pada perempuan yang butuh sedikit perjuangan untuk mendapatkannya. Seperti pada Bu Kaila ini, yang lebih dari setahun aku mempertimbangkannya. Lebih dari setahun aku mencoba untuk mengalihkan perhatianku kepada perempuan lain.

Karena tadinya aku takut kalau Bu Kaila 100% setia kepada suaminya. Lalu kalau aku terlalu mendesaknya, bisa saja dia menyatakan resign dari perusahaanku. Sedangkan aku melihat banyak sekali unsur positif dari sosok wanita yang 13 tahun lebih tua dariku itu, terutama dalam mengembangkan salah satu perusahaanku.

Aku menuntun Bu Kaila ke dalam kamarku. Lalu mengajaknya duduk di sofa. Dan di sofa itulah Bu Kaila tidak sungkan - sungkan lagi untuk menyingkapkan gaunnya, untuk memamerkan pahanya yang putih mulus, sampai ke pangkalnya.

“Saya tidak pernah berselingkuh. Tapi sekarang saya menyerah…” ucapnya ketika aku mulai mengusap - usap pahanya yang terasa licin saking mulusnya. Bahkan tanganku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya yang putih bersih itu. Srekkk… tanganku menyentuh jembut lebat di balik celana dalam putih itu.

“Kalau aku kan masih bujangan Bu. Jadi aku bebas melakukan apa pun tanpa dikejar rasa cemas.”

“Mbak Liza itu calon istri Boss?”

“Belum pasti Bu. Makanya dia kumutasikan ke luar kota, karena aku masih sangsi pada masa depanku bersamanya. Eeeeh… aku manggil Mbak aja ya… supaya tidak terlalu formal.”

“Iya… manggil nama langsung juga gak apa - apa. Saya kan bakal jadi milik Boss…”

“Manggil nama langsung sih gak boleh. Aku kan harus menghormati kedudukan Ibu… eh… Mbak sebagai direktur utama di perusahaan ini,” ucapku sambil menyelinapkan jari tanganku ke dalam liang memek berjembut dan masih bersembunyi di balik celana dalam itu.

“Dududuuuuh… Bosss… kalau sudah dibeginiin saya suka langsung horny berat…” ucap Mbak Kaila setengah berbisik.

Spontan kukeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. “Ayo kita buka - bukaan deh,” ucapku sambil melepaskan jas dan dasiku. Lalu menggantungkannya di kapstok.

Pada saat yang sama Bu Kaila pun melepaskan gaun putih bercorak kembang berwarna warni itu.

Telapak tanganku mulai mengusap - usap paha Mbak Kaila. Sambil merasakan liucin dan mulusnya paha putih wanita 35 tahunan itu. Pada saat yang sama Mbak Kaila pun memegang batang kemaluanku sambil bertanya, “Boleh saya emut punya Boss ini?”

“Iya,” sahutku sambil menelentang dan menunggu aksi Mbak Kaila.

Mbak Kaila pun tengkurap di antara sepasang pahaku yang kurentangkan. Lalu dengan cekatan ia mengulum kontolku. Lalu bibir sensual itupun naik turun, sehingga kontolku dibikin keluar masuk di dalam mulutnya.

Tiada kata - kata lagi yang terlontar dari mulut kami. Mulut dan tangan Mbak Kaila sedang asyik mengoral kontolku. Sementara aku pun sedang asyik mengelus - elus memek Mbak Kaila yang berjembut tapi tergunting dengan rapi itu.

Setelah batang kemaluanku benar - benar tegang, tadinya aku ingin menjilati memek Mbak Kaila. Tapi ia sudah berjongkok sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memeknya. Lalu ia menurunkan badannya. Sehingga… blesssss… kontolku pun masuk ke dalam liang memek wanita setengah baya yang tubuhnya masih kencang padat itu.

“Maaf ya Boss… saya main di atas…” ucap Mbak Kaila sambil menatapku dengan sorot sayu. Sorot mata wanita yang sudah dilanda horny berat.

“Iya… kita ganti - ganti posisi aja nanti ya Mbak,” sahutku.

Mbak Kaila pun mulai beraksi. Laksana wanita yang sedang menunggang kuda, bokongnya naik turun dengan gencarnya. Dengan sendirinya kontolku pun dibesot - besot terus oleh liang memeknya yang terasa empuk tapi legit.

Dalam posisi WOT begini, aku pun bisa meremas - remas sepasang toketnya yangberukuran sedang, kecil tidak gede pun tidak.

Namun seperti biasa, menurut pengalamanku wanita yang main di atas seperti ini takkan bisa bertahan lama. Karena moncong kontolku selalu menyundul - nyundul dasar liang memeknya. Karena “daleman” memek Mbak Kaila turun semua.

Maka dalam tempo belasan menit saja dia suah ah - eh - oh. Lalu ambruk ke dalam dekapanku.

“Kenapa? Udah orgasme Mbak?” bisikku.

“Iii… iya Boss. Punya Boss terlalu enak sih. Ereksinya sempurna sekali,” sahutnya.

Aku tidak menanggapinya. Lalu kami menggulingkan badan kami dengan hati - hati, agar kontolku tetap tertanam, di dalam liang memek Mbak Kaila.

Setelah posisi kami berbalik, aku di atas dan Mbak Kaila di bawah, aku masih sempat membisikinya, “Memek Mbak enak sekali. Legit dan kenyal.”

Mbak Kaila tersenyum dan menyahut, “Punya Boss juga luar biasa enaknya. Bikin saya gak tahan lama barusan, saking enaknya.”

Lalu aku mulai mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Mbak Kaila yang semakin licin tapi belum becek, meski dia baru orgasme tadi.

Ketika entotanku masih pelan - pelan, Mbak Kaila berkata setengah berbisik, “Boss… saya sudah kepalangan basah. Karena itu saya siap meladeni Boss kapan pun Boss inginkan…”

“Iya,” sahutku, “memek Mbak ini luar biasa enaknya. Jadi di hari - hari mendatang, kita bisa melakukannya di sini pada jam makan siang seperti sekarang…”

“Siap Boss… ooooooohhhh… ini mulai enak lagi Bossssss… oooohhhh… ooooohhhh… luar biasa enaknya punya Boss ini… oooooohhhhh… aaaaaah… saya bakal ketagihan kalau begini sih Bosssss…” ucap Mbak Kaila sambil menggeol - geolkan bokong gedenya. Memutar - mutar, meliuk - liuk dan menghempas - hempas.

Mbak Kaila pun merintih terus dengan mata kadang terpejam kadang melotot. Terlebih lagi setelah kulengkapi aksiku dengan menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan lembut. Sementara tanganku ikut beraksi juga untuk meremas toket Mbak Kaila dan mengelus - elus pentilnya. Maka Mbak Kaila pun semakin klepek - klepek saja dibuatnya.

Mulutnya meringis - ringis. Tapi geolan pantatnya semakin menjadi - jadi. Ia senang sekali menukikkan memeknya sambil menghempaskan bokongnya ke atas kasur. Dengan gerakan ini, kelentitnya terus - terusan bergesekan dengan kontolku.

Terus terang saja, aku sangat menikmati persetubuhanku dengan Mbak Kaila ini. Sehingga kalau aku tidak menahan diri, mungkin bisa ngecrot sebelum waktunya. Tapi aku berusaha menahannya dengan caraku sendiri. Dengan membayangkan yang aneh - anah dan buruk - buruk. Agar jangan sampai mendahului Mbak Kaila.

Aku pun memutar otak. Lalu mengajaknya posisi miring. Dia pun langsung miring ke kiri. Sementara aku memasukkan kontolku dari belakangnya. Targetku tetap liang memek, karena aku belum dan takkan pernah memasukkan kontolku ke dalam anus alias lubang e’e. Tuhan telah menciptakan memek, untuk berpasangan dengan kontol.

Agar aku leluasa mengentotnya, Mbak Kaila sengaja mengangkat paha kanannya tinggi - tinggi, sambil dipegang oleh tangannya agar tetap terangkat seperti itu. Sehingga aku semakin bersemangat mengentot liang memek wanita yang berasal dari seberang lautan itu.

Keringat pun sudah mulai membanjir. Bercampur baur dengan keringat Mbak Kaila.

Akibat berubah posisi ini, ejakulasiku jadi menjauh lagi. Sehingga aku mengajaknya melakukan posisi doggy lalu kembali ke posisi missionary lagi.

Di posisi konservatif ini Mbak Kaila berkelojotan. Aku pun menggencarkan entotanku.

Dan… ketika Mbak Kaila sedang mengejang tegang… aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Moncongnya sampai menyundul dasar liang memek Mbak Kaila.

Pada saat itulah kami saling cengkram dan saling remas di puncak kenikmatan surga dunia ini.

Liang memek Mbak Kaila terasa empot - empotan seperti dubur ayam ketika ditiupin. Pada saat yang sama kontolku pun mengejut - ngejut sambil melepaskan lahar lendirnya.

Crooottttt… crotttt… croootttt… crotttttt… crootttt… croooottttttt…!

Lalu kami terkapar di pantai kepuasan kami.

Terawanganku tentang Mbak Kaila buyar ketika kudengar pintu diketuk. Kulihat seorang satpam mengantarkan seorang wanita muda. “Buka aja gak di kunci !” seruku.

Pintu depan pun dibuka. “Ini ada tamu Boss,” ucap satpam itu.

“Iya terimakasih,” sahutku sambil melangkah ke arah pintu depan yang sudah terbuka. Untuk menyambut kedatangan wanita anggun itu yang tak lain dari Tante Santi.

Satpam itu pun berlalu, meninggalkanku dan Tante Santi yang saling pandang dari jarak dekat. Lalu saling peluk dengan ketatnya.

“Tante makin cantik aja sih,” ucapku sambil mencium sepasang pipinya.

“Makin cantik apa? Buktinya aku sekarang diceraikan oleh suamiku,” sahutnya sambil menatapku dengan mata berkaca - kaca.

“Lupakan aja semua itu. Setelah berada di sini, Tante menjadi tanggung jawabku,” ucapku sambil melingkarkan lenganku di pinggang Tante Santi dan melangkah menuju ruang keluarga.

“Biii… !” seruku.

“Iya Deeen…”

Setelah Bi Inah muncul aku menyuruhnya mengangkat barang barang bawaan Tante Santi ke kamar di lantai tiga yang baru diberesin olehnya tadi.

Lalu aku mengajak duduk berdampingan di sofa ruang keluarga.

“Kenapa Tante bisa bercerai dengan Oom Sanda?” tanyaku.

“Sandi bukan Sanda.”

“Oh iya… lupa… hihihiii…”

“Dia itu jealouser Don. Aku sudah gak kuat dicemburuin terus. Makanya mending jadi janda aja. Biar bebas melakukan apa pun.”

“Iya… mumpung Tante masih muda.”

“Umurku sudah duapuluhsembilan tahun Don.”

“Duapuluhsembilan kan tergolong muda Tante.”

“Terus aku mau ditempatkan di mana? Kata Donna, pasti Donny bisa menempatkan aku.”

“Tenang Tante. Perusahaanku banyak. Kalau mau ditempatkan di luar negeri juga bisa.”

“Kalau ada sih yang di kota ini aja Don. Biar dekat sama keluarga. Ada bundamu, ada Ceu Ratih, ada Donny Donna dan banyak lagi.”

“Tante es-duanya di bidang apa?”

“Marketing.”

“Wow… bagus tuh. Donna salah nyebut di telepon tadi. Dia bilang es-dua Tante di bidang manajemen. Waktu di Surabaya Tante kerja di mana dan di bagian apa?”

“DI pabrik pakaian… garment factory lah kerennya sih.”

“Di bagian apa?”

“Inilah yang paling menjengkelkan. Aku kan orang marketing. Tapi malah ditempatkan dijadikan manager personalia.”

“Hahahaaa… manager personalia atau HRD harusnya kan dijabat sama psikolog. Minimal sarjana psikologi lah.”

“Iya. Tapi aku malah dijadikan manager personalia. Sementara manager marketingnya dipegang oleh orang asing. Terpaksa nelan ludah deh. Soalnya aku kan orang pribumi.”

“Emang perusahaannya punya WNA?”

“Iya. Makanya bagian yang penting - penting dipegang oleh WNA semua. Yang pribumi sih cuma bagian - bagian yang kurang penting.”

“Tante masih capek nggak? Kalau gak capek, aku akan membawa Tante ke tempat di mana aku akan menempatkan Tante nanti.”

“Gak cape kok aku Don. Tadi kan cuma pake taksi dari rumah bundamu ke sini. Masa capek?!”

“Kalau gitu, ayo kita berangkat.”

“Aku mau ganti baju dulu Don. Pengen pakai celana jeans aja. Pakai gaun gini ribet.”

“Wah, tas dan barang - barang Tante sudah disimpan di lantai tiga. Ayo ikut aku Tan,” ucapku sambil menuntun Tante Santi menuju tangga.

“Gila rumahmu ini Don. Luar biasa megah dan mewahnya,” ucap Tante Santi waktu melangkah di belakangku yang sedang menaiki tangga berlapiskan karpet abu - abu.

“Ini rumah peninggalan almarhum Papa angkatku Tante,” sahutku.

“Oooo… pantesan. Kata bundamu, seluruh harta papa angkatmu diwariskan padamu ya?”

“Iya Tante. Papa dan Mama angkatku sangat sayang padaku. Tapi pada saat itu aku mengira mereka orang tua kandungku. Ternyata bukan.”

“Itu semua sudah menjadi suratan takdirmu Don. Kamu ditakdirkan untuk menjadi orang tajir melintir. Tinggal istri aja yang kamu belum punya.”

“Hahahaaa… usiaku baru duapuluhdua tahun Tante. Santai aja. Aku gak mau buru - buru kawin.”

“Kawin apa nikah?” tanya Tante Santi sambil menggelitik pinggangku dari belakang.

“Kawin sih sering. Sama Tante aja yang belum pernah. Hihihiiii…” ucapku yang sudah tiba di depan pintu kamar di lantai tiga. Pintu kamar yang kusediakan unmtuk Tante Santi.

Tiba - tiba Tante Santi memelukku dari belakang, sambil membisiki telingaku, “Memangnya kamu mau nyobain memekku?”

“Kalau dikasih sih mau,” ucapku sambil membuka pintu itu dan mengajak Tante Santi ke dalam kamar untuknya.

“Kamu kan keponakanku Don.”

“Apa salahnya? Mumpung Tante lagi menjanda, kan boleh kita saling bagi rasa…”

Belum habis kata - kataku, Tante Santi memotong, “Ayolah… sapa takut?!”


Posting Komentar untuk "Cinta Sedarah Bersemi Kembali ( Bagian 4 )"